Hari berganti. Tidak terasa waktu liburan di Bali sudah habis. Sekarang waktunya aku kembali ke Jakarta. Aku sudah menyiapkan rencana tentang apa yang akan aku lakukan nanti. Bagaimana caraku untuk mempertemukan keluargaku dan keluarga Disha. Mengatakan kepada mereka semua bahwa aku membatalkan pernikahan itu. Tentu dengan semua bukti yang aku dapatkan.Aku dan Gede sudah check out dari hotel dua hari yang lalu dan memutuskan untuk tinggal di rumah baru Agni. Selama dua hari itu, tidak ada gangguan yang berarti. Mulyawan, mantan Agni yang resek itu tidak datang. Mungkin saja dia kebingungan mencari alamat Agni yang baru. Sebelum pergi, aku sudah berpesan kepada tetangga untuk merahasiakan alamat baru Agni.Terlepas dari itu semua, Devi sudah kembali ceria lagi. Gadis berumur dua puluh satu tahun itu sudah tidak terbayang-bayang kejahatan ayahnya lagi. Namun hal yang sedikit mengganjal adalah sikap Devi yang suka manja berlebihan denganku. Dan Agni yang seperti membiarkannya. Duh, kan
Penerbangan memakan waktu dua jam saat sampai di bandara Soekarno-Hatta. Meski sudah sampai di Jakarta, aku masih terbayang-bayang indahnya pulau Dewata. Kalau keadaan memungkinkan aku ingin kembali ke sana. Bahkan kalau bisa tinggal di sana saja. Suasana damai dan sejuknya udara lebih baik daripada di Jakarta.Selesai dari tempat pengambilan koper. Aku dan Gede langsung menuju pintu utama. Kami berdua sama-sama tidak dijemput di bandara. Ya, ini hanya liburan, bukan bekerja di luar negeri, jadi tidak perlu dijemput satu keluarga.Bicara tentang luar negeri, aku langsung teringat dengan Disha yang pulang tepat di hari ini. Aku tidak tahu pasti dia sampai kapan. Yang jelas aku tidak mau bertemu dengan dia dan Raka di Bandara ini.Namun, prakiraanku salah. Ketika sampai di pintu keberangkatan, aku melihat Disha dan Raka“Men, itu Disha dan Raka.”Aku tidak menghiraukan Gede. Pandanganku lekat ke arah Disha. Ada perih yang terasa di hati ini. Apalagi saat kulihat Raka yang terlihat memeg
Aku memulai kehidupanku di Bali. Dengan segala keindahan alamnya. Kultur yang berbeda dengan Jakarta. Banyak hal yang perlu aku menyesuaikan. Namun, terlepas dari itu semua. Aku sangat menikmati kehidupan baruku di Bali.Aku lebih memilih menyewa rumah. Mengingat di Bali jarang ada apartemen, atau bahkan mungkin tidak ada. Pilihanku menyewa rumah bukan tanpa alasan. Aku masih belum yakin untuk tinggal sepenuhnya di suatu tempat.Terlebih, aku belum pasti antara hubunganku dengan Agni. Dia saja belum tahu kalau aku sekarang ada di Bali. Sengaja aku tidak memberitahunya terlebih dahulu.Hingga pada sore itu ponselku berdering. Nama Agni tertera di sana.“Mas, maaf menganggu waktunya sebentar. Boleh enggak saya bicara serius dengan Mas?”Aku mengernyit dahi mendengarkan Agni berbicara dengan nada panik dan terburu-buru.“Mau bicara apa Mbok? Mbok dan Devi baik-baik saja kan?”“Devi yang enggak baik-baik saja, Mas. Dia habis kecelakaan.”“Hah! Kecelakaan? Sekarang dia dirawat di mana Mbok
Setelah mengurus administrasi, langsung saja aku bergerak menuju PMI. Ingin mendonorkan darahku segera.Aku tidak menanyakan apakah Agni melakukan donor darah atau tidak. Karena menurut penjelasan suster tadi. Baru aku saja yang melakukan donor darah untuk Devi. Mungkin golongan darah Devi sama dengan Mulyawan. Akan menjadi ironi kalau penabraknya benar-benar Mulyawan. Dasar bapak tidak punya hati.Aku mendaftarkan diri. Menuliskan nama Devi sebagai orang yang akan menerima hasil donorku. Dilanjutkan dengan test tekanan darah serta hemoglobin.Tak lama kemudian aku sudah terbaring di atas ranjang kantor PMI. Seorang perawat yang bertugas menyiapkan diriku untuk jadi pendonor darah membantuku sembari tersenyum ramah.Dengan pelan, aku merasakan jarum di tusukkan di lengan kiriku, tak lama kemudian aliran darahku mulai mengalir pelan dalamselang yang menampung gumpalan darahku dalam kantong darah.Sekitar sepuluh menit kurasakan rasa nyeri akibat darah yang berdenyut-denyut keluar dari
Aku mendekatinya. Menunggunya berbicara, tapi tidak ada suara yang keluar dari sana. Aku mengambil gelas yang ada di meja di sebelahnya. Aku taruh sedotan di bibirnya menyuruhnya minum. Tadi dokter mengingatkanku jika memang memungkinkan Devi harus banyak minum jika dia sadar nanti.Secara perlahan, Devi berusaha keras menyedot air dari gelasnya. Aku tahu dia adalah Gadis yang kuat. Dia tidak akan menyerah dengan keadaannya yang sekarang, aku bisa lihat dari semangatnya ketika dia mencoba menghabiskan air minum di gelasnya saat ini.Aku letakkan gelas yang lebih dari separuhdiminumnya. Aku memandangnya. Dia kembali memandangku. Dia tetap tidak mengucapkan apa-apa karena mungkin belum kuat dan mampu untuk melakukannya, tapi pandangan matanya seperti berbicara dan mengucapkan terimakasih padaku saat itu. Aku juga melihat kilat semangatnya atas kehadiranku di sini.Aku meletakkan tanganku di telapak tangannya. Masih dingin juga. Aku genggam pelan.“Devi, kamu harus semangat. Aku yakin ka
Aku geragapan dibuatnya. Sungguh aku tidak menyiapkan jawaban apapun tentang hal ini. Bahkan aku tidak mengira kalau Devi mempertanyakan bagaimana perasaanku kepadanya. Padahal kan jelas kalau aku menyukai Agni.Aku kembali melihat ke arah Agni yang terlihat mengangguk pelan, seolah isyarat supaya aku menggiyakannya. Sungguh aku dibuat bingung oleh keadaan ini.“Kok diam saja Bli?”“Emmm, kalau boleh tahu kenapa Devi bertanya seperti itu?”“Karena Devi suka sama Bli Dani. Devi sayang sama Bli Dani.”Aku tersentak. Siapa yang akan menyangka kalau gadis itu menyukaiku. Ini sungguh diluar harapan. Aku memang mendekatinya, tapi itu semata-mata demi bisa menenangkan hati Agni, tapi Devi malah kecantol hatinya.Sekarang aku terjebak dilema. Aku tidak mungkin menolak Devi. Mengingat kondisinya yang baru saja pulih. Kalau sampai aku menolaknya. Pasti kondisinya akan drop. Tentu akan membuat Agni bertambah sedih. Tapi kalau aku menerimanya, bagaimana dengan hubunganku dengan Agni. Bagaimana de
“Jujur sama aku, kamu sering kan menjadikanku bahan imajinasimu?”Agni tidak menjawab. Namun tangannya, masih belum beranjak dari dadaku. Iya, apa yang aku lakukan memang agak gila. Tapi, rasa penasaranku kenapa dia selalu membayangkanku, tapi malah merelakanku menikah dengan anaknya sendiri.“Lepaskan tanganku, Mas. Kamu enggak pantas melakukan ini. aku ini mertuamu.”“Aku tidak akan melepaskan tanganku sebelum kamu jujur sama aku, mama mertuaku Sayang.” Aku mencengkeram tangannya, “Kamu selalu mengintipku setiap malam kan. Kamu selalu onani sambil membayangkan aku kan?”Dia memejamkan mata. Bibirnya bergetar. Seperti mau bicara, tapi agak berat.“Ayo katakan saja. Jangan malu.” Aku terus mendesak.“Iya, Mas. aku memang sering mengintip kamu. Aku memang kagum sama kamu, Mas.”“Terus-terus?”“Aku suka dengan bodi kamu yang macho, aku suka milik kamu yang besar, tapi aku hanya suka membayangkannya saja, Mas. Aku lebih puas kalau main sama dildo.”Senyumku lantas turun seketika. Langsun
Kesempatanku mendekati Agni semakin terbuka lebar tatkala Devi berpamitan denganku untuk pergi ke suatu daerah, di mana dia akan melakukan kegiatan kuliah kerja nyata. Sebagai informasi saja kalau aku dan Devi belum merencanakan untuk mempunyai anak dulu sampai Devi lulus kuliah. Maka kesempatan itu kugunakan sebaik-baiknya untuk bercinta dengannya sekaligus menggaet Agni.Aku benar-benar sangat terobsesi dengan Agni! Aku harus bisa menaklukannya segera!Seperti malam itu, ketika aku sedang tidur di kamar. Namun tiba-tiba aku terbangun ketika kebelet hendak buang air kecil.Aku melihat ke arah jam, ternyata pukul dua dinihari. Rasa penat ditubuhku karena aku pulang malam larut sekali. Ada banyak event di hotel yang membuatku terpaksa lembur. Berbeda dengan Agni yang memang jadwalnya pulang lebih awal.Aku membuka pintu kamar. Melangkah gontai menuju kamar mandi. Terlihatlah suasana ruang tengah yang remang-remang setelah aku matikan lampunya. Namun, aku terus melangkah saja.Rasa kan