Share

Bab 6

Author: Lucy Finston
Leukemia? Hati Derren tiba-tiba menegang. Matanya mengerjap dan alisnya berkerut dalam.

Beberapa saat kemudian, Derren tersadar. Laporan yang dibawanya jelas-jelas menyatakan bahwa Amelia hanya menderita anemia berat. Leukemia dari mana? Dia hampir ditipu wanita itu untuk kesekian kalinya.

Derren menepis tangan Jibran dengan dingin. Dia merapikan pakaiannya dengan santai dan membersihkan debu tak terlihat di bahunya. Kemudian, dia menatap Amelia dengan dingin dan penuh penghinaan.

"Memang hanya kamu yang bisa mengarang alasan seperti itu. Amelia, jangan mempermalukan dirimu sendiri," ujar Derren. Setelah berkata begitu, dia melempar dokumen hasil tes darah ke atas ranjang.

Isak tangis tertahan di tenggorokan Amelia. Dia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit dari luka fisik dan hatinya.

Amelia mengambil laporan itu dan membacanya. Sepasang tangan kurus itu mencengkeram erat halaman dokumen. Nama Amelia tercetak jelas di bagian atas, begitu juga dengan kata anemia di bagian diagnosisnya.

Ini hanyalah laporan biasa, tanpa indeks dan data abnormal. Persis seperti yang diimpikan Amelia berulang kali. Mungkinkah dia benar-benar salah didiagnosis? Secercah harapan muncul di mata Amelia.

Pintu kamar diketuk, seorang dokter yang tidak Amelia kenal berjalan masuk. Dia berambut putih dan berkacamata. Tanda pengenal di dadanya menjelaskan siapa diriya.

[ Dokter Joey, Direktur Departemen Hematologi. ]

"Apakah keluarga pasien ada di sini? Mari, biar kujelaskan hasil tes darah pasien. Selain menderita anemia berat, kondisinya baik-baik saja. Yang terpenting adalah makan makanan bernutrisi seimbang, istirahat yang cukup, dan jangan terlalu lelah," ujar Joey.

"Mana Dokter Charles?" tanya Jibran.

Diagnosis dan perawatan Amelia sebelumnya selalu ditangani oleh Charles. Jibran merasa curiga karena perubahan yang mendadak ini.

Selama Amelia dirawat di rumah sakit, Charles berulang kali mengunjunginya dan melakukan banyak tes. Dokter itu juga terus menyarankannya untuk menjalani perawatan. Dilihat dari segi mana pun, rasanya tidak mungkin ada salah diagnosis.

Joey membetulkan letak kacamatanya dan menjelaskan, "Charles adalah muridku. Di Departemen Hematologi, kesalahan diagnosis terkadang bisa terjadi. Kalau kamu belum tenang, kamu bisa datang untuk pemeriksaan ulang secara berkala."

Setelah meninggalkan beberapa instruksi, Joey pergi. Jibran mengikuti dokter itu keluar. Seisi ruangan pun kembali hening.

Derren berdiri di sebelah ranjang sambil bersedekap. Dia menatap Amelia dan menyindir, "Amelia, kamu benar-benar licik. Hanya anemia, tapi bisa kamu karang menjadi leukemia. Apa lagi yang nggak bisa kamu lakukan?"

Amelia hanya mendengar sambil lalu ucapan Derren. Hatinya tengah porak-poranda. Dia telah menjalani banyak tes dan diagnosis leukemia itu sudah lama dikonfirmasi. Dia bahkan menggugurkan kandungannya karena penyakit ini! Tidak mungkin ada yang salah.

Tangan Amelia tanpa sadar mengusap perutnya, lalu mencengkeram selimut dengan erat. Tidak, tidak mungkin ada salah diagnosis! Amelia kembali membuka laporan kusut itu dan membacanya berulang kali.

Melihat wajah panik Amelia yang dibanjiri air mata, hati Derren juga ikut bergejolak. Apa wanita itu benar-benar mengira dirinya mengidap kanker serius, makanya dia menggugurkan bayinya?

Derren memejamkan mata, menekan emosi yang melonjak di hatinya. Sejak awal, dia tahu bahwa anak itu hanyalah sarana bagi Amelia untuk menyelamatkan pernikahan mereka.

Sekarang setelah memiliki kekasih baru, wanita itu menggunakan segala cara untuk kabur darinya. Derren sama sekali tidak bisa memercayai Amelia yang sekarang.

