Home / Romansa / Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami! / 5. Dompet dan Ponsel yang Dirampas

Share

5. Dompet dan Ponsel yang Dirampas

last update Last Updated: 2023-08-13 19:33:05

"Bang, turun di sini saja. Gak usah depan restoran," kataku pada pengemudi ojek online yang aku tumpangi. Pria itu mengangguk, lalu motor pun berhenti di pinggir trotoar.

"Ongkosnya sudah ya, Bang," kataku memastikan.

"Iya, sudah, Mbak." Aku mengangguk sambil melepas helm hijau itu. Lalu aku berikan pada pengemudi ojek dengan ucapan terima kasih. Ojek pun berlalu. Aku merapikan rambut dengan asal. Wajah ini pun tidak aku poles apapun, selain pelembab dan sunblock.

Aku memanjangkan leher dari balik pilar dekat gerbang masuk restoran. Suamiku sedang duduk di kursi plastik sambil merokok.

"Mas," panggilku sambil melambaikan tangan. Mas Biru melemparkan rokoknya di tanah, lalu berjalan dengan cepat menghampiriku.

"Kamu dari mana saja? Melacur ya? Kamu bilang ke rumah Lina, padahal kamu gak di sana," tanyanya sambil mencengkram tanganku dengan sangat kuat.

"Aw! S-sakit, Mas!" Aku berusaha menarik tangan ini, tetapi tidak bisa.

Sebelah tangannya merampas tasku. Lalu ia membuka dengan kasar. Sasarannya adalah dompet dan ponselku.

"Mas, jangan! Masa HP-ku!" Kataku tidak terima.

"Siapa suruh kamu bohong? Heh! Jujur kamu kalau tidur sama bos kamu! Sini, pasti kamu dapat uang banyak." Ia membuka dompetku dengan kasar.

"Cuma ini? Kamu yakin tidur sama bos kamu, tapi hanya ada tiga ratus ribu di dompet kamu?!"

"Aku bukan melacur! Aku bukan tidur dengan bosku! Kamu keterlaluan, Mas! Jangan menyesal kalau sampai aku nanti benar melakukan seperti apa yang selalu kamu tuduhkan! Sini, kembalikan ponselku!" Aku berusaha menarik dua benda penting milikku.

"Mbak Hanun, ada apa ini?" tanya Amir yang tiba-tiba datang menghampiri kami. Pemuda itu terkejut sekaligus terheran melihat suamiku.

"Jangan ikut campur kamu! Pergi sana!" Usir Mas Biru pada Amir. Tentu saja Amir tidak mau pergi dari tempatnya sekarang.

"Ini di wilayah restoran, Mas. Kalau Mas mau ribut, ke ring tinju sana! Masa ribut sama perempuan di tempat kerja perempuan. Ah, iya, rupanya gak punya kerjaan ya, jadinya ribut di sini! Mas yang harusnya pergi dari sini, sebelum saya panggilkan polisi karena sudah membuat gaduh. Coba Mas lihat ke depan sana! Itu mobil berjejer, motor pun sama untuk menyaksikan suami banci yang sedang mengganggu is_"

Prak!

"Untung saya bisa mengelak!" Amir mengelak saat Mas Biru melayangkan tunjuk ke arah temanku itu. Orang-orang di jalan raya menyoraki Mas Biru, hingga akhirnya suamiku itu pergi dengan membawa ponsel dan dompetku.

"Makasih, Amir!" Kataku dengan suara tertahan.

"Sama-sama, Mbak. Maaf nih ya, saya kalau jadi Mbak Hanun, udah gugat cerai aja suami begitu. Gak ada manfaatnya, malah bikin malu dan bisa bikin kita gila! Udah, masuk cepet, dilihatin orang banyak tuh!" Aku pun tersadar dan langsung berlari masuk ke restoran lewat pintu samping.

Untung restoran masih belum buka dan masih sangat pagi. Hanya ada Lina, Amir, Pak Arman selaku chef, dan juga Ganjar, asisten chef. Untuk karyawan lainnya memang masih setengah jam lagi, barulah berkumpul.

"Emangnya kamu dari mana semalam? Beneran gak pulang?" tanya Lina menghampiriku yang baru saja mengaktifkan komputer kasir.

"Maaf ya, Lin, aku pakai nama kamu. Aku menginap di rumah temanku yang lain. Yah, aku gak mau pulang karena masih kesal dengan Mas Biru," jawabku.

"HP sama dompet kamu dibawa Mas Biru ya? Beneran keterlaluan suami kamu itu, udah gak bisa ngasih, malah ngerampok barang istri." Aku hanya bisa diam seribu bahasa. Aku tidak mau terlalu mengumbar aib suamiku karena aku masih menghormatinya, tetapi aku tidak tahu sampai kapan rasa hormat ini bisa bertahan lama.

