Di dunia yang serba cepat, pria sempurna sering kali hanya menjadi tokoh fiksi. Namun, Elvano berbeda. Ia nyata—terlalu nyata hingga membuat hidup para wanita seperti terjebak dalam novel romansa yang tak ada habisnya. Wajah rupawan, otak cemerlang, dompet tebal, dan hati selembut kapas. Elvano bukan hanya pria idaman, ia definisi dari kata “sempurna”. Sejak lulus kuliah, hidupnya seperti disorot lampu sorot yang tak pernah redup. Karier cemerlang, bisnis lancar, dan tentu saja... jadi rebutan para wanita dari segala penjuru. Namun hidup, seperti biasa, suka bercanda. Elvano tak menikahi wanita pujaan banyak orang. Ia justru menikahi Aya—perempuan penuh amarah, meledak-ledak, dan sama sekali tidak tertarik padanya. Aya tidak peduli apakah Elvano pria impian sejuta umat. Baginya, Elvano hanyalah suami yang terlalu banyak senyum, terlalu baik, dan terlalu sempurna... hingga menyebalkan.
View MoreMatahari siang itu terasa hangat menyentuh kulit. Di lapangan kampus megah itu, ratusan mahasiswa berkumpul dengan toga berwarna biru tua, menandai hari bersejarah dalam hidup mereka.
Di tengah keramaian, ada satu sosok yang begitu mencolok. Tinggi semampai, wajah tampan seperti aktor Korea, dan senyuman manis yang bisa bikin siapapun lupa cara bernapas. Elvano Dirgantara. Mahasiswa cumlaude, pewaris tunggal perusahaan raksasa Dirgantara Group, dan... bahan lamunan hampir seluruh mahasiswi sekampus. Bahkan mungkin bahan lamunan sebagian dosen perempuan juga. “Vanooo! Selamat, ya! Akhirnya kita lulus juga!” seru Rendra, sahabatnya, sambil menepuk punggung Elvano keras-keras. Elvano tertawa kecil, membalas pelukan sahabatnya. "Iya, akhirnya. Gila, perjuangan skripsi itu beneran kayak mau mati hidup lagi, bro." "Mana kamu cumlaude lagi! Idaman banget, asli!" Rendra menggeleng-geleng takjub. Di sekitar mereka, beberapa cewek sudah mulai berbisik-bisik sambil melirik ke arah Elvano. Ada yang pura-pura selfie, padahal kameranya diam-diam mengarah ke dia. Ada juga yang sengaja lewat sambil menjatuhkan map, berharap Elvano menolong. Dan tentu saja, Elvano—seperti biasa—tersenyum ramah. Membantu, menunduk, bahkan mengucapkan selamat kepada siapa saja. Tanpa sok, tanpa jaim. Karena itulah Elvano bukan cuma dikagumi, tapi dipuja. "Bro," bisik Rendra lagi, kali ini lebih serius, "kamu tahu nggak? Ada rumor lho. Katanya hampir setengah cewek di angkatan kita punya naksir sama kamu." Elvano cuma tertawa kecil. "Halah, biasa aja. Mereka pasti salah lihat." "HALAH?!" Rendra hampir keselek sendiri. "Bro, kamu itu kayak paket lengkap: kaya, tampan, sopan, pinter, dan—uhuk—single!" Elvano hanya mengangkat bahu santai, lalu melangkah menuju tenda besar tempat acara syukuran kampus akan dimulai. Tapi jauh di dalam hatinya, Elvano tahu. Hari ini bukan hanya tentang kelulusan. Hari ini juga awal dari babak baru dalam hidupnya. Sebuah babak... yang akan mempertemukannya dengan seseorang yang sama sekali berbeda dari semua perempuan yang pernah dia temui. Seorang perempuan yang... entah bagaimana, akan mengubah seluruh hidupnya. Namanya? Aya. Dan pertemuan mereka—percaya atau tidak—akan jadi lebih kacau daripada badai. Tapi tentu saja, Elvano belum tahu itu. Untuk saat ini, dia hanya pria muda tampan yang menikmati momen