Theo mengantar Derren pergi dari rumah sakit dan kembali ke perusahaan. Dia bisa merasakan suasana hati Derren sedang buruk, tetapi dia tidak menaikkan partisi.

Theo bersiap-siap apabila Derren hendak menyampaikan sesuatu padanya. Jadi, dia tetap menajamkan telinga selama mengemudi. Saat melirik ke kaca spion, Theo melihat ekspresi Derren masih sangat muram.

"Bagaimana situasi di sanatorium?" tanya Derren.

Theo menjawab dengan hati-hati, "Pak Martin sudah siuman. Mengenai biaya perawatan ... Bu Amelia sudah melunasinya."

Raut wajah Derren bertambah suram. Wanita itu sudah melunasinya? Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?

Amelia tidak terlihat ragu sedikit pun saat mengancam untuk bercerai dan meminta uang pada Derren. Namun, sekarang dia justru menolak meminta bantuannya dengan keras kepala.

Derren ingin lihat bagaimana bocah bernama Jibran itu bisa membantu Amelia. Dia mengusap cincin di jarinya dan berkata dengan dingin, "Aku mau lihat seberapa lama dia bisa bertahan."

Theo menegang. Masih ada hal lain yang harus dilaporkannya pada Derren. Ada beberapa hal yang bila dia katakan, pasti akan membuat sang atasan marah. Namun, jika dia menyembunyikannya, dia akan didepak.

"Pak Derren," panggil Theo dengan takut-takut. Dia melirik sekilas ke kaca spion, lalu melanjutkan, "Ada satu hal lagi. Bu Amelia ... sepertinya akan menghadiri pelelangan dua minggu mendatang."

Derren menyipitkan mata, merasakan api mulai berkobar di dadanya. Satu-satunya benda yang mungkin dilelang Amelia adalah gaun pengantinnya!

Saat itu, Derren telah bersusah payah membeli gaun pengantin populer dari Sanders, desainer yang tidak pernah menunjukkan wajahnya. Hanya karena Amelia bertanya padanya, "Derren, gimana pendapatmu tentang gaun ini?"

Melihat mata Amelia yang berbinar, bagaimana Derren tega tidak membelikannya? Namun, pada akhirnya gaun pengantin ini tidak pernah dipakai. Kini, pernikahan mereka sudah hampir berakhir.

Lamunan Derren terputus oleh panggilan masuk. Dia melirik sekilas layar ponsel, lalu mengangkat telepon dan berkata, "Halo? Yovana, apa apa?"

Yovana berucap dengan lembut, "Kak Derren, aku dan temanku janjian untuk mencoba gaun pengantin, tapi dia tiba-tiba ada urusan dan nggak bisa datang. Kamu punya waktu untuk menemaniku?"

Mata Derren tampak dingin. Sejak dia membelikan Yovana cincin berlian merah muda karena tidak tahan dengan rengekannya, tuntutan wanita itu sepertinya makin menjadi-jadi.

Baru saja Derren hendak bicara, Yovana sudah berkata lagi dengan nada merajuk, "Nggak masalah kalau Kakak menemaniku mencoba gaun pengantin, 'kan? Tapi kalau Kak Derren keberatan, aku bisa pergi sendiri."

Derren membalas dengan sabar, "Yovana, aku masih ada rapat. Aku akan menyuruh seseorang menemanimu."

Derren menutup telepon, lalu memijat keningnya dengan jengkel.

Yovana menyimpan ponselnya. Senyum di wajahnya sudah luntur sepenuhnya.

Derren tidak pernah menunjukkan tanda-tanda ingin menikahi Yovana. Dia juga tidak pernah memberikan respons apa pun terhadap kode-kode halusnya.

Yovana berbalik badan, memasuki sebuah butik pengantin. Tidak masalah. Suatu hari nanti, Derren pasti akan menjadi miliknya! Sebelum hari itu tiba, dia akan mempersiapkan segala sesuatunya dengan sempurna.

Melihat Yovana masuk dengan didampingi pembantu dan pengawal, pegawai butik segera datang menyambutnya. Dia menyapa dengan ramah, "Selamat datang, butik kami memiliki layanan modifikasi gaun pengantin domestik dan internasional terbaik, kamu bisa ...."

Sebelum pegawai itu selesai bicara, Yovana sudah menyela, "Aku sudah tanya sebelum datang ke sini. Aku hanya menginginkan gaun desain Sanders."