"Dia kesal aku gak pulang. Yah, mau gimana lagi." Aku mengangkat bahu tidak paham. Semakin membahas Mas Biru, maka semakin kesal dan gondok hati ini.

"Iya sih, sabar deh, Nun. Tangan kamu udah diobati?" aku mengangguk pelan.

"Sudah aku kasih minyak but-but yang ada di loker belakang. Nanti juga hilang," jawabku sambil tersenyum.

Aku sangat bersyukur punya lingkungan kerja yang begitu perhatian satu sama lain. Tidak ada rasa iri hati dan dengki, apalagi model manis di depan, menusuk di belakang. Kami semua sama rata, baik dari gaji dan pembagian tugas lembur. Om Leon benar-benar bijak dan pandai mengelola restoran, sehingga tidak heran, ia punya banyak cabang restoran lainnya.

Menjelang jam makan siang, pengunjung restoran mulai ramai. Aku pun juga lebih sibuk dari satu jam yang lalu. Waiters dan chef kerja bakti dengan begitu cekatan untuk meramu, serta melayani pesanan pengunjung yang pasti sudah lapar di jam setengah dua belas siang seperti ini.

"Nyonya besar datang," bisik Amir.

"Bu Marissa?" tanyaku memastikan.

"Iya, Bu Marissa. Ibunya Om Leon." Aku segera berdiri untuk menyambut datangnya bos besar yang sangat kami hormati. Namun, tidak terlihat sosok Om Leon sejak tadi.

"Selamat siang, Nyonya!" Sapaku, Amir, serta Lusi secara serentak. Wanita itu hanya tersenyum tipis.

"Hanun yang mana orangnya?" tanya beliau.

"Saya, Nyonya," jawabku gugup.

"Saya mau bicara sama kamu. Tolong ke ruangan ya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dwie Rifsalina
Keren Tor bawa branch ni
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    72. Ular dalam Rumah (Spesial Part)

    "Bagaimana mama?" tanya Leon pada Angel."Masih mengunci diri di kamar, Mas." Angel menaruh segelas air putih di atas meja untuk Leon. "Untuk apa menangisi bajingan." Leon tertawa pendek. Angel hanya bisa mengangkat bahunya. "Apa kita gak terlalu keras pada mama? Mama bisa sakit loh, Mas.""Kita bis jatuh miskin kalau Xabir dibiarkan lama menjadi benalu." Angel yang tadinya duduk di depan Leon, kini berpindah duduk menjadi di samping kakaknya itu."Lalu bagaimana, Xabir? Bisa-bisa dia mati dipatok ular, Mas," tanya Angel sambil berbisik."Bisa banget. Itu yang Mas harapkan. Biar dia kapok!""Lalu ibu dan sodaranya itu?""Ada di hutan. Entah sudah mati atau belum. Mereka manusia-manusia benalu yang kalau hidup lama itu, bakalan nyusahin orang. Lagian, jika mereka berani muncul, maka polisi sudah siap menangkap mereka.""Mama mungkin akan susah menerima takdir ini, tapi nanti juga mama bisa paham apa yang aku lakukan ini juga demi mama. Lagian mama udah tua, udah harusnya hidup tenang

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    71. Kenyataan yang Harus Diterima

    "Mama, apa yang terjadi pada Mama? Kenapa Mama sendirian di villa? Mana Biru dan keluarganya?" Bu Marissa yang baru saja membuka matanya, langsung merasa kepalanya bertambah sakit setelah Angel mencecarnya."Apa, Xabir? Ini di mana?" tanya Bu Marissa sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya."Mama di rumah sakit. Ini sudah malam. Mama baru sadar setelah Mama tidur sejak pagi. Ada apa, Ma?" Bu Marissa semakin mengerutkan keningnya. "Gak mungkin, Mama ada di villa bersama Xabir dan juga keluarganya.""Ma, Xabir gak ada di villa saat Mas Leon sampai di sana. Keluarganya juga. Ponsel Mama pun tidak ada keduanya. Mama diperdaya lelah bajingan itu!" Bu Marissa terdiam. Matanya tiba-tiba berair."Gak mungkin, Xabir mencintai Mama. Mau apa dia bikin Mama kayak gini. Semua udah Mama kasih sama dia." Bu Marissa menangis. Pintu kamar perawatan VVIP terbuka. Leon masuk dengan wajah murung. "Leon, Angel barusan cerita omong kosong!" Leon tersenyum miring. Ia mengeluarkan amplop coklat dari da

