Degup jantung Tiara berdetak dua kali lebih rancak. Ia menoleh, memastikan apakah Wira sudah melihat siapa yang menelpon ke hapenya.Sejenak memandang wajah lelaki itu. Tapi yang ditatap tampak begitu tenang. Justru Tiara yang dilanda perasaan tak menentu. Apa yang harus ia lakukan, mengangkat telpon dan pastinya Wira akan sangat tersakiti. Atau membiarkan hingga deringan itu berhenti dengan sendiri, namun akan melukai hati Yudhi.Sesaat dia mengembuskan napas panjang."Angkat aja, Dik."Ucapan Wira membuat Tiara tersadar dari pikir panjang yang mungkin takkan usai itu. "Baik, Mas," ucapnya lega sambil bangkit mencari pojokan. Lalu panggilan dari Yudhi segera diangkat."Assalamualaikum Mas.""Waalaikum salam Sayang. Udah shalat Dhuha?"Tiara terhenyak, karena keinginannya bertemu Danu begitu menggebu, ia hingga lupa belum selesai melaksanakan shalat Dhuha. Bahkan, wudhu saja belum."Belum, Mas.""Lho ini dimana? Kok bising sekali?""Tiara lagi ketemuan sama teman, Mas.""Pergi kok ng
"Mas langsung balik, ya," ucap Wira setelah sepersekian detik keadaan diliputi kebisuan.Tiara hanya mengangguk lalu berbalik ke belakang untuk mengecup pucuk kepala sang anak yang sudah tertidur.Dengan perasaan tak tenang, Tiara lanjut menuruni mobil mantan suaminya. Langkah rapuh itu langsung di sambut oleh sang suami yang tampak berdiri tanpa berkedip. Pandangan tajam menembus kaca mobil dan jatuh tepat pada bola mata yang kini menghilang bersama mobilnya.Tidak ada yang dapat menggambarkan perasaan wanita itu kini. Sungguh Tiara menanggung rasa bersalah yang teramat besar. Benar dia menikmati seharian ini bersama Wira dan Danu, tapi tak terbesit sedikitpun jika mantannya itu berani menyentuh bibirnya. Bagaimana cara menjelaskan semua ini. Wanita itu masih menimbang-nimbang situasi dan keadaan.Ketika jarak mereka sudah sangat dekat, Yudhi segera memegang lengan wanita itu. Lalu tanpa suara dia membimbing Tiara untuk masuk ke dalam rumah. Sikapnya begitu tenang, seolah tak terja
Tiara mematut diri di depan cermin, gamis berwarna cream yang ia kenakan terlihat menyatu sempurna dengan dirinya. Kini wanita itu meraih jilbab untuk kemudian disematkan di kepala. Luar biasa!Hingga napasnya pun terhela sesaat. Kagum pada diri sendiri. Jika biasa ia sering terlihat santai dalam balutan tunik dan jeans, maka kali ini Tiara begitu anggun dengan gamis syarinya. Beberapa detik, pikiran serasa dilempar pada sosok pemberi semua hadiah ini.Yudhi.'Pasti kamu sangat kecewa dengan kelakuanku tadi siang, Mas?'Tiara kembali merasakan sesak di dadanya. Ia kemudian membuka sebuah kotak yang diyakini berisi perhiasan. Seperti janjinya, walau bukan Tiara yang meminta, Yudhi benar-benar mewujudkan apa yang pernah ia katakan dahulu sebelum pernikahan mereka terlaksana.Tiara ingat betul kenapa waktu itu Yudhi menolak menikah dalam waktu cepat. Kotak ini salah satu alasan. Kata ia ingin menghadiahkan cincin berlian kepada mempelai wanitanya di hari pernikahan. Melihat kotak yang
"Tiara?" Yudhi tampak tercengang mendapati sang istri ada di depan mata."Udah malam Mas, saya mau pulang," ucap Tiara dengan suara bergetar.Yudhi yang mendapati keadaan spontan itu segera bangkit."May, makasih ya undangannya. Udah malam, kami langsung pamit."Maya mengangguk mengerti, lalu ia mengantar kedua tamunya hingga sampai ke pintu keluar. Suasana terasa lebih kaku dibandingkan saat pertama mereka sampai. Tiara terlihat lebih cuek, tak ada ucapan pamit yang keluar dari mulutnya. Bahkan ketika sudah melewati pintu. Wanita itu terus berjalan tanpa menoleh. ***"Mas enak-enakan duduk sama Mbak Maya, terus saya dibiarin sendirian di dalam rumah!" Ungkapan kekesalan itu langsung keluar dari mulut Tiara, walau kendaraan baru berjalan sekitar tiga meter."Maya bilang udah ngajakin kamu untuk ikut bergabung di teras, tapi kamunya yang menolak."Tiara terdiam, 'perempuan itu mulai menipu,' batinnya berbisik halus."Nggak pernah dia mengajak Tiara, Mas. Ada juga begitu Tiara megan
Setelah sempat diserang ibu mertua, hari-hari Tiara kembali dipenuhi perdebatan. Dengan siapa lagi jika bukan dengan mantan suami. Tiara tak henti mengucap istighfar, ia salah telah sempat kembali luluh akan perlakuan manis sang mantan suami. Ternyata, lelaki itu tetaplah seorang Wira, yang tak pernah mengenal kata salah dan kalah.Kemarahan Wira terlihat jelas saat ajakannya untuk kembali bertemu tidak diiyakan oleh Tiara. Rentetan makian kembali menghujani wanita itu. Bahkan hingga sampai ke titik dimana Tiara merasa menjadi wanita paling hina. Wira menyamakannya dengan makhluk Allah yang tidak berakal.Suatu ketika ia bahkan meminta Tiara agar mempertemukannya dengan Yudhi. Tentu permintaan itu tidak diiyakan Tiara, mengingat kemungkinan perkelahian yang terjadi amat lah besar.Beberapa hari menjelang persidangan, semua pesan Wira tak lagi ditanggapi Tiara. Semangat yang terus diberikan umi Yudhi, yang sesuai permintaan sang suami agar menetap menemani Tiara, membuat wanita itu s
Rasa canggung meliputi keduanya, saat untuk pertama kali setelah sekian hari terlewati hanya dengan menatap di kejauhan."Ayo mari masuk."Yudhi membuka pintu mobil bagian tengah agar sang ibu bisa menaiki kendaraan itu. Lalu dengan cepat membuka pintu bagian depan agar sang istri juga bisa mendapatkan tempat untuk mendudukkan diri.Sebelum menutup pintu mobil, keduanya saling menatap sejenak sambil sama-sama menyunggingkan senyuman. Tiara bisa menangkap aura bahagia yang terpancar dari raut wajah sang suami. Ternyata hal itu, membuat dadanya terasa amat lega. Kini ia sudah menepati janji pada lelaki itu. Dirinya sudah membuktikan keseriusan dalam menjalani pernikahan bersama Yudhi. Dan sebagaimana perkataan pria itu tempo hari, iapun telah menunaikan kewajiban. Sikap hangatnya kembali mulai terasa.Yudhi kini menyusul menaiki mobil dengan duduk di kursi kemudi. Tak lama mobil itupun kembali melaju di atas jalanan. Di sisi lain halaman, seorang lelaki dengan mata memerah menatap pas
Yudhi sampai di rumah selepas magrib. Padahal kecepatan mobil yang ia kendarai stabil diatas 100 km/jam, berharap bisa sampai sebelum magrib supaya bisa memimpin shalat jamaah bersama Tiara. Tapi, kenyataan di perjalanan tadi ada seorang ibu-ibu pengemis diserempet motor, jadilah ia mengulur waktu demi jiwa sosialnya. Membantu hingga membawa wanita tua itu ke rumah sakit.Masih terngiang di telinga Yudhi bagaimana wanita itu melepas kepergiannya, "di sisi Allah, satu kebaikan akan dibalas dengan 10 kebaikan lain. Terima kasih kamu sudah menolong Nenek. Semoga Allah senantiasa memberimu kemudahan, Anakku."Yudhi memejamkan mata, menghapus kenangan sesaat pada wanita tua yang tadi ia selamatkan. Kini netranya menatap buket bunga juga cokelat yang ada di tangan. Seulas senyum terkembang pada wajahnya. Ia sudah memimpikan malam ini jauh-jauh hari. Harapan sempurna sudah, Allah telah mengabulkan doa yang ia panjatkan tiap saat."Terima kasih, Allah ...."*Beberapa kali pintu rumah suda
Sentuhan pada jemari Tiara menyadarkan wanita itu dari pikiran akan pertanyaan sang suami."Kok melamun, Dik?"Tiara bergeming sejenak, lalu mulai mencerna pertanyaan tadi melalui kacamatanya."Kalau Tiara nggak mengijinkan?""Kalau Adik yang melarang, Mas mau bilang apalagi. Dengan senang hati Mas akan menolak," jawabnya tenang meski Tiara tahu lelaki itu terlihat sedikit kecewa dengan keinginannya."Bagaimana jika Tiara ikut bekerja Mas, Tiara 'kan punya ijazah sarjana yang bisa dipakai buat ngelamar pekerjaan?"Yudhi terhenyak, ia kembali menggenggam jemari wanita itu."Jangan ya, Dik. Adik 'kan sedang hamil, untuk sementara fokus dulu pada kehamilan Adik, ya Sayang."Tiara melempar senyum, jika Yudhi dengan ikhlas hati mau menuruti keinginannya, maka iapun akan dengan senang hati mengikuti apapun keinginan lelaki itu. Bukankah cinta itu timbal balik, sebatas itu tidak menyakiti dan saling mengangkat derajat, Tiara akan ikhlas menerima. Sekalipun seumur hidup barangkali ijazahnya h