“APA??!!” tanya Aina.
Alih-alih menuruti keinginan Fakhri, Aina malah mengajukan pertanyaan. Aina tahu ini hari pernikahan kedua Fakhri dengan Wulan. Kenapa malah Fakhri datang kepadanya? Lebih parah lagi malah meminta jatah padanya.
“Kamu tuli atau gimana, sih? Buruan buka bajumu!!” ulang Fakhri.
Aina masih bergeming di tempatnya. Ia ingat jika suaminya masih marah padanya. Jangankan untuk melakukan hubungan suami istri, memandangnya saja tidak mau. Mengapa kini malah ingin meminta jatah?
“Duh, lelet banget, sih.”
“Tapi, Mas ---"
Fakhri tidak menggubris ucapan Aina malah langsung mencium bibir Aina dengan kasar. Aina berulang menolak, menepis wajahnya, tapi Fakhri terus memaksanya membuat Aina tak berdaya. Sejujurnya Aina memang merindukan sentuhan Fakhri, tapi tidak seperti ini juga.
Setelah beberapa saat, Fakhri menjeda kecupannya. Matanya menatap aneh ke arah Aina. Aina bahkan bingung mengartikan tatapan suaminya. Kemudian Fakhri bangkit dan melucuti semua bajunya. Ia tersenyum menyeringai sambil menatap Aina yang terdiam di atas kasur.
“Harusnya kamu beruntung aku masih mau menjamahmu malam ini. Jadi puaskan aku malam ini, Aina!!”
Fakhri langsung menerjang, melepas paksa baju tidur Aina. Kemudian memulai pemanasan dengan kasar. Ia mencium bibir Aina dengan liar, tak menghiraukan penolakan Aina. Aina berulang meringis kesakitan. Ini bukan suaminya.
Biasanya Fakhri tidak seperti ini. Dia selalu lembut memperlakukan Aina. Bahkan mereka selalu menikmati klimaks bersama-sama, tapi tidak kali ini. Tanpa menunggu Aina terangsang, Fakhri langsung menerjangnya. Memasuki dirinya dengan sangat kasar, Fakhri bahkan tidak mempedulikan erangan Aina yang kesakitan.
Baru saja Aina hendak merengkuh kenikmatan, tiba-tiba Fakhri menarik miliknya dan memilih mengeluarkan di luar. Aina hanya diam membisu melihat ulah suaminya. Seakan tahu sedang diperhatikan Aina, Fakhri menoleh ke arahnya.
“Aku tidak mau benihku bercampur dengan anak haram di tubuhmu,” ujarnya dengan sinis.
Aina terdiam, menahan sakit di dadanya sambil menutup tubuh polosnya dengan selimut. Sementara Fakhri langsung berjalan ke kamar mandi. Selang beberapa saat kemudian Fakhri sudah keluar dari kamar mandi. Ia terlihat lebih segar sepertinya Fakhri baru saja mandi.
“Ngapain masih di sini? Sana, pergi!! Aku mau tidur!!”
Kembali Fakhri bersuara keras padanya. Aina buru-buru bangkit, memunguti bajunya kemudian berjalan ke luar kamar. Mungkin dia akan tidur di kamar tamu saja malam ini.
Aina sudah siap terlelap, tapi dia ingat ponselnya tertinggal di kamar utama. Aina bangkit dari kasur dan bersiap ke kamar utama. Ia harap Fakhri sudah tidur sehingga tidak terjadi perdebatan lagi seperti tadi. Pelan, Aina membuka pintu. Beruntung Fakhri tidak mengunci pintu kamarnya.
Aina mengedarkan pandangan dan dia tidak melihat Fakhri ada di kamar. Aina melirik pintu ke arah balkon terbuka lebar. Aina tergesa mengambil ponselnya dan bersiap keluar. Namun, rasa penasaran menyelimuti Aina, apalagi Aina mendengar sayup-sayup suara suaminya tampak sedang berbincang dengan seseorang.
Langkah Aina perlahan mendekat ke arah pintu balkon dan berdiri diam di sebelahnya. Ada kepulan asap keluar dari bibir Fakhri. Sudah hampir enam tahun menikah, Aina tidak pernah melihat Fakhri merokok dan kini suaminya kembali merokok lagi. Apa mungkin karena permasalahan di antara mereka membuat Fakhri kembali dengan kebiasaannya saat bujang dulu?
“Kok belum tidur, Sayang?” ucap Fakhri.
Aina terdiam membisu. Alisnya mengernyit dengan mata bertanya. Siapa yang dipanggil ‘sayang’ oleh Fakhri? Apa Wulan istri keduanya? Aina tidak mau menduga. Ia hanya diam dengan telinga yang berdiri tegak.
“Iya, Sayang. Mas sebentar lagi balik. Salah kamu juga, sih. Malam pertama malah halangan,” ucap Fakhri.
Aina terdiam, merapatkan tubuhnya di balik dinding sambil mengurut dada. Tepat dugaannya, Fakhri sedang melakukan panggilan dengan Wulan.
“Iya, maaf, Mas. Aku mana tahu kalau halangannya belum selesai. Terus kamu di mana ini? Kamu gak jajan, kan?” Suara Wulan di seberang sana sudah menyahut.
“Ikhs … belum apa-apa kok nuduh Mas jajan, sih. Aku gak seperti itu, ya. Udah, kamu gak perlu tahu aku ke mana. Bentar lagi balik, kok.”
Terdengar tawa renyah Wulan di seberang sana. “Ya udah, aku tungguin. Udah gak sabar pengen dielus lagi kayak tadi.”
Kini Fakhri yang tersenyum lebar. Wajahnya tampak berseri-seri.
“Iya, untuk malam ini cuman dielus ama dicium aja. Besok, kalau udah selesai halangannya langsung gas, ya?”
Aina membisu menyandarkan punggungnya ke dinding. Kini dia tahu, kenapa Fakhri tiba-tiba menemuinya. Ini malam pertamanya dengan Wulan. Harusnya Fakhri melakukannya dengan Wulan, tapi karena Wulan berhalangan maka Fakhri mencari pelampiasan ke dirinya.
Aina mengatupkan bibirnya, ia tidak mau isaknya terdengar Fakhri. Entah mengapa tiba-tiba air mata luruh membasahi pipinya. Baru saja sehari suaminya berpoligami, hatinya sudah tersakiti seperti ini. Lantas apa sanggup ia bertahan hingga sembilan bulan?
Aina bersiap pergi. Ia tidak kuat menahan sakit. Namun, baru saja ia hendak membalikkan badan, tiba-tiba sebuah tangan mencekal lengannya. Aina menoleh dan melihat Fakhri sedang berdiri di belakang sambil menatapnya tajam seakan siap memberinya hukuman.
“Kamu menguping percakapanku?” tanya Fakhri.
Aina tidak menjawab. Fakhri mendekatkan wajahnya kini dengan tangan yang mencapit kedua pipi Aina. Aina meringis kesakitan saat merasakan cengkraman tangan Fakhri di pipinya.
“Dengar, ya!! Mulai hari ini kamu akan merasakan sakitnya hatiku saat kau khianati. Kamu akan merasakan pedih yang sama seperti yang aku rasa, Aina.”
Aina menggelengkan kepala dengan buliran bening yang terus menerus mengalir membasahi pipinya. Sementara Fakhri semakin mempererat cengkramannya.
“Enam tahun kamu membohongiku dan aku akan membalasnya setiap hari, setiap menit, setiap detik dan setiap tarikan napasmu, Aina. INGAT ITU!!”
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,