Share

Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta
Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta
Author: Jane Lestari

Bab 1

Definisi keluarga, selalu saja bergolak, dalam jiwa siapa pun,

yang tidak sempat merasakan kasih yang sempurna.

Keluarga?

Apakah mereka, yang tersenyum bahagia saat melihatmu pertama kali hadir di dunia?

Apakah mereka yang disebut sedarah?

Ataukah, siapa saja bisa disebut Keluarga?

Ya, siapa pun bisa kamu sebut keluarga.

Karena keluarga itu tentang ketulusan.

Tentang kehadiran.

Tentang kasih yang tak terbatas, oleh jarak dan waktu.

***

Suara kendaraan terdengar memenuhi seluruh pendengarannya. Tak kalah, suara wanita-wanita dengan tawa lebar, menyambutnya saat memasuki tempat itu.

Siang ini, dia akan bertemu sahabatnya. Tempat itu, seperti kembali mengajaknya melangkah mundur. Semua bayangan memenuhi ingatannya.

"Apa?!" suara Mey membuat semua mata, tertuju padanya.

"Suara kamu!" Camelia menegur Meylani, untuk merendahkan suara.

"Lia, kamu gila!"

"Mey, bagiku, cinta itu harus diperjuangkan. Aku gak mau seperti kamu. Terus saja berharap Leo, bisa paham isi hati kamu!"

"Lia! Kita ini wanita dewasa, wanita berpendidikan. Aku gak ingin, kamu dinilai rendah, di mata Bilal."

"Bilal itu, memang pantas aku perjuangkan!"

"Walaupun, harus merendahkan dirimu sendiri?"

"Bukan merendahkan diri, tapi memperjuangkan cintaku, Mey!"

Meylani, tampak belum bisa menerima keputusan Camelia. Dia masih syok, mendengar kejujuran sahabatnya itu.

Hening!

Camelia, tampak fokus, menghabiskan setengah gelas, kopi kesukaannya. Sedang Meylani, terus menatap heran pada sahabatnya itu.

"Lia, aku belum bisa percaya, kamu melakukan itu!"

Camelia tersenyum, melihat tingkah Meylani, yang masih bertahan dalam situasi yang sama.

"Malah tersenyum! Dia yang berbuat, kok aku yang jadi pusing, ya?" sesal Meylani.

Camelia tertawa. Dia merasa kelakuan Meylani terlalu berlebihan.

"Lia. Jujur, aku tidak bisa menerima ini. Yang aku tahu, kamu, wanita yang sangat menjaga harga diri. Sangat menjaga batas. Tapi kenapa kamu melakukan ini? Apakah, aku, tidak lagi mengenal sahabatku sendiri?"

"Mey, kok kamu jadi serius gini?" tanya Camelia, mencoba menenangkan sahabatnya.

"Aku butuh penjelasan Lia. Please!"

***

Sepuluh tahun kemudian.

"Hai, kalian berdua apa kabar?" Camelia memeluk Meylani. Rindu itu sangat terasa.

"Sendiri aja, Lia?" tanya Leo.

Camelia hanya tersenyum. Pertanyaan Leo, seperti petir yang membuat langit menjadi gelap.

"Lia, aku rindu banget," tutur Meylani, matanya berkaca-kaca. "Aku pun sama, Mey. Kamu dan Leo, baik-baik saja kan?"

"Alhamdulillah, kami baik dan bahagia Lia," jawab Meylani. "Kalian jadi, pindah ke sini?"

"Iya, Lia. Meylani, katanya ingin dekat sahabatnya lagi. Di negeri orang, dia gak tenang. Dia kesepian," jelas Leo.

"Aku malah pikir, dia sudah bahagia bersama kekasih impiannya," ejek Camelia. Dijawab senyuman datar, Meylani.

Suasana, tiba-tiba hening.

Kalimat Camelia, seperti menciptakan suasana berbeda. Meylani menatap Leo. Seperti ada yang mereka ingin sampaikan.

Camelia memalingkan wajahnya, kembali fokus, pada segelas kopi di hadapannya.

"Lia, masih sibuk di Rumah Bahagia?" tanya Meylani, memecah kebisuan. "Alhamdulillah. Masih, Mey. Akhir-akhir ini, aku dapat banyak banget klien."

"Kamu, masih menangani konflik rumah tangga?" tanya Leo. "Iya. Masih bertahan seperti sepuluh tahun yang lalu."

"Sampai kapan, Lia?" ucap Meylani, menggenggam tangan Camelia. "Inilah duniaku. Selama aku dibutuhkan, aku tetap bertahan."

Kembali, hening.

Meylani menatap Leo. Dia seperti menyampaikan sesuatu lewat tatapan matanya.

"Lia, gak apa-apa aku tinggalin kalian berdua dulu? Aku ada keperluan, di gedung sebelah."

"Oke Leo. Jangan khawatir, aku akan menjaga wanita cantikmu, ini," sahut Camelia.          "Aku pergi dulu ya, Sayang," ujar Leo, memeluk Meylani.

Camelia membuang muka. Dia berusaha menghindari tontonan romantis di hadapannya.

