Share

4. Telepon dari Lina

last update Terakhir Diperbarui: 2023-08-02 23:20:08

"S-saya dalam perjalanan ke rumah Lina, Mas. Saya t-takut pulang, jadinya_"

"Jangan bohong kamu, Hanun! Katakan kamu di mana?" aku menatap pada Om Leon karena bingung harus bagaimana. Ia mengetik sesuatu pada ponselnya, lalu aku diminta untuk membacakannya.

"Saya sudah keburu kesal dengan Mas Biru. Jadinya malam ini saya gak mau pulang dulu! Siapa suruh tadi mengabaikan saya. Saya mau menginap di rumah teman saja." Aku langsung menutup panggilan itu dan langsung mematikan ponsel. Om Leon tersenyum sambil mengangkat jempolnya.

"Ayo, tidur, saya capek banget!" Katanya sembari bangun dari kursi, lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Aku masih mematung, apakah benar-benar aku harus tidur dengannya?

"Hanun, kamu mau ngapain diam di sana? Ayo, masuk dan tidur!" Katanya lagi sambil mengangkat tangan. Kedua kaki ini pun melangkah bagaikan robot.

Cklek!

Pintu sudah tertutup kembali dan saat ini aku memuji keberanian yang di luar akal sehatku.

"Kamu tidur di ranjang, biar aku yang di sofa," katanya lagi sambil berjalan ke arah sofa. Aku tergugu mencoba mencerna ucapannya.

"Om, t-tapi kenapa saya harus tidur di ranjang? Itu bukannya ranjang Om Leon. Ya ampun, saya gak mau, Om." Aku menggelengkan kepala dengan tegas. Siapa aku, nekat tidur di ranjang bos pemilik restoran?

"Oh, jadi kamu udah siap tidur dengan saya? Ha ha ha ...." Balasnya dengan suara tawa menggelegar. Aku tentu saja menggelengkan kepala sekali lagi.

"Kamu pasti capek seharian kerja di balik meja kasir. Kamu boleh tidur di sana malam ini. Biar saya tidur di sofa. Sekarang belum saatnya kita bobok bareng di ranjang empuk milik saya." Aku merinding begitu kata bobok bareng meluncur di bibirnya. Aku pun bergegas naik ke atas ranjang yang baru kali ini aku rasakan. Empuk dan sangat nyaman. Sepreinya juga sangat dingin dan adem. Tidak seperti seprei di rumahku yang kasar.

Lampu kamar dimatikan oleh Om Leon. Aku pun memaksakan diri untuk memejamkan mata. Aku berharap ini bukan mimpi, karena aku tidak ingin bangun dari ranjang super empuk ini.

Suara jam weker membangunkanku dari tidur paling nyenyak yang pernah aku rasakan. Aku melihat ke sekeliling kamar dan tidak mendapati Om Leon di sofa. Tiba-tiba dari arah kanan, suara pintu dibuka. Aku menoleh dan melihat Om Leon keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk saja.

Aku menelan ludah karena pemandangan luar biasa dari mahkluk Tuhan paling dingin begitu segar dengan rambut basahnya.

"Hai, kamu sudah bangun. Kamu bisa mandi di sana. Jangan sungkan. Setelah kamu mandi, kamu berpakaian lagi. Seragam kerja sudah aku keringkan di mesin pengering. Ada setrika gantung juga di samping lemari, kalau kamu mau menyetrikanya. Kita berangkat ke restoran satu jam setengah lagi."

"Om, maaf, a-apa saya tidak dipecat?" tanyaku ragu. Pria yang tengah membuka lemari pakaiannya itu langsung tersenyum.

"Jika saya pecat kamu, maka saya gak bisa lihat kamu. Saya cukup mengganti pin brangkas saja bukan? Sama satu lagi, jika kamu berani menyalah gunakan kepercayaan saya sekali lagi, maka bukan hanya kamu, tapi suami jadi-jadian kamu pun harus menanggung akibatnya. Saya gak main-main karena ini menyangkut perusahaan saya. Restoran saya bukan hanya satu." 

"Baik, Om, terima kasih banyak atas kesempatannya. S-saya kirain saya dipecat." Akhirnya aku bisa bernapas lega, sembari mengurut dada ini.

"Kamu pernah bilang, bahwa kamu menikah di usia tujuh belas tahun. Sekarang umur kamu dua puluh tahun, tapi suami kamu tidak kelihatan bukan family man. Urakan dan galak kalau menurut saya. Bagaimana bisa kamu memutuskan untuk menikah dengan pria galak seperti Biru? Apa kamu tidak ingin bercerai saja darinya? Kalian hanya menikah siri'kan?"