kelulusannya... tanpa tahu bahwa hidup damainya sebentar lagi akan jungkir balik. Sangat. Jungkir. Balik. ---- Setelah acara syukuran kampus selesai, Elvano berjalan menuju parkiran. Setelan toga sudah ia lepas, diganti dengan kemeja putih sederhana dan celana bahan abu-abu yang membuat penampilannya makin berkelas tanpa usaha. Beberapa mahasiswi sengaja memperlambat langkah mereka, berharap bisa mengobrol walau cuma satu dua kata. Namun, sebelum ada yang sempat menghampiri, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan Elvano. Dari dalam, turun seorang pria paruh baya dengan jas necis, wajahnya penuh wibawa. “Elvano!” seru pria itu sambil tersenyum bangga. “Selamat, Nak!” “Papa!” Elvano langsung memeluk pria itu. “Papa sempet datang?” “Tentu saja. Aku nggak akan melewatkan hari spesialmu.” Pria itu, Bernard Dirgantara, CEO Dirgantara Group, adalah ayah Elvano. Di belakangnya, ada seorang wanita anggun—Mama Elvano—yang tersenyum lembut, dan... seorang gadis muda dengan hoodie hitam, celana jeans sobek-sobek, dan ekspresi sebel maksimal. Gadis itu berdiri dengan tangan disilangkan di dada, wajahnya menatap Elvano seperti mau melemparkan sepatu kapan saja. Aya. Aya yang tampangnya seperti siap berkelahi kapan pun, bahkan di acara kelulusan sekalipun. “Nak, kenalkan, ini Aya. Anaknya Om Dion, sahabat Papa waktu di London dulu. Mereka baru balik ke Indonesia.” Papa Elvano berbicara santai, seolah memperkenalkan seorang putri bangsawan, bukan cewek galak yang bahkan lupa tersenyum. Aya mendengus. “Nggak usah kenalan. Gue udah tahu siapa lo.” Suasana mendadak canggung. Mama Elvano tersenyum canggung, sementara Papa Elvano batuk-batuk kecil. Elvano malah tersenyum. Matanya menatap Aya penuh ketertarikan aneh. Sikapnya... berbeda. Tidak seperti gadis-gadis lain yang penuh kepalsuan. Aya terlihat... nyata. "Aya, ini Elvano," kata Papa pelan. "Kalian... nanti sering ketemu, ya. Papa sama Om Dion ada rencana... hehehe..." Belum sempat Papa melanjutkan, Aya sudah menoleh tajam. "Gue nggak peduli rencana siapa. Gue di sini cuma numpang hidup sampai bokap gue beres urusan bisnis." Kasar. Terang-terangan. Beda sekali dari bayangan Papa Elvano. Tapi Elvano justru tertawa kecil. Dia mengulurkan tangan, tetap sopan. "Aku Elvano," katanya santai. "Senang ketemu kamu, Aya." Aya menatap tangan itu dengan pandangan seperti melihat kucing basah di pinggir jalan. Alih-alih membalas, dia hanya melirik lalu berjalan duluan ke arah mobil. Rendra, yang dari jauh melihat kejadian itu, mendekat dan berbisik, "Bro... itu siapa? Calon neraka kecil lo?" Elvano malah tersenyum lebar. "Mungkin. Tapi sepertinya... seru." "Seru apanya, woy!?" Rendra hampir putus asa melihat ekspresi sahabatnya yang malah berbinar-binar. Sementara itu, Aya sudah masuk mobil dan mengetik sesuatu di ponselnya dengan kasar. [Kejebak di keluarga aneh. Sial.] Dan di luar mobil, seorang pria idaman semua wanita baru saja menemukan tantangan terbesarnya. Bukan bisnis. Bukan saingan perusahaan. Tapi... seorang cewek barbar. Namanya Aya. Dan Elvano... tanpa sadar... baru saja menandatangani kontrak hidup paling gila dalam hidupnya. Tanpa hak untuk membatalkan. --- Perjalanan pulang terasa aneh. Di dalam mobil, hanya terdengar suara musik