"Bagaimana mama?" tanya Leon pada Angel."Masih mengunci diri di kamar, Mas." Angel menaruh segelas air putih di atas meja untuk Leon. "Untuk apa menangisi bajingan." Leon tertawa pendek. Angel hanya bisa mengangkat bahunya. "Apa kita gak terlalu keras pada mama? Mama bisa sakit loh, Mas.""Kita bis jatuh miskin kalau Xabir dibiarkan lama menjadi benalu." Angel yang tadinya duduk di depan Leon, kini berpindah duduk menjadi di samping kakaknya itu."Lalu bagaimana, Xabir? Bisa-bisa dia mati dipatok ular, Mas," tanya Angel sambil berbisik."Bisa banget. Itu yang Mas harapkan. Biar dia kapok!""Lalu ibu dan sodaranya itu?""Ada di hutan. Entah sudah mati atau belum. Mereka manusia-manusia benalu yang kalau hidup lama itu, bakalan nyusahin orang. Lagian, jika mereka berani muncul, maka polisi sudah siap menangkap mereka.""Mama mungkin akan susah menerima takdir ini, tapi nanti juga mama bisa paham apa yang aku lakukan ini juga demi mama. Lagian mama udah tua, udah harusnya hidup tenang
"T-tapi saya masih p-punya suami, Om," kataku terbata pada pria dewasa nan tampan yang saat ini menatapku begitu lekat. Sorot matanya bagaikan air hujan yang menghipnotis hati yang sudah lama kering ini. Jangan tergoda Hanun. Bisik hati ini terus mengingatkan."Suami? Saya gak pernah lihat," balasnya santai. Mata itu kini beralih pada layar laptop di depannya, sehingga aku yang sejak tadi bernapas pendek-pendek, akhirnya dapat mengembuskan napas lega."Suami saya kerja di Cikarang, Om." Pria itu tertawa pendek. "Yakin di Cikarang? Pernah ke sana?" tanyanya lagi benar-benar seperti tengah mengejekku. Tentu saja aku menggelengkan kepala. Mana pernah aku pergi ke tempat pekerjaan Mas Biru. Untuk apa? Bisa-bisa aku digampar Mas Biru jika sok tahu dengan muncul di tempat ia kerja."Suami saya terlalu sibuk, makanya gak pernah antar jemput saya ke resto ini, Om. Makanya Om gak pernah lihat," balasku mencoba menjelaskan."Oke, jadi beneran kamu gak mau jadi pacar saya? Saya baru kali ini lo
Aku menangis memohon agar aku tidak dibawa ke kantor polisi, tetapi Om Leon sama sekali tidak peduli pada suara tangisku. Ia terus melajukan mobilnya menuju kantor polisi terdekat. Polsek Pejaten. "Om, saya minta maaf. Saya jangan dipecat?" Rengekku memohon. Pria itu bungkam sampai mobil berhenti di area parkir Polsek. Aku baru kali ini nekat dan hal ini sangat aku sesali. "Minta nomor telepon suami kamu!" Pintanya tegas. Nyaliku semakin menciut. Tamatlah riwayatku jika Mas Biru tahu apa yang aku lakukan."Suami saya butuh uang, Om. S-saya mau kasbon udah gak mungkin, jadi_""Kamu jelaskan di dalam saja!" Om Leon menarik paksa ponsel yang ada di tanganku, lalu ia mencari sendiri kontak suamiku, setelah ponsel itu aku buka dengan password. Aku hanya bisa menangis tertahan karena merasa sangat bodoh sudah mencuri di tempat kerja. Apalagi sebenarnya Om Leon sangat baik padaku dan karyawan yang lain. "Halo, Hanun, kenapa kamu belum pulang? Ini sudah malam. Melacur kamu dengan bos kamu
Aku merasakan pipi ini ditepuk pelan. Aku tersentak, kemudian memperhatikan sekelilingku. Ini di mana? Pikirku masih belum sadar bahwa aku memutuskan ikut ke apartemen Om Leon."Kamu di basement apartemen saya. Ayo, turun!" Pria itu membuka pintu mobil. Aku pun bergegas melakukan hal yang sama meski dengan tubuh yang masih lemas. Ketika tidur sangat lelap, tiba-tiba harus bangun dari berjalan, pasti kalian tahu rasanya seperti apa. Miring ke kanan, miring ke kiri seperti orang mabuk."Kamu ini payah sekali!" Decih Om Leon sambil menggelengkan kepala. "Maaf, Om, saya ngantuk banget," kataku jujur. Pintu lift terbuka, lalu kami berdua masuk. Tidak ada percakapan selama di dalam lift, yang ada hanya suara Om Leon yang menguap. Bosku itu sepertinya memang tengah ngantuk berat. Lift berhenti di angkat sepuluh. Pintu besi itu pun terbuka. Aku membiarkan Om Leon keluar lebih dahulu, baru aku. Tergopoh-gopoh kaki ini mengikuti langkah lebarnya menuju unit miliknya. Aku pun tidak tahu di man