"Saya rasa, Om gak boleh ikut campur masalah ini. Maaf, Om. Bagaimanapun Mas Biru masih suami saya," kataku berusaha mempertahankan nama baik suamiku meskipun mungkin sebuah kebodohan. Mungkin aku dianggap lancang, tetapi sudah terlanjur.

Om Leon bukannya marah atau tersinggung padaku, tetapi ia tertawa.

"Mari kita lihat sejauh mana kamu bisa terus menggunakan gelar suami pada Biru!"

Kring! Kring!

Aku melihat ada nama Lina yang menelepon.

"Halo, kenapa, Lin?"

"Hanun, Lo di mana sih? Ini laki Lo ada di depan restoran. Emangnya Lo gak pulang?"

"Hah, Mas Biru ada di restoran?"

"Iya, dia nyariin Lo."

"Aku dalam perjalanan ke restoran. Suruh tunggu aja. Masih ya, Lin, udah diberitahu." Aku mematikan ponsel dan langsung berlari keluar dari kamar Om Leon.

"Om, baju saya ada di mana?" tanyaku.

"Ada saya gantung di ruang setrika. Di depan sana. Saya pesankan ojek online biar kamu lebih dulu sampai."

"Makasih, Om." Aku mengangguk cepat. Lalu bergegas mengganti baju seragam tanpa riasan wajah. Aku harus gerak cepat agar Mas Biru tidak menunggu lama.

"Ojek online sudah di bawah. Ongkosnya udah saya bayar," kata Om Leon saat aku tengah mengisi botol air minum yang selalu aku bawa.

"Makasih banyak, Om. Saya permisi." Aku pun bergegas turun sampai di lobi menggunakan lift. Jantung ini berdetak tidak karuan karena tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi di restoran nanti. Semoga saja Mas Biru tidak membuatku malu atau malah membuat keributan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
siti yulianti
beneran pengen nendang s biru deh ke laut
goodnovel comment avatar
siti yulianti
om Leon semoga jodoh kedua yg terbaik buat Hanum yg tertunda semoga saja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    72. Ular dalam Rumah (Spesial Part)

    "Bagaimana mama?" tanya Leon pada Angel."Masih mengunci diri di kamar, Mas." Angel menaruh segelas air putih di atas meja untuk Leon. "Untuk apa menangisi bajingan." Leon tertawa pendek. Angel hanya bisa mengangkat bahunya. "Apa kita gak terlalu keras pada mama? Mama bisa sakit loh, Mas.""Kita bis jatuh miskin kalau Xabir dibiarkan lama menjadi benalu." Angel yang tadinya duduk di depan Leon, kini berpindah duduk menjadi di samping kakaknya itu."Lalu bagaimana, Xabir? Bisa-bisa dia mati dipatok ular, Mas," tanya Angel sambil berbisik."Bisa banget. Itu yang Mas harapkan. Biar dia kapok!""Lalu ibu dan sodaranya itu?""Ada di hutan. Entah sudah mati atau belum. Mereka manusia-manusia benalu yang kalau hidup lama itu, bakalan nyusahin orang. Lagian, jika mereka berani muncul, maka polisi sudah siap menangkap mereka.""Mama mungkin akan susah menerima takdir ini, tapi nanti juga mama bisa paham apa yang aku lakukan ini juga demi mama. Lagian mama udah tua, udah harusnya hidup tenang

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    71. Kenyataan yang Harus Diterima

    "Mama, apa yang terjadi pada Mama? Kenapa Mama sendirian di villa? Mana Biru dan keluarganya?" Bu Marissa yang baru saja membuka matanya, langsung merasa kepalanya bertambah sakit setelah Angel mencecarnya."Apa, Xabir? Ini di mana?" tanya Bu Marissa sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya."Mama di rumah sakit. Ini sudah malam. Mama baru sadar setelah Mama tidur sejak pagi. Ada apa, Ma?" Bu Marissa semakin mengerutkan keningnya. "Gak mungkin, Mama ada di villa bersama Xabir dan juga keluarganya.""Ma, Xabir gak ada di villa saat Mas Leon sampai di sana. Keluarganya juga. Ponsel Mama pun tidak ada keduanya. Mama diperdaya lelah bajingan itu!" Bu Marissa terdiam. Matanya tiba-tiba berair."Gak mungkin, Xabir mencintai Mama. Mau apa dia bikin Mama kayak gini. Semua udah Mama kasih sama dia." Bu Marissa menangis. Pintu kamar perawatan VVIP terbuka. Leon masuk dengan wajah murung. "Leon, Angel barusan cerita omong kosong!" Leon tersenyum miring. Ia mengeluarkan amplop coklat dari da

