" Mau tidak mau, terima saja Yuli sebagai madumu. Dia sedang hamil anak suamimu, artinya anakmu juga. Jangan membantah dan durhaka pada suami!" Ujar sang mertua tanpa memikirkan perasaan sang menantu.
"Bagaimana mungkin seorang ibu dengan begitu mudah meminta menantunya untuk menerima madunya? Jika ibu di posisi aku apa ibu tetap akan menerimanya?" Tanya Mirna kepada sang mertua "Seharusnya kamu sadar jika diri kamu sendiri yang tidak bisa menjadi wanita sesungguhnya dan memberikan keturunan untuk suami kamu. Sedangkan suami kamu sangat ingin memiliki seorang anak, kamu tidak boleh egois,Mirna!" Ujar sang mertua Air mata kembali keluar membasahi pipi yang belum juga kering, Dirinya tidak dapat menerima akan ucapkan sang mertua,namun dirinya juga tidak dapat menghindar dari hinaan bahwa dirinya belum mampu memberikan keturunan untuk sang suami. Padahal di awal pernikahan mereka begitu harmonis, pernikahan karena pasangan tersebut sama-sama saling cinta satu sama lain. Namun sebuah kecelakaan mobil mengambil semua kebahagian pasangan muda itu, Mirna yang sedang mengandung anak pertamanya harus mengalami keguguran di usia kandungan delapan bulan. Yang lebih parah Dokter menyatakan Mirna tidak dapat mengandung kembali, karena kecelakaan tersebut mengakibatkan cedera dalam rahim. Sejak kejadian itu Mirna kehilangan semangat hidupnya dan terus saja menyalahkan dirinya sendiri. Sementara Devan yang seharusnya sebagai seorang suami menemani dan menyemangati Mirna agar dapat melewati hari-hari beratnya justru ikut menyalahkan dirinya. Bahkan perlakuan Devan dan keluarganya makin hari makin berubah, selain terus menyalahkan Mirna akan kejadian naas tersebut mereka juga mengatai Mirna sebagai wanita pembawa sial. Devan memperlakukan Mirna seperti barang yang sudah tidak ada manfaat untuk dirinya bahkan dirinya juga tidak pernah menafkahi sang isteri. Sampai satu hari seorang teman yang mengetahui keadaan Mirna mengajaknya untuk bekerja di negeri orang, dia berharap sang sahabat dapat melupakan kesedihannya disana. Mirna tidak langsung menerimanya karena takut Devan tidak menyetujuinya namun perkiraannya salah, Devan justru sangat mendukung keinginan Mirna bahkan sang suami kembali memperlakukan Mirna dengan baik seolah sang isteri begitu berharga.Dirinya yang bodoh masih belum menyadari jika suami dan keluarga nya hanya ingin memanfaatkan dirinya saja. Selama bekerja di negeri orang dirinya kerap dimintai sang suami sejumlah uang dengan berbagai alasan, alasan yang sering dipakai adalah untuk biaya pengobatan sang mertua yang sakit-sakitan, biaya perbaikan rumah, biaya sekolah adik ipar bahkan sampai biaya cicilan mobil yang tidak pernah Mirna setujui.Padahal Mirna sendiri memiliki beberapa kebutuhan pribadinya namun dirinya lebih mendahulukan kepentingan sang suami yang justru kini mengkhianati dirinya dan memilih bersama wanita lain.Setelah dua tahun mengadu nasib di negeri orang Mirna berpikir untuk kembali ke kampung halamannya, pikirannya yang sangat polos menganggap sang suami akan senang akan kepulangannya namun kenyataan berkata lain dia justru di minta untuk menerima keberadaan madunya dirumahnya sendiri. "Aku tetap tidak bisa menerimanya, lebih baik kamu ceraikan saja aku," ujar Mirna sembari menghapus air matanya. "Ya sudah, mas Devan ceraikan saja dia!" Ucap Yuli sembari memberikan tatapan cemooh untuk Mirna "Jangan menyesali ucapan kamu itu,Mirna" Devan memperingati. "Kamu yang akan menyesal,mas! ceraikan aku dan keluar kalian dari rumah ini!" Ujar Mirna " Kamu yang seharusnya keluar dari rumah ini karena rumah ini milik aku, Mirna!" Sengit Devan "Apa kamu bilang? Aku yang susah payah membayar semua biaya pembangunan rumah ini sampai selesai dan sekarang kamu ingin mengakui rumah ini sebagai milik kamu?" Tanya Mirna tidak percaya dengan sifat pria yang dia nikahi. "Asal kamu tahu rumah ini dibangun diatas tanah milik keluarga aku? Lebih tepatnya diatas tanah milik ibu!" Ujar Devan.Mata Mirna