Leo berlalu.

Meylani kembali fokus pada Camelia, yang duduk tepat di sampingnya.

"Li, aku turut berduka cita ya."

Camelia tersenyum.

"Aku benar-benar syok, saat mendengar kabar itu. Aku belum sempat nengok Tante, saat beliau di rumah sakit."

"Gak apa-apa Mey. Inilah takdir. Kita tidak bisa menerka dan menjamin apa yang akan terjadi selanjutnya."

"Lia, kamu berubah!"

Camelia tertawa.

"Kamu Camelia yang berbeda. Why Lia? Sepuluh tahun yang lalu, di tempat ini, kita bertemu terakhir kalinya, sebelum aku pindah ke Jepang. Dan hari ini, Cameliaku, seperti taman yang gersang. Bunga dan daunnya berguguran, tanpa keindahannya. Dia seperti lupa, caranya, memberi keindahan kepada kami, yang sangat menyayanginya."

Wajah itu, berubah sendu. Kalimat Meylani, seperti hujan bersama angin yang bertiup dahsyat. Mata Camelia, berkaca-kaca.

Air mata itu, akhirnya tidak mampu dibendung. Meylani mendaratkan pelukannya. Dia seperti turut merasakan, kabut gelap dalam hati sahabatnya.

Camelia merasakan dirinya begitu berbeda sore ini. Dia merasa, sudah terlalu lama, menyimpan air matanya. Ketika tegar, menjadi wajib. Air mata pun, tidak lagi ada artinya. Dan tidak akan menjadi bagian dari dirinya lagi.

Tapi, kini, semua kembali membawa kerinduan, yang akhirnya tumpah, dalam pelukan Meylani. Sahabat yang paling memahami hatinya. Sahabat, yang tidak pernah meninggalkannya.

***

“Hai, udah lama?”

“Kira-kira sepuluh menit.”

Kedua pria itu, lantas berpelukan. Melepas rindu yang sempat mengikat.

“Meylani, gak ikut?”

“Ada di sebelah, ketemu…,” jawab Leo, enggan melanjutkan.

“Ketemu siapa?” Bilal, penasaran.

“Ehm, Camelia.”

Suasana berubah beku.

“Oh ya, jadi kalian, sudah pasti balik ke Indonesia?” Bilal mengubah topik.

“Kalian kompak ya?”

“Maksudnya?”

“Pertanyaan kamu, persis pertanyaan Camelia.”

“Kamu, Leo! Sudahlah. Gak usah mancing-mancing. Bahas yang lain saja!”

“Oke!”

Cerita yang rumit, sungguh rumit. Ketika cinta tak jua bertemu pemiliknya, dunia selalu berbeda. Duka itu, jelas, tak bisa disembunyikan. Walaupun jarak telah tercipta begitu jauh.

“Oh ya. Gimana kabar Linda?”

“Alhamdulillah, baik.”

“Anak-anak, sehat?”

“Alhamdulillah, semua sehat.”

“Syukurlah. Kamu udah lama, pindah ke tempat Alex?” lanjut Leo.

“Sudah empat bulan.”

“Aku seperti mimpi, bisa kembali ke kota ini. Waktu berlalu begitu cepat. Sepuluh tahun.”

“Kenapa kamu mau kembali ke Indonesia? Bukannya, karier kamu, udah bagus di Jepang. Perusahaan impian. Malah kamu tinggalkan.”

“Cinta!”

Bilal tertawa.

“Kamu kenapa tertawa?” tanya Leo, heran.

“Kita ini, bukan remaja lagi, Leo. Aku merasa lucu saja, mendengar kamu, mengucap kata itu.”

Giliran Leo, terkekeh. “Cinta, tak pernah mengenal usia, waktu, zaman, Bilal!” lanjutnya.

“Aku bahkan tidak tahu arti cinta, selama sepuluh tahun ini!”

“Maksud kamu?”

“Gak usah dibahas. Gak penting!” sahut Bilal, menarik diri.

“Gini. Mey, enggak betah di Jepang. Dia selalu merasa kesepian. Dia selalu merindukan Camelia. Aku merasa enggak adil, apabila memaksakan bertahan, sedangkan wanita yang kucintai, tidak bahagia. Apalah arti kesuksesanku?”

Bilal terpaku.

“Yang aku tahu, Mey, sangat mencintai suaminya. Jadi, aku, wajib, memberikan cinta yang sama padanya.”

“Kamu kenapa?” tanya Leo, mendapati Bilal tampak gelisah.

“Gak tahu. Aku merasa gak betah, di tempat ini. Aku gak nyaman.”

“Gak nyaman dengan tempat ini, atau dengan ceritaku?” tebak Leo.

“Kamu! Aku bahagia mendengar sahabatku bahagia. Aku ikut bahagia Leo. Serius! Tempat ini, membuat aku gak nyaman.”

***

“Kamu dan Leo, sekarang tinggal di mana?” tanya Camelia.

“Untuk sementara, kami tinggal di rumah orang tuaku. Rumah kami, masih direnovasi. InsyaaAllah, selesai akhir bulan ini.”

