Share

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai
Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai
Penulis: ikan kodok

Kehadiran Duri Dalam Rumah Tanggaku

Maaf, Mas, Aku Memilih Bercerai

 

****

Mas Faiz pulang bersama seorang wanita, ia memperkenalkan wanita itu padaku, dan mengatakan akan menikahinya. Namanya, Clarissa, entah dari masa asalnya, yang jelas aku tidak perduli. 

“Kamu duduk ya sayang, Mas tinggal sebentar,” katanya pada wanita itu, ia mengangguk dan mendaratkan bokongnya di sofa rumahku. 

Waw, di depanku, ia bahkan memanggil jal*ngnya itu sayang!

Entah sudah berapa bulan mereka menjalin hubungan, intinya kalau sudah berani mendua, tidak ada kata bertahan.

“Ayo!” serunya sambil mencekal pergelangan tanganku, Mas Faiz membawaku menuju kamar kami, beruntung Isna, putri kami belum pulang dari taman kanak-kanak. 

Aku menyentak kasar tangan Mas Faiz, ia membanting pintu. “Kamu itu yah, Clarissa datang baik-baik, harusnya kamu senyum kek atau gimana, suguhkan teh atau apa, bukannya datar kayak tiplek!” marahnya, waaoo, pelaku selalu bertindak seperti korban.

Mana bisa seorang istri bersikap sok manis pada selingkuhan suaminya. 

Aku menyilang tangan di dada, letupan api yang mengalir sampai kepala hendak meledak, aku mengatur napas, menghelanya kasar, dan menghembuskannya secara bersama.

“Terus kamu maunya apa? Aku layani dia! Bisa-bisanya kamu selingkuhi aku, sudah berapa bulan kamu jalanin hubungan sama dia?” tanyaku gregetan, tidak ada hujan, tidak ada badai, ia datang bersama selingkuhannya. 

Mas Faiz menyugar rambutnya kebelakang, aku mendengar bunyi giginya yang gemeletuk. 

“Gak usah banyak tanya! Aku selingkuh juga karena kamu gak becus! Udah ya aku nggak mau bertengkar, Clarissa akan jadi adik madumu. Setuju atau enggaknya kamu, aku bakalan nikahi dia.” Hatiku mencelos, mataku membulat sempurna, debaran jantungku mendadak berhenti.

Oke kalau itu pilihanmu Mas, aku juga punya pilihan sendiri. 

“Silakan kalau kamu mau menikah lagi, tapi tolong, kamu ceraikan aku,” ucapku menatapnya tajam, tidak ada gunanya aku mempertahankan rumah tangga ini, jangan paksa aku menetap, jika pergi aku lega. Akan aku lakukan. 

Mas Faiz tertawa keras, “Dasar  bod*h, gampang banget mulutmu minta pisah, aku turuti, kamu jadi gelandangan dijalan. Mau kerja apa kamu, sadar diri dong! kerjaanmu itu cuman nyusahin suami doang.” 

Rasa kagetku kian bertambah, 5 tahun aku menikah dengannya baru kali ini ia menghinaku secara gamblang. Aku istrinya, orang yang menemaninya jatuh bangun, jadi ini balasannya kala ia sudah sukses. 

“Aku bisa cari uang sendiri! Rezeki datang dari Allah, pasti ada jalannya,” ketusku tak mau kalah. 

Aku berdiri di depan Mas Faiz, jari telunjuknya itu mengarah kepadaku. “Cuman wanita yang gak tahu diri kayak kamu, yang nggak bersyukur, masih untung aku pertahankan kamu, Bella. Kamu terima Clarissa apa susahnya! Toh aku juga bakalan adil sama kalian berdua,” tekannya sekali lagi. 

Tidak! 

Keputusanku tetap sama, mau ia mengatakan aku ini-itu, aku tidak perduli. Siapa Clarissa?! Dari mana ia kenal wanita itu? Persetan, bukan urusanku lagi. 

“Enak banget kamu tinggal ngomong gitu! Kalau bukan aku yang mikirin perasaanku? Lalu siapa? Kamu?! 

Jadi tolong, kalau kamu tetap dengan keputusanmu, maka aku tetap dengan keputusanku!” tuturku penuh penekanan.

Sorot mata Mas Faiz kian tajam, wajahnya merah padam, napas kami memburu tanpa kata. 