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    70. Menyusul ke Bogor

    Malam ini Leon bisa tidur dengan nyenyak. Semua bukti sudah ia kumpulkan, setelah lewat Hanun, ia mendapatkan banyak foto dan juga data diri dari Xabiru. Termasuk data dari pabrik, tempat Biru kerja hampir tujuh tahun. Foto Bu Wati pun ada. Semua ia print dan masukkan ke dalam amplop coklat. Semua data sudah lengkap dan tidak perlu ada yang ia ragukan. Biru akan mendekam dalam penjara bersama ibu dan sepupunya.Keesokan harinya, Leon yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendengar notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Pria itu setengah berlari untuk mengecek siapa yang mengirimkan pesan.MamaLeon, Mama sedang bersama Xabir, lagi liburan sebentar. Mungkin dua sampai tiga hari. Kamu gak usah cari mama ya, mama baik-baik aja.Syukurlah mama baik-baik aja. Ada yang mau Leon beritahu tentang Xabir. Mama harus pulang secepatnya ya.SendMamaAda apa? Kamu mau fitnah Biru seperti apa lagi? Sudah ya. Jangan sirik dengan kebahagiaan yang saat ini sedang mama nikmatiLeon langsung menekan pan

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    69. Foto dari Media Sosial

    Leon menghubungi dua adiknya untuk menanyakan keberadaaan bu Marissa, tetapi keduannya tidak ada yang tahu. Keon mencoba menghubungi rekan bisnis mamanya yang lain untuk mengecek janji temu, tetapi ia tidak mendapatkan ada jadwal meeting dengan rekan bisnis untuk tiga hari ke depan. Hal ini ia ketahui dari sang Sekretaris. Disaat Leon sibuk mencari mamanya, disaat itu pula Xabir sedang menikmati waktu berdua dengan istrinya. Ya, mereka sedang berada di sebuah villa yang ada di Bogor, setelah kemarin keduanya pergi ke bank untuk memindahkan sejumlah uang. “Anak-anak mungkin perlu diberitahu agar mereka tidak khawatir,” kata Xabir pada istrinya. Bu Marissa menggelengkan kepala dengan pelan. Ia kehabisan tenaga menghadapi kegagahan Xabir yang sepertinya begitu perkasa lebih dari biasanya. “Nanti saja, Sayang. Nanti aku akan kirim pesan.” Bu Marissa menyentuh punggung suaminya. “Memangnya kenapa tidak diberitahu saja sejak awal?”

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    68. Satu Per Satu Masalah Selesai

    "Benar-benar memalukan! Jauh-jauh ke sini hanya untuk dibikin malu sama si Leon itu. Jumawa sekali dia menolak putri keraton!" "Sudahlah, Bu, mungkin belum jodoh." Renata menjawab dengan malas. Tatapannya kini fokus pada jalan di depannya. Hujan cukup deras mengantarnya pagi ini menuju bandara. Keputusan Leon sudah bulat dan lelaki itu menolak bertanggung jawab. "Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu? Masa mau cari lelaki lain?""Saya mengasingkan diri saja sampai bayi ini lahir." "Kamu bicara dengan mudah, Rena. Kamu gak pernah pikirkan dampak perbuatan nekat yang kamu lakukan!" "Bu, sudah, sudah! Nanti biar kita pikirkan jalan keluarnya." Pak Cokro menengahi perdebatan ibu dan anak itu. Rena juga tidak mau ambil pusing karena mau dipaksa seperti apapun tetap saja Leon tidak akan mau bertanggung jawab."Jadi, Leon itu sukanya pembantu?" tanya Pak Cokro yang mendadak kepo. Rena mengangguk."Jika nama yang Rena dengar tadi adalah Hanun, maka gak salah lagi ka

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    67. Pertemuan Dua Keluarga

    "Sayang, kamu cemburu sama pembantu? Ya ampun, udah jelas lebih unggul kamu dari wanita mana pun," elak Biru dengan cepat. Lelaki itu tidak mau istrinya sampai curiga. "Lalu, kamu tahu dari mana kalau Hanun masih punya suami?""Aku asal nebak, Sayang. Hanun dari kampung'kan? Orang kampung itu rata-rata menikah muda. Umur enam belas tahun sampai sembilan udah dinikahin sama orang tuanya. Jadi mungkin aku ....""Tidak perlu bahas Hanun. Udahlah, aku mau ke dapur dulu." Bu Marissa pergi ke dapur, meninggalkan Biru yang masih dalam keadaan cemas. Ia khawatir Bu Marissa curiga atau malah mencari informasi atas dirinya.Sore hari, Biru melihat sang Istri sudah berdandan dengan begitu rapi, sedangkan ia tidak dapat informasi apapun dari wanita itu."Kamu mau ke mana udah sore, Sayang?" tanya Biru."Mau ke rumah Leon. Ada urusan." Bu Marissa mengoleskan lipstik di bibirnya. "Aku boleh ikut?""Kata Leon ini pribadi. Maaf, Sayang, kali ini aku jalan sendiri ya. Kamu di rumah saja. Aku gak lam

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status