pelan dari radio. Mama Elvano beberapa kali mencoba membuka pembicaraan, tapi Aya hanya menjawab seperlunya, kalau tidak bisa dibilang... dengan nada menyebalkan. "Besok Aya mau jalan-jalan ke mal? Mama anterin, ya," tawar Mama. "Nggak usah. Gue bisa sendiri," jawab Aya sambil menatap ke luar jendela. Mama Elvano tersenyum maklum, walaupun dalam hati mungkin sudah pasrah. Anak satu ini memang... berbeda. Sementara itu, di kursi belakang, Elvano memperhatikan Aya diam-diam. Bukan karena marah atau sebal. Tapi... penasaran. Jarang-jarang dia bertemu perempuan yang nggak peduli sama dia. Kebanyakan cewek berlomba-lomba ingin dekat, mengobrol, bahkan sekadar menyapa saja pakai senyum manis dan suara manja. Aya? Baru kenal, udah kaya mau melempar meja. Bahkan saat mobil berhenti di lampu merah, Aya menghela napas panjang sambil bergumam keras, "Aduh, lambat amat sih. Gue bisa jalan kaki kali lebih cepet." Papa Elvano dan Mama Elvano saling melirik, bingung harus ketawa atau sedih. Elvano malah hampir ketawa beneran. Saat lampu hijau, mobil kembali melaju. Tak lama, Aya menggerutu lagi karena jalanan macet. "Gila, Jakarta makin kacrut aja. Nih orang-orang pada bisa nyetir kagak sih?" katanya sambil mengetuk-ngetuk dashboard. Mama Elvano membelai rambutnya pelan. "Sabar ya, sayang." Aya hanya melotot. "Sabar mulu, sabar mulu. Lama-lama gue jadi biksuni nih." Akhirnya, Elvano nggak tahan. Dia tertawa pelan. Aya langsung menoleh ke belakang. "Apa lo ketawa-ketawa, hah?!" "Enggak kok," jawab Elvano, tetap dengan wajah kalem dan tatapan teduhnya yang terkenal itu. "Lucu aja. Kamu... beda." "Beda kenapa?!" "Beda dari cewek lain." Aya mendengus. "Emang gue peduli?!" Lalu dia kembali menatap ke depan dengan kesal. Di kursi depan, Papa Elvano perlahan menurunkan volume radio. Mama Elvano menatap jalan sambil berdoa dalam hati. Dan Elvano? Dia malah tersenyum. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya... Dia merasa tertantang. Bukannya menjauh, Elvano justru merasa semakin ingin tahu. Siapa sebenarnya Aya? Dan kenapa... sikap bar-bar begini malah terasa... menyegarkan? --- Begitu sampai di rumah besar milik keluarga Elvano, Aya langsung turun dari mobil tanpa menunggu pintu dibukakan. Dia menatap rumah megah itu sekilas—tinggi, mewah, penuh ukiran dan taman terawat—lalu mengedikkan bahu, tidak terlalu peduli. Sementara Mama dan Papa Elvano sibuk mengurus barang-barang, Elvano berjalan pelan di belakang Aya. "Kamu tinggal di sini, Aya," kata Mama Elvano ramah. Aya hanya mengangguk sekenanya, lalu langsung membuka pintu rumah dengan gaya seenaknya, membuat pelayan-pelayan rumah yang sudah berjejer rapi langsung menahan napas. Langkah Aya mantap, sepatu boots hitamnya menginjak karpet mahal tanpa ragu. Di ruang tengah, Aya melempar jaket ke sofa begitu saja. Mama Elvano tersenyum canggung. "Aya, itu... jaketnya—" "Ya udah. Santai aja, Ma," sahut Aya sambil selonjoran seenaknya. Elvano memperhatikan dengan takjub. Ini rumah super elit. Rumah tempat tamu-tamu penting datang, pejabat, pengusaha papan atas... Dan sekarang, di tengah semua kemewahan itu, ada satu bocah barbar yang merasa ini semua kayak rumah kosan. Rendra, yang tadi ikut nebeng pulang, langsung bisik-bisik ke Elvano, "Bro, sumpah, gue