“Gak usah drama kamu, Bella! Sudah pandai kamu sampai jadi pembangkang, kamu cukup terima keadaan, kamu bersikap baik ke Clarissa, semua selesai. Gak ada kata pisah di antara kita.” Aku menggeleng, tidak puas dengan jawabannya. Ia bicara begitu karena tidak ada di posisiku sekarang. 

Ini sebuah kejutan darinya, tadi ia pamit hendak ke kantor, tak lama kemudian, ia pulang dengan gundiknya ke sini. Dan ia menyuruhku menerima keputusannya, hello, tidak akan pernah. 

“Aku tetap dengan keputusanku. Kita cerai!”

“Kamu jangan egois, gak tahu diri banget. Istri macam apa kamu, cuman di madu aja kamu udah berani teriak ke suami!” 

Mas Faiz mencengkeram daguku, namun secepat kilat aku menepisnya. 

“Aku bukan wanita lemah, Mas, kalau aku bisa melawan, kenapa aku harus diam?! Jangan kamu pikir aku selama ini lemah lembut, gak pernah membantah, dan menurut kamu bisa semena-mena. Hidup cuman sekali, aku gak mau mempersulit hidupku dengan bertahan sama kamu,” cerocosku panjang lebar. 

Tangan Mas Faiz menggantung di udara, telapak tangan kasar itu sudah terbaca olehku. Pasti Jal*ng sialan itu lah yang telah mencuci pikirannya. 

Aku dengan sigap menepis tangannya. “Besok aku akan daftarkan gugatan perceraian kita, mau atau enggaknya kamu, intinya aku muak dengan seorang pengkhianat.” Aku berkata tanpa melepas tatapan mataku padanya.

“Istri gak berguna! Silakan, kamu coba. Bisa apa kamu, kerjaanmu cuman makan, masak, palingan juga kamu jadi babu,” kekehnya, wajahnya itu dihiasi guratan angkuh. 

Rasa kekecewaan dihatiku sudah berbalut luka. Ia lupa? Tapi tidak masalah, aku akan memberinya kejutan yang membuatnya jantungan. 

Aku tersenyum kecut, lalu mengusap tanganku. 

Sebuah tamparan keras mendarat mulus di pipinya. 

Plak!

“Itu tamparan atas pengkhianatan kamu selama ini, aku bisa saja menamparmu ribuan kali, tapi itu percuma. Kita lihat saja, siapa yang akan hancur duluan. Biasanya yang berulah lah yang akan didatangi karma lebih awal!” 

Mas Faiz membeku kala aku membisikan kata itu. 

“Coba saja, dan aku pastikan kamu akan datang padaku, dan bertekuk lutut.”

Satu nilai plus untuknya, terlalu percaya diri. 

“Kalau itu terjadi. Bagaimana jika terbalik? Kamu yang akan mencariku, dan sayangnya aku sudah tak lagi membutuhkanmu lelaki sepertimu,” ujarku. 

Tanpa pikir panjang lagi, aku meninggalkannya di kamar. Aku akan menjemput Isna, putriku. 

 

****

“Terima kasih, karena kamu, saya tahu mana yang pantas dipertahankan, dan mana yang cocok di buang.” Aku berucap pada Clarissa yang duduk di sofa, ia nampak menelan ludahnya. 

“Mbak ...”

“Gak usah Mbak-mbak an, saya tidak mau berkata banyak. Tolong, nanti kamu bersihkan sofa bekas kamu duduk, karena sofa saya terlalu mahal untuk di duduki barang murahan, mengerti!” berangku datar. 

Ia melongo, aku yakin dalam hati wanita ini mengumpati. 

Aku mengedikan bahu acuh, lalu melengos pergi. 

Jangan harap kamu bisa menikmati uang suamiku, Clarissa. Cukup mainnya, tanpa kamu sadari, kamu telah membangunkan singa yang tertidur. 

 

 

****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komen (7)
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
kamu telah membangunkan singa tidur yg lg kelaparan...
goodnovel comment avatar
Sahnaz Hutomo
awal yg seru..sy senang dgn wanita yg tidak lemah..,,
goodnovel comment avatar
Rainie Ray
baru mula baca aku udah kesal dgn watak lelaki dlm cerita ini...ko bisa ya egois banget..gak mikirin perasaan isteri langsung..apa isteri yg gak punya karir langsung gak berguna ya..lelaki yg punya pikiran seperti itu lebih baik buang jauh² otaknya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status