membelalak dia tidak percaya jika sang suami mengungkit masalah tersebut, memang benar rumah tersebut dibangun diatas tanah milik sang mertua, dirinya tidak pernah berpikir jika semuanya akan berakhir seperti ini. "Kamu jangan keterlaluan Devan! Meskipun rumah ini dibangun diatas tanah milik ibu tapi aku yang menanggung semua biaya pembangunannya,aku yang bekerja banting tulang sampai rumah ini bisa berdiri!" Sengit Mirna"Itu masalah kamu sendiri, Mirna! Jika kamu merasa keberatan untuk meninggalkan rumah ini kamu bisa tidur di kamar belakang sana! Yang jelas aku,ibu dan juga Yuli berhak untuk tinggal disini!" Ujar sang suami tak tahu malu."Aku tidak percaya betapa bodohnya aku bisa menikahi laki-laki iblis seperti diri kamu ini!" Geram Mirna "Maka dari itu terima saja Yuli jadi madumu, lagi pula kamu juga tidak ada tempat yang kamu tuju jadi lebih baik kamu disini saja, kamu bisa membantu Yuli merawat anaknya nanti." Ujar sang mertua. "Ternyata pepatah bilang buah yang jatuh itu tidak jauh dari pohonnya itu sangat benar sekali, sifat dan kelakuan anak itu cerminan dari orang tuanya jadi aku tidak heran kenapa Devan bisa memiliki sifat seperti iblis." Sengit Mirna ke ibu mertuanya kemudian menarik koper yang dia lempar tadi." Baiklah aku akan pastikan kalian akan menyesal meminta aku untuk tinggal bersama kalian." Gumam Mirna dalam hati, diapun berlalu begitu saja dari sana meninggalkan perkumpulan iblis.Mendengar ucapan terakhir Mirna membuat sang mertua naik pitam dan menatap tajamnkepada sang menantu, sebenarnya dirinya juga khawatir jika Mirna harus tinggal dalam satu rumah dia takut putranya akan tertimpa sial kembali seperti yang sudah-sudah." Bu,kenapa ibu memaksa perempuan itu untuk tinggal disini? jika untuk membantu aku merawat anak dikandungan ini, kita bisa membayar pengasuh," ujar Yuli sang madu yang tidak setuju jika harus tinggal bersama Mirna dia lebih suka Mirna diusir." Untuk apa kamu masih harus membayar pembantu lagi, kita manfaatkan saja Mirna yang tak berguna itu." Jawab sang mertua.Setelah Reza dan Aira pergi, Mirna kembali sibuk dengan kegiatan di stand rotinya, tersenyum dan bersiap melayani beberapa pelanggan yang mulai mengantre. Namun, tak disangka, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi marah tiba-tiba datang ke stand Mirna sambil membawa sekantong roti. "Apa-apaan ini? Roti ini ada lalatnya!" seru wanita itu dengan suara nyaring, membuat pengunjung lain menoleh ke arahnya. Ia mengangkat roti yang sudah setengah dimakan, memperlihatkan bagian dalamnya yang penuh jamur dan lalat kecil yang masih melekat. Mirna tertegun, wajahnya seketika pucat. "Ibu... maaf, mungkin ada kesalahpahaman," ujarnya gugup, mencoba menenangkan wanita tersebut. Namun, wanita itu tidak memperdengarkan penjelasan Mirna dan justru mengangkat suara, "Kesalahpahaman? Ini tidak bisa dimaafkan! Bagaimana kamu bisa menjual makanan kadaluwarsa seperti ini?!" Beberapa pengunjung yang sedang mendekat tiba-tiba ragu. Mereka mulai saling berbisik, melirik stand Mirna dengan tatapan cur
Mirna tertegun ketika menyadari siapa anak kecil itu. "Aira? kamu Aira kan?" Tanya Mirna begitu sudah berada dihadapan anak berusia lima tahun ituAira menoleh dia berusaha mengingat-ingat wajah Mirna. Wajahnya tampak lega begitu dia ingat dengan wajah Mirna. "Tante Mirna!" serunya. Mirna mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan. sementara itu petugas sekuriti yang berdiri di samping anak tersebut menoleh saat melihat Mirna mendekat. "Ibu, apa Anda mengenal anak ini?"Mirna menanguk dan mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan."Iya, pak. Dia anak dari teman saya. Bagaimana anak ini bisa sama bapak? tanya Mirna. Petugas sekuriti itu menoleh pada ibu yang berdiri disampingnya. "Ibu ini menemukan anak ini menangis mencari ayahnya. Karena kami belum menemukan ayahnya kami bermaksud membawa anak ini ke kantor dulu supaya bisa lebih aman. Di sana kami bisa jaga dia dengan baik sambil mencari jalan terbaik untuk m