Berdasarkan hasil penyelidikan Yovana, dia tahu Derren pernah membelikan Amelia gaun pengantin karya Sanders.

Sanders adalah desainer gaun pengantin terbaik di negara ini. Dia adalah desainer eksentrik yang tidak hanya menciptakan karya-karya unik, tetapi juga sangat selektif dalam memilih klien. Desain gaunnya juga sangat langka.

Tidak ada wanita kaya di ibu kota bahkan di seluruh negeri, yang tidak menyukai gaun pengantin rancangan Sanders.

Pegawai itu berucap dengan raut rumit, "Sanders sudah lama nggak aktif berkarya. Saat ini kami nggak memiliki satu pun gaun rancangannya."

Yovana mengatupkan bibirnya dan menggertakkan gigi kesal. Gaun pengantin selangka itu bisa Derren dapatkan untuk Amelia. Dia jelas tidak boleh kalah!

Pegawai butik itu tiba-tiba teringat sesuatu dan berkata lagi, "Oh, benar juga. Sepertinya ada gaun pengantin karya Sanders yang akan dilelang di Acara Lelang Sofi dua minggu mendatang."

Mata Yovana sontak berbinar. Itu adalah kesempatan terbaik untuk mendapatkan gaun pengantin impiannya!
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 50

    "Aku nggak bermaksud memaksamu. Nggak apa-apa kalau kamu masih menganggapku adik. Bergantunglah sedikit padaku ya?"Tatapan Amelia meredup, lalu dia mengalihkan pandangannya. Baginya, bergantung pada orang lain adalah hal yang sangat sulit sekarang.Saat kecil, dia bergantung pada kakeknya. Setelah dewasa, dia bergantung pada Derren. Namun, pada akhirnya semua itu hanya membuatnya tidak memiliki sandaran.Sesampainya di rumah Camila, Amelia mengeluarkan kunci dan masuk seperti biasa, lalu berseru dengan nada santai, "Camila, ada apa sih?"Camila yang memakai kacamata besar berbingkai hitam dan rambut digulung dengan pulpen ke atas kepala, langsung mendongak kaget. Kantong matanya tampak sangat hitam."Amelia? Kamu sudah selesai kemo? Bukannya harus dirawat dulu buat observasi?"Jibran yang berdiri di belakang hanya menunjukkan ekspresi pasrah, menyiratkan bahwa dirinya tak bisa menang melawan Amelia.Camila bangkit, mengambil air panas, lalu membungkus Amelia dengan selimut di atas ran

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 49

    Yovana diam-diam melirik ke arah Derren. Wajah pria itu gelap menyeramkan, tangannya mencengkeram setir erat sampai jarinya memutih. Garis rahangnya menegang, mata gelapnya menyipit tajam. Jelas sekali bahwa dia sedang dalam puncak amarahnya.Yovana merasa takut, tetapi tetap memberanikan diri untuk menambahkan bumbu, "Kak Amelia hamil ya?"Begitu ucapan itu dilontarkan, dia seperti sadar dirinya salah berbicara. Dia langsung menarik napas tajam dan menutup mulutnya, memandang Derren dengan ekspresi panik. Padahal di dalam hati, dia justru bersorak puas. 'Amelia, gimana kamu mau mengelak lagi?'Derren menyatukan kedua tangan, tanpa sadar memutar cincin zamrud di jarinya. Dia tak berpikir sejauh itu. Yang membuatnya tak tahan adalah kedekatan Jibran dan Amelia yang terlalu mesra di matanya.Amelia mengenakan jas pria itu, tampak begitu rapuh, tetapi keindahannya membuatnya tak bisa memalingkan pandangan. Dua kepala saling bersandar, berbisik. Pemandangan itu membuat hati Derren terbakar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 48

    Kemunculan Jibran yang mendadak justru memancing ketidakpuasan dan serangan dari Keluarga Adhinanta. Bahkan di internal Grup Khoman, banyak yang mulai mempertanyakan dirinya. Terlebih lagi, demi membantu Amelia, Jibran rela mengorbankan impiannya menjadi pembalap.Itu sebabnya, Amelia merasa bersalah.Di ruang kemoterapi, alat-alat besar berdengung. Beberapa dokter berseragam putih sibuk dengan pekerjaan mereka.Amelia melangkah masuk. Pintu tebal tertutup di belakangnya. Dia menelan ludah tanpa sadar dan telapak tangannya mulai berkeringat."Bu Amelia, kita akan mulai. Saat kemoterapi, nggak bisa menggunakan obat bius, jadi akan terasa sakit. Kalau nggak tahan, kami akan segera hentikan."Amelia berbaring di ranjang perawatan. Tubuhnya sedikit kaku. "Baik ...."Dokter tersenyum menenangkan. "Nggak perlu khawatir. Dari peracikan hingga prosedur, ini adalah tim terbaik Grup Khoman. Pak Jibran pun mengawasi langsung. Tenang saja."Amelia mengangguk pelan. Kilatan cahaya perak melintas, j