"S-saya dalam perjalanan ke rumah Lina, Mas. Saya t-takut pulang, jadinya_""Jangan bohong kamu, Hanun! Katakan kamu di mana?" aku menatap pada Om Leon karena bingung harus bagaimana. Ia mengetik sesuatu pada ponselnya, lalu aku diminta untuk membacakannya."Saya sudah keburu kesal dengan Mas Biru. Jadinya malam ini saya gak mau pulang dulu! Siapa suruh tadi mengabaikan saya. Saya mau menginap di rumah teman saja." Aku langsung menutup panggilan itu dan langsung mematikan ponsel. Om Leon tersenyum sambil mengangkat jempolnya. "Ayo, tidur, saya capek banget!" Katanya sembari bangun dari kursi, lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya. Aku masih mematung, apakah benar-benar aku harus tidur dengannya? "Hanun, kamu mau ngapain diam di sana? Ayo, masuk dan tidur!" Katanya lagi sambil mengangkat tangan. Kedua kaki ini pun melangkah bagaikan robot. Cklek!Pintu sudah tertutup kembali dan saat ini aku memuji keberanian yang di luar akal sehatku. "Kamu tidur di ranjang, biar aku yang di sofa,
"Bang, turun di sini saja. Gak usah depan restoran," kataku pada pengemudi ojek online yang aku tumpangi. Pria itu mengangguk, lalu motor pun berhenti di pinggir trotoar. "Ongkosnya sudah ya, Bang," kataku memastikan."Iya, sudah, Mbak." Aku mengangguk sambil melepas helm hijau itu. Lalu aku berikan pada pengemudi ojek dengan ucapan terima kasih. Ojek pun berlalu. Aku merapikan rambut dengan asal. Wajah ini pun tidak aku poles apapun, selain pelembab dan sunblock.Aku memanjangkan leher dari balik pilar dekat gerbang masuk restoran. Suamiku sedang duduk di kursi plastik sambil merokok. "Mas," panggilku sambil melambaikan tangan. Mas Biru melemparkan rokoknya di tanah, lalu berjalan dengan cepat menghampiriku. "Kamu dari mana saja? Melacur ya? Kamu bilang ke rumah Lina, padahal kamu gak di sana," tanyanya sambil mencengkram tanganku dengan sangat kuat."Aw! S-sakit, Mas!" Aku berusaha menarik tangan ini, tetapi tidak bisa.Sebelah tangannya merampas tasku. Lalu ia membuka dengan kas
Aku mengetuk pintu ruangan Om Leon yang saat ini diisi oleh Bu Marissa. Jika hari ini adalah hari terakhirku bekerja karena masalah kemarin, maka aku pun harus ikhlas. Memang salahku, bukan suamiku. Ia hanya minta uang dan bodohnya aku, kenapa bilang tidak ada. Malah mau mencuri di tempat kerja. Om Leon pasti bercerita pada ibunya tentang kesalahanku, sehingga saat ini Bu Marissa memanggilku. Kuatur napas dan merapikan sedikit rambut ini dengan buku jari tangan. Aku siap salah dan menerima konsekuensi dari apa yang sudah aku lakukan.Tok! Tok!"Permisi, Bu.""Masuk!" Suara elegan Bu Marissa membuat bulu tangan ini meremang. Aku menelan kenop pintu perlahan, lalu melangkah masuk dengan hati-hati. "Permisi, Bu, saya Hanun, apa Ibu ada perlu dengan saya?" tanyaku amat sopan. Suara yang aku keluarkan juga sangat hati-hati. Wanita itu mengalihkan pandangan dari menatap laptop, kini melihat ke arahku. Matanya naik turun memperhatikanku mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Semakin be
"Wah, nyonya pulang malam banget nih! Digaji berapa belas juta kamu, gini hari baru pulang?!" Aku menelan ludah saat suara ibu mertua menyahut dari belakang tubuh wanita yang tidak aku kenali ini. "Ibu, k-kapan Ibu sampai?" tanyaku sambil meraih tangan ibu mertua untuk menyalaminya. "Sejak sore. Ini Sasa, sepupu Biru." Aku tersenyum pada gadis bernama Sasa itu. "Sasa," katanya memperkenalkan diri. Di meja ruang tamu ada dua loyang pizza yang tersisa kotaknya saja. Bungkus saus dan juga gelas minum cup yang telah kosong, berceceran di lantai. Ibu mertuaku makan pizza. Makanan yang hanya mampu aku beli saat lebaran. Itu pun hanya loyang kecil."Ibu sudah makan?" tanyaku berbasa-basi."Sudah. Ibu kelaparan banget. Jadinya Biru belikan pizza. Jangan lupa kamu cuci piring dan beresin semua yang berantakan ini!""Baik, Bu." Aku melangkah masuk ke kamar dengan lemah. Lemah karena aku benar-benar capek dan ingin istirahat, tetapi sepertinya kedatangan mertua malah menambah beban pekerjaa