takut dia kebakar karpet mahal lo." Elvano cuma senyum lebar. "Biarkan saja." Sore itu, keluarga Elvano membuat acara makan malam kecil untuk merayakan kelulusan Elvano sekaligus menyambut kedatangan Aya. Makanan-makanan mahal disusun rapi di atas meja panjang. Daging steak premium, salad, sup krim, dan aneka dessert. Semua orang makan dengan sopan. Menggunakan garpu, pisau, dan sendok dengan etika yang sudah diajarkan sejak kecil. Aya? Aya mengambil steak dengan tangan. Dia menggigit daging itu sambil duduk selonjoran di kursinya. Semua pelayan rumah menahan napas. Mama Elvano meneguk air putih cepat-cepat. Papa Elvano hanya bisa pura-pura sibuk mengaduk sup. Sementara Elvano... Dia malah ketawa kecil. Suaranya berat dan hangat. Aya melirik. "Apaan, hah?!" "Kamu... unik," kata Elvano sambil menghela napas panjang. "Dan... seru." Aya menaruh steak di piring dengan gedebuk keras. "Woy! Gue ini manusia biasa, bukan badut buat lo hiburan, ngerti?!" Elvano tertawa makin keras. Pelayan di sudut ruangan hampir pingsan karena takut suasana makin kacau. Aya berdiri, menunjuk Elvano. "Lo jangan suka ketawa-ketawa ya! Kalo gue ngamuk, rumah lo bisa ambruk, tahu?!" Elvano mengangguk serius. "Siap, Bos." Aya melotot, tapi wajah Elvano yang serius malah bikin dia tambah kesel. Dengan kesal, Aya akhirnya keluar dari ruang makan, meninggalkan semua orang melongo. Mama Elvano bergumam kecil, "Yah... Aya belum selesai makan, sayang..." Papa Elvano memijit pelipis. Dan Elvano? Dia tetap di tempat duduknya, tersenyum. Untuk pertama kalinya, makan malam di rumah keluarga Dirgantara... penuh tawa. Penuh kegilaan. Penuh... kehidupan. Dan tanpa Aya sadari, setiap ledakan emosinya... justru membuat Elvano makin sulit mengalihkan pandangan. Seperti magnet. Semakin ditolak, semakin kuat tertarik. --- Aya berjalan keluar rumah, menuju taman belakang yang luas. Dia butuh udara. Butuh ruang untuk mengatur napas supaya tidak melemparkan piring-piring mahal itu ke kepala seseorang. Tepatnya ke kepala si lelaki tampan sok ganteng itu. Di taman, Aya duduk di ayunan yang tergantung di pohon besar. Udara sore mengalir sejuk, wangi bunga samar-samar tercium. Aya mengayun-ayunkan kakinya pelan, berusaha menenangkan diri. Sialan. Baru ketemu orang-orang kaya gitu aja, udah berasa kayak salah tempat. "Gue ngapain sih di sini," gumamnya kesal. Tak lama, langkah kaki terdengar mendekat. Aya langsung melotot ke arah suara. Dan tentu saja... Elvano. Dengan santai, Elvano datang membawa dua gelas minuman. Satu gelas soda dan satu gelas cokelat dingin. Tanpa banyak bicara, dia menyodorkan gelas cokelat ke Aya. Aya menatapnya curiga. "Apaan nih?" "Buat kamu. Katanya cewek barbar perlu tenaga lebih banyak," kata Elvano santai. Aya mendengus, tapi mengambil juga. Setelah menyeruput minuman dingin itu, diam-diam hatinya luluh sedikit. Enak juga. Mereka duduk bersebelahan di taman yang sepi itu. Sesekali terdengar suara burung. Sesekali hanya sunyi, hanya napas mereka berdua yang terdengar. "Kenapa kamu marah terus?" tanya Elvano tiba-tiba. Aya mengernyit. "Emang lo pikir semua orang harus manis kaya cewek-cewek bucin itu?" Elvano tersenyum kecil. "Nggak. Justru... aku suka yang beda." Aya mendengus lebih keras. "Gue bukan buat lo