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 47

    Tengah malam, Amelia terbangun karena rasa sakit yang menusuk.Begitu membuka mata, yang terlihat hanyalah kegelapan. Di sekelilingnya, lampu-lampu indikator dari berbagai alat medis berkedip. Wajahnya terpasang masker oksigen, tubuhnya juga terpasang berbagai selang.Efek bius pasca operasi sudah habis. Kini, setiap bagian tubuhnya terasa sakit. Padahal tadi hanya demam biasa, kenapa bisa separah ini?Untuk pertama kalinya, Amelia benar-benar merasa dirinya sangat dekat dengan kematian. Tidak, mungkin ini kali kedua.Waktu baru menikah dengan Derren, mereka pernah liburan ke pulau tropis. Amelia memang tak tahan panas, tetapi tetap saja ingin bermain. Akhirnya, dia mengalami sengatan panas yang parah hingga nyaris meninggal.Saat itu, Derren bahkan rela mengenakan pakaian pelindung lengkap demi bisa berjaga di ICU. Dia berucap, "Aku harus melihatmu dengan mata kepala sendiri. Aku nggak bisa pergi sedetik pun."Amelia masih ingat jelas betapa paniknya Derren waktu itu. "Amelia, kalaupu

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 46

    Mungkin karena malam sebelumnya tidak beristirahat dengan baik, kepala Amelia terasa nyeri dan berdenyut pelan. Hari ini adalah hari yang dijadwalkan untuk menjalani kemoterapi, tetapi Jibran tak kunjung muncul."Jibran itu ya .... Sejak acara lelang yang mengungkap identitasnya, aku merasa sudah jarang sekali lihat dia."Amelia batuk kecil dan mengangguk pelan. "Ya, aku juga khawatir. Derren sedang menyerang Grup Khoman."Camila terlihat sangat khawatir. "Amelia, kenapa suaramu serak banget? Sini."Begitu tangannya menyentuh dahi Amelia, Camila langsung melompat kaget. "Kenapa kamu demam tinggi begini? Kamu baik-baik saja?"Sambil terus mengomel, Camila mulai panik mencari plester kompres demam. Amelia mencoba bangkit, tetapi baru sadar seluruh tubuhnya terasa lemas, bahkan tak mampu turun dari tempat tidur. Pandangannya pun menggelap.Mungkin karena tidak istirahat dan juga masuk angin. Sebagai pasien leukemia, demam adalah hal yang sangat berbahaya.Amelia merasa kepalanya berputar

  • Maaf, Cinta Telah Hampa   Bab 45

    Derren menempatkan Yovana di kursi belakang mobil Cullinan hitam miliknya, lalu ikut masuk. Mobil segera meluncur meninggalkan hotel.Yovana berusaha terlihat tenang, tetapi akhirnya tidak tahan lagi. Kepalanya dimiringkan, lalu dia bersandar di bahu Derren dan menangis tersedu-sedu tanpa henti. "Kak Derren, maaf ...."Derren tetap duduk diam, matanya menoleh ke arah gadis di sampingnya. "Kenapa minta maaf?"Yovana menyeka air matanya. "Sejak aku muncul, rasanya aku hanya membuatmu tambah repot .... Kali ini aku cuma ingin melindungi Kak Amelia, tapi tetap saja berantakan. Kenapa semua bisa jadi seperti ini ...."Derren terdiam sesaat, lalu menarik selembar tisu dan menyerahkannya. Dengan suara rendah, dia menimpali, "Aku akan menyelidikinya. Lagian, ponsel Lukman memang dibuka oleh timku."Yovana langsung menoleh dengan ekspresi terkejut. "Pantas saja. Kalau nggak, mana mungkin dia punya suara Paman Lukman sebagai bahan rekaman ...."Dalam hati, Yovana mendengus dingin. Tentu saja dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status