“Kapan-kapan, aku ke tempat kalian, ya?”

“Harus, dong. Kalau kamu enggak datang, aku yang samperin kamu.”

“Oke insyaaAllah.” Meylani dan Camelia, mengakhiri pertemuan. Mereka berjalan menuju tempat parkir.

“Kamu sudah hubungi Leo?”

“Sudah. Dia sudah otw ke sini. Kamu belum balik?” tanya Meylani. “Aku temani kamu dulu, sampai Leo datang.”

“Panjang umur. Itu, Leo udah menuju ke sini,” ujar Meylani, menunjuk Leo.

Bilal! batin Camelia. “Aku pamit ya, Mey. Leo juga udah dekat.”

“Gak tunggu Leo dulu?”

“Enggak usah Mey. Aku titip salam saja, ya.” Camelia tampak gelisah, dan segera pergi dari tempat itu. Dia seperti terusik.

“Camelia udah balik?” tanya Leo. “Iya, baru aja. Eh, Bilal, apa kabar?” sapa Meylani.

“Alhamdulillah baik, Mey.”

“Bi, kami pamit ya,” lanjut Leo. “Kalian hati-hati,” sambung Bilal.

“Assalamu’alaykum,” ucap Mey dan Leo, serentak. “Wa’alaykumussalam.”

Bilal, masih berdiri di tempatnya. Dia tampak serius, mengamati kedua sahabatnya, yang berjalan, bergandengan menuju mobil mereka.

“Tadi, Camelia melihat kami?” tanya Leo, dalam mobil. “Iya. Makanya dia langsung buru-buru pergi.”

Leo tidak menimpali. Dia terdiam, dan matanya fokus menatap ke depan.

“Sepuluh tahun, mengapa tidak ada yang berubah dalam hubungan ini? Aku bingung, Mas. Haruskah persahabatan kita, berakhir, hanya seperti ini?” lanjut Meylani.

“Aku juga bingung, Sayang. Semua sudah berbeda sekarang, tapi hubungan Bilal dan Camelia, masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Dingin, menjaga jarak. Cerita mereka, seperti enggan berakhir.”

“Tadi, aku sempat menyinggung kesendirian Camelia. Tapi, dia seperti biasa, Mas. Hanya menjawab tentang takdir. Bahwa, sendiri, adalah takdir yang nyata, harus bersamanya saat ini.”

“Camelia masih tinggal dengan Melati?”

“Melati, kan, udah nikah tiga tahun lalu, Mas.”

“Jadi?”

“Iya, Melati tinggal di rumah suaminya. Camelia, tinggal sendiri, sejak Tante Mona, meninggal dunia.”

Leo, kembali diam. Meylani pun, sama.

***

“Bagiku, menyatakan perasaan itu, penting, Mey. Apapun hasilnya, aku merasa punya tanggung-jawab menyelesaikannya.”

“Lia, tapi, sebagai wanita, itu bukan budaya kita?”

“Tidak ada aturan baku, tentang hati. Dia bisa datang pada siapa saja, kapan saja, di mana saja,” sanggah Camelia.

“Aku belum bisa menerima kenyataan ini, Lia. Kenapa kamu, enggak cerita dari awal?”

Camelia tersenyum, dan melanjutkan. “Yang ada, kamu akan menghalangiku, jika tahu dari awal.”

“Jadi, gimana?”

“Aku tidak pernah menunggu jawaban, saat aku telah menuntaskan keinginan hatiku. Dia menerima dan tidak, aku merasa, itu tidak penting lagi.”

Meylani, menarik napas panjang, dan mengembuskannya. Tampak, dia sulit, mencerna, keberanian sahabatnya itu.

“Kamu yakin, surat itu, sudah sampai di tangan Bilal?”

“Yakin!”

“Kok bisa, kamu yakin banget?”

“Aku lihat, dia membacanya.”

“Ya Allah. Camelia, itu gila! Aku merasa, itu di luar jangkauanku. Kamu yakin, Bilal memahami cara pandang kamu, tentang ini?”

“Aku yakin, dia bisa paham.”

Meylani, menggeleng. Dia benar-benar tidak percaya, sosok dihadapannya, akan melakukan tindakan seperti ini. Sikap, yang sama sekali tidak pantas dilakukannya.

“Dalam keluarga kami, wanita, disebut tidak pantas, mendahului pria, Lia. Dan aku pun, berat sekali menerima, kamu lakukan itu.”

“Meylani. Ini bukan masalah. Setiap dari kita, memiliki cara pandang sendiri tentang kehidupan. Saat orang lain memutuskan kata tidak, tidak berarti semua orang dilarang memilih kata ya. Begitu kan?”

“Intinya, aku tetap tidak setuju! Kamu menyatakan cinta pada Bilal? Tidak bisa kupercaya. Apalagi seorang Camelia? Oh no!”

Camelia, lagi, hanya tersenyum.

Lia, aku tidak pernah menyangka itu adalah senyuman terakhirmu. Entah apa yang terjadi sejak itu, batin Meylani.

Mobil Leo terus melaju, menembus kemacetan jalan Jakarta sore ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status