suka." Elvano tidak membalas. Dia hanya menatap lurus ke depan. Matanya memandangi langit yang mulai berwarna oranye, sambil menahan senyum kecil yang entah kenapa makin sulit dikendalikan. Saat Aya kembali menyeruput minuman dan mendongak ke langit, Elvano berpikir... Mungkin di dunia ini ada banyak wanita cantik. Banyak wanita sopan, baik, anggun, dan lembut. Tapi tidak semua bisa membuat hatinya berdetak lebih cepat hanya karena... marah-marah sambil selonjoran. Tidak semua bisa membuat hatinya hangat hanya karena... melempar jaket sembarangan. Dan mungkin... Untuk pertama kalinya, dia mengerti... Kenapa orang jatuh cinta... tanpa alasan. "Suatu hari," gumam Elvano pelan, hampir tak terdengar. Aya melirik sekilas. "Apa?" Elvano menggeleng pelan. "Nggak apa-apa." Aya mengernyit, tapi malas memperpanjang. Di dalam hatinya, ada sedikit... sangat sedikit... rasa aneh. Tapi cepat-cepat dia hempas rasa itu. Mana mungkin dia suka lelaki sok tampan yang kerjanya ketawa-tawa nggak jelas begitu. Tidak mungkin. Pasti. Dengan pikiran masing-masing yang ribut sendiri, mereka tetap duduk di bawah langit senja. Dua dunia berbeda. Dua hati keras kepala. Tapi untuk pertama kalinya, garis takdir mereka diam-diam mulai saling melilit... pelan-pelan. Sama seperti ayunan tempat mereka duduk, yang bergerak perlahan... menuju arah yang sama.Hujan turun sejak pagi. Bukan gerimis romantis yang biasa diputar di adegan drama, tapi hujan deras, penuh petir, yang membenamkan suara kota dalam gemuruh yang panjang. Aya berdiri di balik jendela kaca apartemen, memegang cangkir kopi yang belum ia teguk sejak sepuluh menit lalu.Biasanya, Elvano sudah berangkat sejak pagi. Tapi hari ini, jam sudah hampir pukul sembilan dan laki-laki itu masih belum beranjak dari tempat tidur."Lo sakit?" tanya Aya pelan, setengah ragu untuk mendekat.Elvano hanya mengangguk. Matanya setengah terbuka, napasnya agak berat.Aya mendekat, menyentuh dahi suaminya dengan punggung tangan. "Anget… lo demam, El.""Sepertinya masuk angin," sahut Elvano pelan. "Kemarin kena hujan waktu pulang kantor."Aya bergumam kesal. "Gue udah bilang, jangan maksa pulang jalan kaki kalau lagi hujan. Nyari sopir pengganti susah ya? Mobil segede gaban tapi lo malah pengen jadi manusia romantis di tengah hujan."
Malam itu, hujan turun pelan-pelan, mengguyur atap rumah dengan irama yang menenangkan. Di ruang tengah, Aya duduk di lantai dengan rambut terikat seadanya, mengenakan hoodie kelabu milik Elvano yang kebesaran. Ia menatap layar laptop, sesekali mengetik cepat, lalu berhenti, lalu menghapus.Elvano duduk di seberang, memandangi istrinya dalam diam. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang sudah tak berasap. Ia lebih sibuk memperhatikan ekspresi Aya daripada menyeruput tehnya."Deadline?" tanyanya perlahan, memecah sunyi.Aya tak menjawab seketika. Ia hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Iya. Tapi gue gak yakin tulisan gue bagus.""Biasanya kamu paling cerewet soal naskah orang lain. Kok naskah sendiri malah ragu?"Aya menutup laptop dengan kesal. “Karena nulis itu beda dari bacain orang, oke? Gue bisa kritik orang karena gue gak punya beban emosional di situ. Tapi kalo nulis? Itu kayak ngebuka isi kepala sendiri, dan... itu rentan.”
