“Hamil? Istri saya hamil?” ucap Fakhri mengulang keterangan dokter tadi.
“Iya, benar, Tuan. Sepertinya sudah jalan tiga minggu,” kata sang Dokter menambahkan.
Fakhri hanya diam dan tercenung untuk beberapa saat. Ia melirik ke arah Aina yang sedang terbaring di atas brankar. Wanita cantik itu tampak masih memejamkan mata dengan infus yang tertancap di tangannya.
Pukul delapan pagi saat Aina membuka mata. Ia melihat Fakhri sedang duduk di samping brankar. Kepalanya menunduk dengan tumpuan tangan yang bersandar di tepi brankar tempat Aina terbaring. Aina tersenyum saat tahu suaminya mau menjaga sepanjang malam ini. Ia pikir Fakhri akan meninggalkannya, tapi ternyata tidak.
Hati-hati, Aina mengulurkan tangan dan membelai lembut rambut suaminya. Banyak kerinduan yang sedang Aina tumpahkan. Gara-gara kebodohannya, ada jurang lebar yang terbentang di antara dia dan suaminya. Rambut Fakhri yang sedikit gondrong terasa lembut di tangan Aina.
Dulu Fakhri paling suka jika dibelai seperti itu, sama seperti sekarang matanya langsung terlelap. Katanya ia merasa nyaman saat dibelai Aina. Sebuah kuluman senyum menghias raut cantik Aina. Ia sedang mereka ulang kenangannya bersama sang Suami.
Namun, tiba-tiba Fakhri terjingkat. Ia membuka mata dan buru-buru menepis tangan Aina. Aina terdiam, menyimpan tangannya sambil menatap Fakhri penuh harap.
“Baguslah kamu sudah bangun. Aku mau pulang.”
Fakhri bangkit dari duduknya dan bersiap berlalu pergi. Namun, tiba-tiba dia menghentikan langkah dan menoleh ke Aina. Aina terdiam, membalas tatapan Fakhri.
“Kenapa kamu tidak bilang jika sedang hamil?”
Aina membisu. Sebenarnya Aina sudah melakukan test dan tahu kalau dia positif hamil. Aina sengaja menyimpan kejutannya ini sebagai hadiah ulang tahun Fakhri akhir bulan ini. Sayangnya, kejadian semalam membuat Aina melupakan semuanya.
“Apa dia bukan anakku, sehingga kamu menyembunyikannya?”
Seketika Aina terbelalak kaget mendengar ucapan Fakhri. Ia spontan menggeleng.
“Mas … teganya kamu bilang begitu. Aku tahu salah, tapi jangan menuduhku seenaknya.”
Fakhri berdecak menggelengkan kepala sambil menatap Aina dengan sebal. Aina memperhatikan suaminya. Fakhri sudah berubah dan ini semua salahnya. Andai saja ia ceritakan kejadian malam suram itu, pasti tidak akan begini keadaannya.
Aina menghela napas panjang sambil terus menyesali kebodohannya. Kemudian tiba-tiba Fakhri tampak mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Aina melihatnya. Tanpa suara Fakhri mengulurkan surat itu ke Aina.
“Apa ini, Mas?” tanya Aina dengan bingung.
“Baca saja sendiri!!’
Aina terdiam, membuka surat yang baru diberikan Fakhri dan langsung tercengang.
“Surat pernyataan mengizinkan kamu menikah lagi?”
Aina bersuara sambil membolakan matanya. Baru saja dia mendapat kabar akan diceraikan semalam dan kini sudah berubah menjadi kabar akan dimadu. Apa tidak ada kabar yang lebih baik dari ini?
Fakhri mengangguk. Semalam, ia memang sudah membicarakan hal ini dengan Bu Rahma saat Aina belum siuman. Sepertinya Bu Rahma juga curiga saat tahu kejanggalan pada golongan darah Zafran. Itu sebabnya Bu Rahma mengiyakan saja permintaan Fakhri.
“Aku tidak jadi menceraikanmu, tapi sebagai gantinya kamu harus mengizinkanku berpoligami.”