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    70. Menyusul ke Bogor

    Malam ini Leon bisa tidur dengan nyenyak. Semua bukti sudah ia kumpulkan, setelah lewat Hanun, ia mendapatkan banyak foto dan juga data diri dari Xabiru. Termasuk data dari pabrik, tempat Biru kerja hampir tujuh tahun. Foto Bu Wati pun ada. Semua ia print dan masukkan ke dalam amplop coklat. Semua data sudah lengkap dan tidak perlu ada yang ia ragukan. Biru akan mendekam dalam penjara bersama ibu dan sepupunya.Keesokan harinya, Leon yang baru saja keluar dari kamar mandi, mendengar notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Pria itu setengah berlari untuk mengecek siapa yang mengirimkan pesan.MamaLeon, Mama sedang bersama Xabir, lagi liburan sebentar. Mungkin dua sampai tiga hari. Kamu gak usah cari mama ya, mama baik-baik aja.Syukurlah mama baik-baik aja. Ada yang mau Leon beritahu tentang Xabir. Mama harus pulang secepatnya ya.SendMamaAda apa? Kamu mau fitnah Biru seperti apa lagi? Sudah ya. Jangan sirik dengan kebahagiaan yang saat ini sedang mama nikmatiLeon langsung menekan pan

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    69. Foto dari Media Sosial

    Leon menghubungi dua adiknya untuk menanyakan keberadaaan bu Marissa, tetapi keduannya tidak ada yang tahu. Keon mencoba menghubungi rekan bisnis mamanya yang lain untuk mengecek janji temu, tetapi ia tidak mendapatkan ada jadwal meeting dengan rekan bisnis untuk tiga hari ke depan. Hal ini ia ketahui dari sang Sekretaris. Disaat Leon sibuk mencari mamanya, disaat itu pula Xabir sedang menikmati waktu berdua dengan istrinya. Ya, mereka sedang berada di sebuah villa yang ada di Bogor, setelah kemarin keduanya pergi ke bank untuk memindahkan sejumlah uang. “Anak-anak mungkin perlu diberitahu agar mereka tidak khawatir,” kata Xabir pada istrinya. Bu Marissa menggelengkan kepala dengan pelan. Ia kehabisan tenaga menghadapi kegagahan Xabir yang sepertinya begitu perkasa lebih dari biasanya. “Nanti saja, Sayang. Nanti aku akan kirim pesan.” Bu Marissa menyentuh punggung suaminya. “Memangnya kenapa tidak diberitahu saja sejak awal?”

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    68. Satu Per Satu Masalah Selesai

    "Benar-benar memalukan! Jauh-jauh ke sini hanya untuk dibikin malu sama si Leon itu. Jumawa sekali dia menolak putri keraton!" "Sudahlah, Bu, mungkin belum jodoh." Renata menjawab dengan malas. Tatapannya kini fokus pada jalan di depannya. Hujan cukup deras mengantarnya pagi ini menuju bandara. Keputusan Leon sudah bulat dan lelaki itu menolak bertanggung jawab. "Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab atas kehamilan kamu? Masa mau cari lelaki lain?""Saya mengasingkan diri saja sampai bayi ini lahir." "Kamu bicara dengan mudah, Rena. Kamu gak pernah pikirkan dampak perbuatan nekat yang kamu lakukan!" "Bu, sudah, sudah! Nanti biar kita pikirkan jalan keluarnya." Pak Cokro menengahi perdebatan ibu dan anak itu. Rena juga tidak mau ambil pusing karena mau dipaksa seperti apapun tetap saja Leon tidak akan mau bertanggung jawab."Jadi, Leon itu sukanya pembantu?" tanya Pak Cokro yang mendadak kepo. Rena mengangguk."Jika nama yang Rena dengar tadi adalah Hanun, maka gak salah lagi ka

  • Maaf, Om, Saya Masih Punya Suami!    67. Pertemuan Dua Keluarga

    "Sayang, kamu cemburu sama pembantu? Ya ampun, udah jelas lebih unggul kamu dari wanita mana pun," elak Biru dengan cepat. Lelaki itu tidak mau istrinya sampai curiga. "Lalu, kamu tahu dari mana kalau Hanun masih punya suami?""Aku asal nebak, Sayang. Hanun dari kampung'kan? Orang kampung itu rata-rata menikah muda. Umur enam belas tahun sampai sembilan udah dinikahin sama orang tuanya. Jadi mungkin aku ....""Tidak perlu bahas Hanun. Udahlah, aku mau ke dapur dulu." Bu Marissa pergi ke dapur, meninggalkan Biru yang masih dalam keadaan cemas. Ia khawatir Bu Marissa curiga atau malah mencari informasi atas dirinya.Sore hari, Biru melihat sang Istri sudah berdandan dengan begitu rapi, sedangkan ia tidak dapat informasi apapun dari wanita itu."Kamu mau ke mana udah sore, Sayang?" tanya Biru."Mau ke rumah Leon. Ada urusan." Bu Marissa mengoleskan lipstik di bibirnya. "Aku boleh ikut?""Kata Leon ini pribadi. Maaf, Sayang, kali ini aku jalan sendiri ya. Kamu di rumah saja. Aku gak lam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status