Keesokan harinya,Aku memeluk Sinta dengan posisi saling berhadapan sampai wanita itu menggeliat di pagi hari. Begitu membuka mata, Aku langsung menyambutnya dengan senyuman."Selamat pagi Tuan Putri, bagaimana tidurmu tadi semalam?Mata Sinta melebar. Dia berusaha mendorong dadaku."Kamu kok masih di sini? bukannya aku sudah bilang kalau sudah selesai bersenggama, kamu kembali ke kamarmu?" protes Sinta yang semakin mengeratkan pelukanku."Aku hanya ingin menemanimu sampai pagi, apa itu salah?" Aku balik bertanya,"Lagian aku tidak tega melihat wanita secantik itu tidur sendirian."Rayuan ala buaya yang nyatanya cukup membuat hati Sinta melayang-layang. Mungkin dia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Namun, Dia tidak mau memperlihatkannya di hadapanku."Lepaskan aku. keluar dari ruangan ku sekarang." Sinta mengusirku tapi dengan gestur yang sebaliknya. Dia membalikkan badannya, membelakangiku."Enggak! aku masih mau di sini," sahutku sambil menyusupkan kedua tangannya k
“Apa-apaan ini?” desahku tertahan karena tenggorokanku yang dicekik. Terlihat pria muda berkumis tebal tersungut-sungut.“Stop bersikap sok manis dengan Sinta,”“Memangnya kenapa?”Martin membisu. Aku menaikkan sebelah alis, pelik dengan sikap dari bodyguard itu.“Pokoknya hentikan sikapmu yang sok manis dengannya?”“Kamu cemburu?” sambarku yang membuat Martin gelagapan. Pria yang selalu menunjukan sikap dinginnya itu tergagap mendapatkan pertanyaan seperti itu.“Kamu suka dengan Sinta?” sambarku lagi. Martin seolah kehabisan kata untuk menjawabnya. Aku bisa membaca gesture tubuh dari Martin. Sekuat apapun dia berusaha untuk menyembunyikannya, gerak-gerik tubuhnya tidak bisa bohong. Wira mengetahuinya karena sesama lelaki yang juga merasakan hal yang sama ketika menyukai seorang wanita.“Jaga mulutmu! Sebagai bodyguard, aku hanya ingin menjauhkan Nyonya Sinta dari penyakit seperti kamu!” elaknya.“Kalau kenyataannya Sinta sendiri yang menginginkanku gimana?” sahutku yang semakin membu
POV AuthorLima tahun berlalu,Dani sedang berada di ruang pribadinya. Polemik berbagai perusahaan yang dia pegang mulai dari kegiatan operasional sampai keuangan menjadi pantauannya dalam beberapa tahun belakangan ini. Menjadi terkendali dan stabil.Karena keasyikan bergelut dengan peran barunya sebagai Owner merangkap Ceo, membuat waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa tahun-tahun terlewatkan begitu sia-sia dengan hanya mengelola perusahaan. Mengabaikan kehidupan pribadinya. Tanpa makna. Lama-lama hatinya menjadi hampa.Dani menghempaskan punggungnya di kursi putarnya. Memijat-mijat kepalanya yang terasa pening. Permasalahan tidak ada habisnya. Sementara dia dituntut untuk tangkas dalam mencari jalan keluar. Dia bukan robot, tentu memiliki titik jenuh juga.Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu, Dani langsung menegakan badannya. Kembali berkutat dengan laptopnya. Menjaga wibawanya dengan tidak terlihat lesu di hadapan siapapun, apalagi para pekerjanya.“Masuk!”Seorang bertub
Dani masih belum habis pikir dengan apa yang dilihatnya barusan. Di meja kerjanya, bayangan wajah penjual jajanan itu masih terpampang nyata di benaknya. Bagaimana wajahnya bisa sangat mirip dengan mendiang Agni? masih terperangah dengan kejadian beberapa waktu yang lalu."Agni," ucap Dani spontan. wanita yang seolah reinkarnasi dari Agni itu hanya menatapnya aneh. Tidak ada yang berubah. Hanya bentuk badannya yang sedikit melebar, Namun tetap Sexy ."Maaf Pak? maksudnya?" tanyanya pada akhirnya setelah membiarkan Pria Tampan di hadapannya itu terbengong sesaat."Kamu Agniku?" Dani tersadar dari lamunannya. Memastikan bahwa dia adalah mendiang janda yang menjadi pujaan hatinya yang sudah lama tenggelam dan belum ditemukan."Bukan Pak, Saya Melati. Saya baru saja datang dari desa untuk bekerja di sini," sahut Melati santai. Dia mengalihkan pandangannya dengan jajanan yang baru saja dia tata.Tubuh Dani menyondong. Mencengkeram pundak Melati sampai wanita itu terkaget dan menengadah.
