Share

8. Pesona Om Leon

Aku tiba di alamat yang diberikan Bu Marissa kemarin. Namun, ini rumah yang berbeda dengan rumah yang sempat aku menginap satu malam di sana. Rumah besar dengan pagar tinggi di bagian depan. Pagar hitam kokoh yang temboknya diberikan kawat besi sebagai pengaman. Rumah ini tampak sepi, tetapi aku bisa melihat mobil BMW Om Leon, parkir di garasinya.

"Permisi! Om Leon! Saya Hanun!" Seruku dari depan pagar. Tidak ada ponsel, sehingga aku tidak bisa meneleponnya. Tidak juga ada bel di dinding pagar, sehingga aku tidak tahu bagaimana cara memberitahu Om Leon, bahwa aku sudah di depan rumahnya.

"Om Leon, permisi!" Teriakku lagi. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali. Aku berharap Om Leon belum pergi ke restoran karena ini sudah sangat terlambat.

"Aku kira kamu gak jadi datang," ujar suara dari dalam. Tidak lama kemudian, pintu pagar pun terbuka. Om Leon menyambutku dengan senyuman.

"Saya kesiangan ya, Om!" Kataku dengan tidak enak hati. Om Leon hanya tersenyum sambil mengunci kembali pagar rumahnya.

"Belum. Lagian kenapa kamu gak telepon?"

"Ah, iya, kata Amir, ponsel dan dompet kamu dirampas?" aku hanya bisa menyeringai.

"Ya sudah, kamu masuk dulu saja! Ada banyak pekerjaan yang harus kamu kerjakan." Aku mengangguk semangat. Ini hari pertama aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Walau belum pernah aku lakukan, tetapi aku pasti bisa.

Rumah Om Leon sangat besar dan megah. Aku menelan ludah membayangkan aku membersihkan rumah sebesar ini. Apakah tangan dan pinggangku nanti akan baik-baik saja?

"Kenapa muka kamu gitu? Kaget sama rumah saya?" tanyanya diiringi tawa. Aku mengangguk pelan.

"Mau nyapu ada mesinnya. Paling kamu ngepel aja. Mau kuras kolam renang di belakang ada petugasnya. Kamu cuci setrika aja. Mesin cuci saya sudah canggih, gak perlu kamu jemur udah kering."

"Wah, t-tapi saya gak bisa pakai perabotan elektronik canggih, Om," kataku jujur.

"Saya ajarin nanti. Kamu udah sarapan?" tanyanya. Aku mengangguk pelan. Namun, tidak lama perut keronconganku berbunyi. Om Leon sampai terkekeh mendengar suaranya.

"Kamu belum makan tandanya. Mulut kamu bisa bohong, tapi perut kamu tidak. Saya bikin chicken soup. Makan aja, masih hangat! Saya ada kerjaan di kamar sebentar. Kamu bisa makan dan cuci piring sambil menunggu saya ya. Jangan sungkan, anggap aja rumah sendiri!" Aku mengangguk semangat. Kedua kaki ini berjalan menuju dapur besar super megah milik Om Leon.

Aku sampai harus membuka mulut untuk dapat mengeluarkan oksigen banyak-banyak yang tertampung di paru-paru ini. Semua barang dan design dapur serta ruangan yang sebelumnya hanya bisa aku lihat di media sosial, kini bisa aku lihat langsung di rumah Om Leon.

Peralatan dapur super bersih dan tertata rapi. Lantai juga begitu glowing sehingga aku bisa bercermin. Menyaksikan betapa kusam wajah ini.

Sepanci kecil chicken soup aku lihat masih ada di atas kompor. Masih hangat pula. Aku mengambil mangkuk kecil, lalu menuangkan perlahan beberapa sendok sup dari panci itu. Aromanya begitu menggugah, sehingga aku tak sabar untuk segera mencicipinya.

"Apa enak?" tanya Om Leon tiba-tiba dari belakang. Aku menoleh terkejut, lalu sedetik kemudian aku mengangguk.

"Om yang masak?" tanyaku.

"Iya, karena belum ada istri jadinya masak sendiri."

"Sebentar lagi mau punya istri,kan, Om? Kata Bu Marissa_"

"Istri pilihan mama itu. Bukan pilihan saya. Saya udah terlalu tua katanya, makanya mau dijodohkan. Padahal saya naksir kamu. Kamu yakin gak mau cerai sama Biru?" potongnya cepat. Aku menelan ludah susah payah. Untunglah aku sudah selesai makan, jika tidak, maka aku bisa tersedak.

"Tetap saja tidak bisa, Om. Saya udah punya suami," kataku lagi dengan perasaan sumbang. Ya, tentu saja sumbang, karena Mas Biru sudah tidak memperlakukan aku lagi layaknya seorang istri yang ia cintai.

"Alasan kamu itu terus, Hanun, tapi gak papa. Semoga takdir kita bisa kita ubah." Om Leon mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum.

"Atau mungkin kita terang-terangan saja selingkuhnya, biar kamu dicerai Biru?"

"Apa, Om, itu jelas tidak mungkin, Om." Pria itu kini sudah mengungkungku di bawahnya. Aku sampai harus sedikit membungkuk agar dagu Om Leon tidak menyentuh kepalaku. Sungguh ini ujian amat berat dalam hidupku, selain bersuamikan Mas Biru. Pesona Om Leon begitu mendekati kata sempurna, tetapi bagiku hanya cukup untuk dipandang dari jauh saja, sebagai bos dan karyawan.

"Apa kamu tidak percaya saya? Saya benar serius naksir kamu. Pikirkan lagi ucapan saya ya. Jika kamu setuju, saya akan batalkan rencana perjodohan ini. Kamu akan jadi satu-satunya wanita di dalam rumah ini," ujarnya sembari menempelkan bibirnya di pipiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status