Aina mendongak dan membuat matanya beradu dengan netra coklat Fakhri. Fakhri tersenyum mengejek saat melihat tatapan penuh tanya Aina.
“Kenapa? Kamu gak mau. Kamu sudah selingkuh, rasanya wajar jika aku juga punya wanita lain di hidupku. Anggap saja kita impas.”
Aina menghembuskan udara dengan kasar sambil menatap Fakhri penuh kebencian.
“Jadi kamu sedang menghukumku?”
Fakhri kembali tersenyum menyeringai. “Syukurlah kalau kamu merasa ini seperti hukuman. Namun, tenang saja. Usai kamu melahirkan, aku akan menceraikanmu. Aku akan memberimu harta gono gini sesuai ketentuan, tapi aku tidak akan meminta hak perwalian. Toh, belum tentu juga anak yang kamu kandung itu anakku.”
Aina memejamkan mata sambil menahan rasa sakit di dadanya. Fakhri memang mengatakannya tanpa tekanan intonasi, tapi setiap kata yang ia ucapkan benar-benar mengiris hatinya. Aina tak henti merutuki kebodohannya. Andai saja ada mesin waktu yang bisa membuatnya mendelete semua kejadian bodoh di malam itu.
“Buruan tanda tangan!!” Seruan Fakhri membuyarkan lamunan Aina.
Dengan terpaksa, Aina membubuhkan tanda tangannya di kertas itu. Ini bukan impiannya, tapi ini satu-satunya cara untuk membuat Fakhri kembali lagi padanya. Aina yakin, suaminya hanya marah sesaat. Nanti kalau sudah reda sikapnya pasti akan kembali seperti semula.
Namun, lagi-lagi tebakan Aina salah. Sejak hari itu, Fakhri tidak pernah menemui Aina. Bahkan Aina harus mengurus Zafran yang masih sakit. Aina juga terpaksa berbohong saat Zafran terus menanyakan keberadaan ayahnya.
Hari berganti hari, berganti minggu hingga satu bulan berselang. Hari ini adalah hari pernikahan kedua Fakhri. Aina sengaja tidak datang. Dia tidak mau menambah luka di hatinya. Memang ini salahnya, ini kebodohannya. Namun, mengapa Fakhri tidak memberi kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya.
Setahu Aina, Fakhri menikah dengan mantan pacarnya saat SMA yaitu Wulan. Memang pernikahannya dengan Fakhri saat itu merupakan perjodohan orang tua mereka. Namun, meski begitu mereka sempat pacaran setahun dan jatuh cinta sebelum memutuskan menikah. Kini semua hanya kenangan bagi Aina dan ia harus mengikhlaskannya.
“Bunda, Zafran ngantuk. Zafran tidur duluan, ya!!” ucap Zafran membuyarkan lamunan Aina.
Putra semata wayangnya itu sudah berpamitan masuk kamar. Aina hanya mengangguk usai memberi pelukan dan kecupan selamat malam. Hari ini memang hanya dia dan Zafran di rumah. Bi Isa dan Mang Samin izin pulang kampung karena ada keluarganya yang menikah.
Pukul sepuluh malam, saat Aina bersiap hendak tidur. Ia sudah berbaring memeluk guling sambil memejamkan mata. Namun, tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar. Aina terjingkat kaget. Belum habis rasa kagetnya, lampu kamar kembali menyala benderang.
Aina semakin terkejut saat melihat Fakhri sedang berdiri di depan pintu. Ia masih mengenakan jas warna putih dengan bunga mawar di sakunya. Penampilannya sangat tampan malam ini, sepertinya dia baru saja pulang dari resepsi pernikahan keduanya.
“Mas … kamu ngapain ke sini?” tanya Aina.
Ia sudah duduk di atas kasur dan melihat Fakhri dengan tajam. Fakhri tidak menjawab. Ia berjalan mendekat sambil membuka jas. Melempar sembarang lalu membuka satu persatu kancing kemejanya hingga menunjukkan tubuh indahnya.
Fakhri menghentikan langkah, berdiri di depan Aina sambil menatapnya dengan mata sayu.
“Buka bajumu!! Layani aku malam ini!!”
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,