Elvano berdiri di depan cermin, mengenakan kemeja putih dengan dasi yang sedikit miring. Ia mencoba merapikannya sambil mendengus pelan. Biasanya ada asistennya di kantor yang bisa membantu—tapi pagi ini, ia sengaja tidak ke kantor lebih dulu.Hari ini ia akan menemani Aya ke rumah orang tuanya. Bukan acara resmi. Tapi tetap saja, cukup membuatnya gugup.“Lu gak perlu dandan segitunya, Van,” kata Aya dari belakangnya. Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan wajah tanpa makeup.Elvano tersenyum menatap bayangannya di kaca. “Gue pengen bikin kesan yang baik.”Aya duduk di ujung ranjang sambil mengeringkan rambut dengan handuk. “Kayak lu belum cukup bikin orang kesengsem aja.”Elvano berbalik. “Termasuk lu?”Aya langsung melempar handuk ke arahnya. “Jangan geer!”Tapi senyum di bibirnya tipis. Tak bisa disembunyikan.Perjalanan ke rumah orang tua Aya tidak jauh, tapi suasananya seperti perjala
Hujan turun sejak subuh. Rintiknya tidak deras, tapi cukup membuat udara jadi lebih sejuk dari biasanya. Kabut tipis menggantung di jendela kamar, dan aroma tanah basah perlahan masuk lewat celah ventilasi.Aya duduk di tepi ranjang dengan rambut yang belum disisir, hoodie kebesaran yang menggantung di bahunya, dan wajah yang masih setengah kantuk. Ia menatap keluar jendela sambil sesekali mengusap embun yang menempel di kaca.Dari dapur, terdengar suara gelas beradu dan suara air mengalir. Elvano, seperti biasa, bangun lebih dulu. Tapi pagi ini tidak terdengar suara musik jazz lembut dari speaker dapur, tidak juga siulan santainya. Pagi ini… lebih sunyi.Aya bangkit dan berjalan pelan menuju dapur.Elvano berdiri membelakanginya, tengah menyeduh kopi dengan mata yang tampak berat. Rambutnya sedikit acak-acakan, dan daster masak yang biasa ia pakai terlihat lebih longgar di tubuhnya hari ini.Aya berdiri diam sejenak di ambang pintu, memp
Sudah dua hari sejak Elvano diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Aya menyetir mobil dengan ekspresi datar, tapi sesekali melirik ke kaca spion tengah, memastikan Elvano yang duduk di belakang bersama adik perempuannya, Ellin, tak tertidur dalam posisi yang salah.Ellin masih pucat, tapi jauh lebih segar dari saat pertama mereka dilarikan ke rumah sakit. Kini ia hanya mengandalkan selang infus portabel dan duduk bersandar di kursi mobil, tertidur tenang.“Lu yakin gak mau duduk di depan, Van?” tanya Aya tanpa menoleh.“Gak apa-apa,” jawab Elvano dari belakang. Suaranya rendah, tapi hangat. “Biar lebih gampang jagain Ellin kalau dia tiba-tiba butuh sesuatu.”Aya mengangguk pelan. Tak ada percakapan panjang sepanjang jalan pulang, hanya denting pelan lagu dari radio yang mengalun seperti latar adegan film yang... terlalu sepi.Sesampainya di rumah, Aya membantu membawa koper kecil dan tas obat Ellin ke kamar tamu. Elvano menyusul setelah m
Tiga hari tanpa kabar dari Elvano.Tiga pagi tanpa suara langkahnya. Tiga sore tanpa candaan receh yang entah kenapa belakangan mulai dirindukan. Tiga malam yang membuat Aya mulai merasa seperti sedang menanti tanpa alasan yang ia mengerti.Aya menunggu tanpa sadar. Tangannya tetap menyusun barang di warung, mulutnya tetap nyolot kalau ada pelanggan yang nawar kelewat murah, tapi matanya... diam-diam selalu menoleh ke ujung jalan.“Orang kaya mana mungkin sakit cuma karena gerimis,” katanya sendiri, mencoba menertawakan kekhawatirannya. Tapi tawa itu hampa.Lalu, tepat di hari keempat, motor tua berderu pelan melewati warungnya. Aya menoleh spontan.Bukan Elvano.Ia mendesah, lalu masuk ke dalam.Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya.> “Aya… maaf. Baru bisa kabarin. Aku lagi di rumah sakit. Nemenin adik operasi.”Pesan singkat. Tanpa banyak hiasan. Tapi cukup untuk membuat tangan Aya sedikit gemeta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments