Share

7. Ngutang, Dong!

"Wah, nyonya pulang malam banget nih! Digaji berapa belas juta kamu, gini hari baru pulang?!" Aku menelan ludah saat suara ibu mertua menyahut dari belakang tubuh wanita yang tidak aku kenali ini.

"Ibu, k-kapan Ibu sampai?" tanyaku sambil meraih tangan ibu mertua untuk menyalaminya.

"Sejak sore. Ini Sasa, sepupu Biru." Aku tersenyum pada gadis bernama Sasa itu.

"Sasa," katanya memperkenalkan diri.

Di meja ruang tamu ada dua loyang pizza yang tersisa kotaknya saja. Bungkus saus dan juga gelas minum cup yang telah kosong, berceceran di lantai. Ibu mertuaku makan pizza. Makanan yang hanya mampu aku beli saat lebaran. Itu pun hanya loyang kecil.

"Ibu sudah makan?" tanyaku berbasa-basi.

"Sudah. Ibu kelaparan banget. Jadinya Biru belikan pizza. Jangan lupa kamu cuci piring dan beresin semua yang berantakan ini!"

"Baik, Bu." Aku melangkah masuk ke kamar dengan lemah. Lemah karena aku benar-benar capek dan ingin istirahat, tetapi sepertinya kedatangan mertua malah menambah beban pekerjaanku. Aku pun mandi dan berganti pakaian. Semua piring kotor yang ada di kitchen sink, sudah aku cuci bersih. Meskipun sambil menguap lebar berkali-kali, aku tetap menuntaskan pekerjaanku.

Selesai mencuci piring, aku membereskan ruang depan. Suamiku belum juga pulang, padahal aku ingin menanyakan masalah ponsel dan dompetku. Aku sangat yakin, makanan yang disuguhkan Mas Biru untuk ibunya diambil dari dompetku.

"Hanun, kamu tidur di depan ya. Biar Ibu dan Sasa tidur di kamar kamu. Kami capek banget dari Yogyakarta ke Jakarta naik bus. Malam ini mau lepas lelah dulu."

"Oh, baik, Bu." Aku tidak punya pilihan selain menuruti titah ibu mertua. Aku tidur di sofa yang sudah tidak lagi empuk, tetapi lumayan untuk melepas lelah. Jika dibandingkan dengan kasur di rumah Om Leon, sungguh lebih buruk seribu kali lipatnya.

Cklek

Pintu rumah terbuka. Mas Biru masuk dengan mengendap-endap. Mungkin ia mengira aku sudah tidur.

"Mas," panggilku.

"Aduh, kaget!" Mas Biru segera menyalakan lampu depan.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Mas Biru dengan setengah berbisik.

"Di kamar ada ibu dan Sasa. Kasihan mereka capek katanya, jadi biar malam ini saya tidur di depan saja," kataku sambil tersenyum.

"Bagus kalau kamu ngerti." Mas Biru kembali menutup pintu rumah.

"Mas, dompet dan HP saya mana? Saya susah kalau gak ada HP," tanyaku.

"Kamu gak bisa sediain uang untuk aku tiga juta setengah kan? Makanya HP kamu, udah aku jual. Isi dompet kamu pun udah aku habiskan. Ibu datang dan mereka lapar. Buat ongkos sewa mobil jemput ke terminal, ditambah mampir makan kiefci, terus beli pizza untuk camilan. Jadi sisa satu juta uangnya, besok mau aku bayarkan motor yang nunggak. Besok kamu coba cari pinjaman lagi untuk bayar sisanya."

"Kamu menjual ponselku tanpa ijin dan juga menghabiskan uangku tanpa ijin, apakah bukan pencuri namanya?" kataku tidak terima. Mata ini panas ingin mengeluarkan air mata, tetapi aku malas terlihat lemah di depan Mas Biru.

"Kamu mau aku tampar lagi?! Yang sopan kalau bicara dengan suami. Nanti semua aku ganti. Begitu aja perhitungan! Lagian kamu kan kerja. Jangan kayak orang susah! Udahlah, suami pulang udah diributin. Aku mau mandi, capek, mau tidur." Suamiku berjalan ke kamar mandi.

Aku sudah bisa menebak endingnya terhadap ponselku, tetapi aku tidak menyangka tebakanku benar. Aku mengira Mas Biru hanya menyita saja, bukan benar-benar dijual. Jika sudah begini, maka aku sudah gak ada ponsel lagi. Malam ini aku tidur memunggungi Mas Biru yang tidur di atas karpet dengan kasur lipat. Aku harus cukup istirahat agar besok bisa kembali membabu seperti keinginan mertuaku.

Pukul setengah lima aku bangun. Aku mandi dan langsung membuat sarapan. Ada sisa sedikit nasi, aku buat nasi goreng. Ibu mertuaku dan Sasa masih tidur. Begitu juga suamiku.

"Hanun, belikan Ibu nasi uduk pakai telur balado. Untuk Sasa belikan nasi kuning dengan telur balado juga. Gorengan beli lima. Jangan lupa untuk Biru juga belikan," titah ibu mertua yang tiba-tiba melongokkan kepala dari pintu kamar.

"Bu, maaf, saya gak pegang uang. Dompet saya kemarin dibawa Mas Biru. Jadi saya gak_"

"Ya ampun, pelit sekali kamu ini! Mertua jauh-jauh datang dari Yogya. Mau sarapan enak, malah bilangnya gak punya duit. Kamu punya gaji'kan? Berarti bisa ngebon dulu di tukang nasi uduk. Bayar pas gajian nanti. Udah sana, belikan nasi uduk! Itu nasi goreng jangan dibuang, kamu makan aja. Mubazir kalau gak ada yang makan! Jangan lupa, kasih sambal." Aku hanya bisa mengucap sabar di dalam hati. Belum saatnya aku bersikap sok mandiri karena aku gak punya apa-apa dan gak punya siapa-siapa juga.

Selesai ngutang nasi uduk dan nasi kuning di warung Bu Cicih, aku pun bersiap untuk pergi ke rumah Om Leon. Suamiku masih tidur, begitu juga ibu mertua yang tidak kunjung keluar kamar.

"Bu, saya berangkat! Sarapannya udah di meja!" Aku pun bergegas pergi. Untungnya ada sisa receh yang aku korek dari tas selempang. Ada receh lima belas ribu yang bisa aku gunakan sebagai ongkos pergi ke rumah Om Leon. Aku tersenyum puas dalam hati. Pasti mertua dan Sasa tidak bisa makan dengan lahap karena bukan nasi uduk atau nasi kuning dipakein sambal, tapi sambal dipakein nasi kuning ha ha ha ... Semoga saja mereka tidak sakit perut.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
nanti pulang nya jalan kaki ya
goodnovel comment avatar
siti yulianti
itu beneran sepupu apa istri muda s biru
goodnovel comment avatar
siti yulianti
ya sekali" kerjain tuh anak ibu sepupu GK tau diri banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status