"Anita ayo makan!" Mas Romi menaruh makanan pesanannya di atas meja. "Aku gak lapar,Mas," tolakku halus, entah kenapa melihat makanan justru membuatku mual. "Tunggu sebentar," ucapnya sambil meninggalkanku entah kemana.Kenapa kepala ini masih seperti gangsing, berputar-putar. Mata ini juga menjadi berat. Lalu perlahan semua menjadi gelap. Aku pingsan lagi. Kubuka mataku perlahan, terasa ada yang berbeda dan asing bagiku. Ya, ini bukan kamarku. Lantas aku di mana? Lho... lho kok ada selang infuse tertancap di tangan kiriku? Fix, ini rumah sakit.Tapi kenapa aku ada di sini?"Anita, kamu sudah sadar?" Rona bahagia terpancar di raut wajah Mas Romi. "Alhamdulillah seperti yang Mas Romi lihat." Kuberi seulas senyum. "Ya Allah Nit, jangan bikin Mas panik seperti ini. " ada rasa khawatir terpancar dibola matanya.Tunggu-tunggu... Mas? Sejak kapan Mas Romi memanggil dirinya Mas? Bukankah dia selalu bilang aku dan bukan Mas, aneh. Mungkin akibat pingsan pendengaranku jadi konslet begini.
Alhamdulillah, akhirnya aku boleh pulang setelah dua hari dua malam di rumah sakit. Rasanya sudah sangat rindu suasana rumah. Rindu bergulat dengan plester dan baju-baju.Mas Romi sudah mengangkat barang-barangku ke dalam mobilnya. Aku lebih memilih pulang dengan mobil Indah. Tidak enak kalau harus semobil berdua dengan Mas Romi. Walau sedari tadi dia membujukku pulang dengannya. Mas Romi membuka pintu, memasukkan barang-barangku ke dalam rumah. Sementara aku dan Indah naik ke lantai atas menuju kamar. "Bener-bener suami idaman. Sayang Mas Romi nya gak suka sama aku. Sukanya sama ini nih."ucap Indah sambil menyenggol tanganku. "Apaan sih Ndah, dia cuman teman kok." Kututupi mukaku yang terasa memanas menahan malu. "Tenang udah aku acc kalau kamu sama dia," godanya"Ha ha ha ... lucu kamu,Ndah," ucapku sambil menjatuhkan bobotku diatas ranjang. "Ih, kok seneng banget ada apa nih?" sahut Mas Romi yang tiba-tiba muncul. "Ini, katanya Nita, Mas itu suami idaman." Refleks kubungkam m
Aku duduk menunggu giliran sidang kedua. Setengah jam lagi aku harus ada di ruang sidang. Namun hingga detik ini Mas Deni belum datang. Aku sangat berharap Mas Deni tak usah hadir dalam sidang kali ini dan seterusnya agar hakim segera mengetuk palu, dan aku terbebas dari Mas Deni. Panjang umur benar, baru juga kupikirkan,Mas Deni dan Rani sudah nampak berjalan ke arahku. "Sendirian nih,Mbak?" ejek Rani padaku. "Kalau sendirian memangnya kenapa?""Kasian kamu mbak," ucap Rani sinis. "Aku akan tetap ajukan pembagian harta gono gini ke pengadilan,salah sendiri kamu maruk!" lantang Mas Deni bicara. "Hahahaha ... mimpi kamu Mas!Harta tak punya minta pembagian harta gono gini. Mbok, ya, ngaca!" ejekku. "Kita lihat saja, berapa banyak harta yang akan menjadi milikku," ucapnya sombong. "Oke,kalau Mas nekat minta harta gono gini. Siap-siap saja, Ibu dan Rani mendekam di penjara!" gertakku. "Halu kamu, Mbak!" sinis Rani. "Kamu lupa, aku punya punya bukti uang-uang mbak yang kamu pinja
Kunyalakan mesin, perlahan meninggalkan rumah mewah kediaman Pak Yusuf. Sepanjang perjalanan tak hentinya kumemikirkan Nadia,gadis cantik yang telah mencuri hatiku. Kian hari online shop milikku kian rame. Mungkin ini yang namanya hasil tidak mengkhianati usaha. Alhamdulillah, kupanjatkan puji syukur atas nikmat yang Allah berikan kepadaku.Drrrttt.... Ponselku bergetar, ku ambil benda pipih yang ada di atas meja.[Anita,apa kabar?] Satu pesan masuk dari Mas Romi. [Alhamdulillah baik mas,mas sendiri bagaimana?] [Alhamdulillah Nit. O, ya, Mas ada lowongan pekerjaan untuk kamu,jadi manager keuangan. Apa kamu mau Nit?]Tawaran yang bagus dari Mas Romi, aku berkarir seperti dulu. Tapi, bagaimana dengan bisnis online shop yang mulai berkembang ini?Jadi galau gini ya.[Aku pikir-pikir dulu ya mas,kebetulan online shop yang kurintis mulai berkembang.][Oke, aku tunggu jawabanmu ya, Nit.]Kupikirkan baik-baik tawaran Mas Romi. Masih ada keraguan di hati,lanjut berkarir atau mengelola o
Pov DeniSudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin pepatah itu cocok dengan diriku, bagaimana tidak, sudah digugat cerai Nita, kini aku dipecat dari kantor secara tidak hormat. Apa mungkin ini karma?Ah, mana mungkin ada karma! Aku tak percaya karma. Mungkin aku apes, atau memang Mila itu pembawa sial. Ini berbanding terbalik dengan,apa yang aku harapkan. Dulu, kukira aku lelaki paling beruntung dan bahagia di dunia ini. Bisa memiliki dua istri sekaligus.Aku dan Mila berjalan keluar, banyak mata memandang kami sinis. "Biar tau rasa tukang zina!""Emang enak dipecat, salah sendiri main gila kok di kantor!""Sukurin...!"Banyak sindiran silir berganti mengiringi kepergian kami. "Ini semua gara-gara kamu, Mas!" omel Mila sepanjang jalan. "Kamu yang ngerayu aku, kenapa aku yang disalahkan?" Kunaikkan nada bicara. Kesel, marah. Dasar Mila, maunya menang sendiri! Menyesal aku menikahinya, kalau saja dia tak sedang hamil, pasti sudah kutalak dia.Kunyalakan motor, meninggalkan halaman
Pov RaniAku duduk di teras, menunggu Mas Deni yang tak kunjung pulang. Mila pun tak ada, ke mana mereka pergi? Aku senakin tak tenang setelah mendengar Mas Deni dipecat dari kantornya. Sekarang hilang sudah tambang emasku. Walau aku sudah bersuami, Mas Deni selalu memberikan apa yang kuminta. Tetapi jika dia tak bekerja, mana bisa membelikan apa yang aku inginkan.Satu jam berlalu, akhirnya nampak juga batang hidungnya."Dari mana aja sih,Mas?" tanyaku saat Mas Deni sampai di halaman. Mas Deni tak menjawab, dia berjalan melewatiku begitu saja. Aku menggelengkan kepala melihat pakaiannya yang acak-acakan, berantakan. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalimat itu yang memenuhi isi kepalaku. Aku ikut masuk ke dalam kamarnya. Kulihat dia memasukkan baju-baju Mila ke dalam koperLho-lho, ada apa lagi ini?"Mas, kenapa baju Mila kamu masukkan ke dalam koper?" "Aku sudah gak sudi hidup bersama wanita jal*ng seperti Mila!" Terlihat Mas Deni menahan amarah."Maksud, Mas?" Aku bingung, tak menge
"Nita, tolong berikan laporan pengeluaran bulan lalu ke ruangan saya" perintah Mas Romi lewat telepon."Baik Pak." Sambungan telepon pun dimatikan sepihak olehnya. Kuambil berkas laporan keuangan bulan lalu. Segera berjalan menuju ruang direktur utama. Tok... Tok... Tok.... Pintu kuketuk perlahan. "Masuk!" Suara Mas Romi dari dalam. Kubuka pintu perlahan, berjalan mendekati Mas Romi. "Ini,Pak laporannya." Kuberikan laporan keuangan bulan lalu di atas meja. "Duduk,Nit!" ucapnya sambil memeriksa laporan yang kuberikan. Tak berapa lama, laporan selesai diperiksa mas Romi. "Nanti makan siang bersama,ya,Nit. Aku tunggu di lobi.""Ta...tapi Pak."Aku bingung kenapa Mas Romi mengajakku makan bersama. Ingin menolak tapi tak enak melawan bos. "Pokoknya aku tunggu di lobi. Mas gak akan makan kalau kamu tidak mau diajak makan!" ancamnya. "Baik,Pak, saya permisi.""Iya," jawabnya sambil terus tersenyum kepadaku. Sebenarnya tak enak makan berdua dengan Mas Romi. Takut terjadi fitnah. T
Pov DeniKriiiinggg... Kriiiinggg.... Ponselku berbunyi satu panggilan masuk. Segera kuambil ponselku di atas bantal.Tertera nama Istriku di layar ponsel. Kukucek mataku berkali-kali.Ya ini benar Anita menelponku. Senyum merekah tergambar di wajahku. Aku memang masih menyimpan nomor ponsel Anita dengan nama Isteriku. Karena memang dia masih sah menjadi istriku.Dan aku masih mencintainya.Rasanya aku sangat senang, ini bukan mimpi atau halu saja.Pasti Anita ingin mengatakan rindu dan cinta padaku. Hingga larut malam begini dia menelponku. Atau mungkin, dia ingin membatalkan gugatan cerainya, dan kembali padaku.Yes...yes... Akhirnya bisa hidup bersama dengan Nita lagi. Sudah ku tebak dia memang masih mencintaiku dan ingin kembali padaku. Mungkin saat itu dia emosi, karena aku memang salah saat itu. Dia pasti marah karena tahu telah berbagi hati dan raga. Itu manusiawi. Segera ku pencet tombol berwarna hijau."Nita sayang, Mas tau kamu pasti merindukan Mas. Mas juga sangat merinduka