"Ok, pulanglah sendirian. besok akan kupastikan kamu dan semua teman-temanmu tidak akan bisa berjualan di sekitar mall."Melati mematung. Pandangannya terlempar sepenuhnya kepada Dani yang menyunggingkan senyum kemenangan.Tadi pagi, dia dikecam oleh teman sesama pedagang karena berani menghardik Dani. CEO yang memberikan ruang kepada mereka untuk mengais rezeki. Melati, pedagang baru dinilai sangat arogan."Bagaimana?" Dani menaikkan alis tebalnya. Senyum yang terkesan mesum membuat imej CEO itu tidak baik baginya, Yang harus dihindari jauh-jauh. Namun dia malah terjebak."Masuklah," Dani menggeser duduknya untuk membuka pintu samping. Wanita itu berdecak kesal sambil menghentakkan kakinya. Detik kemudian, dia sudah duduk di samping pria itu."Tutup pintunya Melati," titah Dani dengan suara lembut. Melati yang gendang telinganya terusik lantas membanting pintunya."Antarkan aku di jalan panglima Sudirman depan Club malam," ucap Melati tanpa menoleh. Dia masih mendengus kesal."Teman
"Hal Sampah apa yang kalian lakukan hah?" bentak Santi saat sudah mendekat. Dia menatap Dani yang membisu, tangannya masih memegang apem terakhir yang rencananya akan dia suapkan kepada Melati. Namun wanita itu salah sangka dan menjerit. Membuat semua kesalahpahaman ini."Bukan begitu kejadiannya, aku tadi hanya....""Cukup!" teriak Santi yang membuat keadaan hening. "Keluar kamu!" titah Santi kepada Melati tanpa menoleh."Tanpa kamu suruh, aku juga akan keluar dari tempat ini!" sambar Melati sambil mengambil Tupperware yang sudah kosong. Dia terdiam sesaat."Tunggu apa lagi? Cepat keluar?""Dia belum membayar."Santi langsung merogoh isi tasnya dan memberikannya beberapa lembar uang merah."Ini kebanyakan! harganya semua cuma tiga puluh ribu.""Anggap saja ini sebagai pengganti atas perilaku murahan kamu tadi dan supaya kamu tidak kembali ke sini lagi."Melati langsung melempar uang itu ke meja."Saya tidak serendah itu. Bahkan harga diriku lebih mahal dari semua kekayaanmu! tahu ka
"Silakan duduk Tuan, Maaf gubuk kami begini adanya," kata Sapto penuh hormat. Pria itu takluk dengan aura kewibawaan yang dibawa Dani."Jangan panggil saya Tuan. cukup Dani saja.""Dani?" Sapto melongo, kemudian melirik ke anak balita yang dipanggulnya.Dani menoleh ke arah anak itu. Sedari tadi, dia hanya terfokus dengan Sapto yang mengajaknya bicara daripada memperhatikan anak kecil yang mengerling polos.Lukisan wajah yang serupa. Dani seperti melihat pantulan dirinya di masa kecil. Bagaimana anak itu bisa mirip sekali dengannya?Sapto lebih terheran-heran. Dia baru menyadari kalau wajah pahlawan yang baru saja menolong keluarga mereka itu sama persis dengan anaknya. bisa dibilang kembar identik. Terlebih nama mereka yang hampir sama, cuma berbeda awalan pra saja. Namun, Sapto berusaha menepis pikiran yang tidak-tidak. Ini hanya kebetulan, begitu hatinya menyakinkan."Salim dulu sama Om Dani." ujar Sapto sambil mendekatkan anaknya.Dani yang masih terpaku lantas mengulurkan tangann
Pintu gerbang villa itu terbuka lebar menyambut kedatangan sang Tuan. Tidak berapa lama ketika mobil mewah itu terhenti, keluarlah Dani bersama dengan Melati. Penjaga villa yang sudah menutup gerbang beringsut mendekati tuan-nya begitu dirinya dipanggil."Malam ini kamu tidak perlu menjaga villa. pulanglah," perintah Dani. Sekilas penjaga villa itu melirik ke arah Melati. Kalau sudah begini, dia tahu apa yang akan dilakukan Tuannya. Namun, wajah wanita itu sepertinya tidak asing di ingatannya. "Baik, Tuan." Pria berumur empat tahun itu mundur selangkah, kemudian berlalu dari hadapan mereka.Dani meninjau Villa bergaya Victorian dengan kenangan yang melekat disana. Saat dia memadu kasih dengan seseorang dan berjanji akan menikahinya. Namun siapa sangka, jika takdir menyeretnya ke realita yang pahit. Sang Kekasih dibunuh oleh segerombolan mafia.Kini, dia datang bersama dengan kembaran Agni, Yang sangat dia yakini sebagai sosok Agni yang Amnesia. Meski hasil pemeriksaan dokter yang dia