Yuli tersenyum sinis, menatap Devan dengan kekecewaan. "Perceraian? Kalau aku mau, aku pasti sudah pergi jauh begitu saja tanpa harus menjalani proses perceraian. Asal kamu ingat,mas. pernikahan kita tidak pernah terdaftar secara sah.Jadi aku bisa pergi kapan saja." Devan mengepalkan tangannya, matanya merah penuh kemarahan. "Jadi maksud kamu apa? Aku tidak pernah memaksa kamu untuk masuk ke dalam hidupku, kamu sendiri yang menginginkan hal itu."Yuli mendengus, menggeleng pelan sambil memandang Devan dengan tatapan tajam. "Tidak memaksa? Kamu, mungkin tidak memaksa secara langsung, tapi kamu, terus-terusan datang dengan sejuta janji manis, bahkan kamu berjanji jika aku mau menjadi bagian dari hidupmu, kamu akan menjadikan hidupku tiada beban. Sekarang apa? semua janji itu hilang entah ke mana."Devan terdiam, merasa perkataan Yuli menampar harga dirinya. "Tapi kamu juga jangan lupa, kamu sendiri yang awalnya menggoda aku lebih dulu. Ingat tidak ada kucing yang menolak ikan." sengit
Setelah Mirna menghubungi Tiara, Reza dan Mirna berjalan berdampingan menuju restoran favorit Mirna yang tidak jauh dari pengadilan. Wajah Mirna tampak lebih ceria dari biasanya. “Kita kemana? Apa ada tempat yang spesial yang harus kita datangi?” tanya Reza sambil tersenyum. Mirna mengangguk. “Ada restoran kecil dekat taman, disana tempatnya tenang dan makanannya enak-enak. Kak Reza dan Tiara pasti suka.” Setibanya di restoran, mereka memilih meja di sudut yang menghadap ke taman. Tak lama, Tiara datang dengan senyum yang tak kalah antusias. “Hari ini aku yang traktir, kalian pesan apa saja yang kalian suka,” Ucap Mirna. Tiara tersenyum. "Baiklah, kamu jangan menyesal karena aku akan memilih menu yang paling mahal." Goda Tiara. Reza tertawa kecil. “Setuju! kita harus memilih yang paling mahal. Mereka akhirnya memesan beberapa menu andalan dari restoran tersebut. Saat makanan datang, mereka bertiga mulai makan sambil bercanda, di tengah-tengah obrolan mereka, Reza bertanya den
Saat Mirna sampai di depan kost, ia melihat sosok Reza berdiri menunggu di bawah lampu jalan yang remang. Langkah Mirna melambat, dan sejenak ia terdiam, memperhatikan Reza yang tampak sabar menanti dengan sebuah tas kecil di tangannya. Wajah Reza yang biasanya tenang terlihat sedikit letih, tapi senyumnya muncul begitu melihat Mirna mendekat. “Akhirnya kamu sampai juga,” ujar Reza lembut, matanya memancarkan kehangatan yang seolah menghapus semua kelelahan Mirna. Mirna tersenyum, meski hatinya terasa campur aduk. “Maaf kalau membuat Kak Reza menunggu lama. kenapa kak Reza mendadak kemari?" tanyanya, tanyanya agar bisa mengesampingkan pertemuannya dengan Devan yang mengusik perasaannya. "Ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani, dan ini," Reza menyerahkan tas kecil yang dibawanya. “Aku ke Bandung beberapa hari lalu, Jadi, aku bawakan oleh-oleh untuk kamu. Mirna mengintip ke dalam tas itu dan menemukan berbagai macam jajanan khas Bandung, Ia tertawa kecil, merasa terharu
Setelah keluar dari gedung pengadilan dan meninggalkan sang ibu. Dengan langkah berat Devan berjalan menuju tempat dimana mobilnya terparkir, bayangan wajah kecewa dari sang ibu terus terlintas di pikirannya. Begitu ia duduk di dalam mobil, ia menghela napas panjang, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan diri. Ocehan sang ibu yang mengkritik keputusannya terngiang di telinganya membuat perasaan bersalahnya kembali muncul. " Apa keputusan aku ini sudah benar?" Batin.Devan bertanya. Devan terdiam sesaat, kemudian meraih ponselnya dan bermaksud untuk menghubungi ibunya, tapi ia ragu dan berhenti. “Tidak, keputusan aku ini sudah tepat. Aku lelah jika masalah ini tak kunjung selesai.” gumamnya, sambil memandang ponsel di tangannya. Keraguan itu masih ada, tetapi ia tahu bahwa perasaan ingin bebas dari pernikahan yang penuh konflik ini lebih kuat daripada bayangan kekecewaan ibunya Ibu Devan pulang dari persidangan dengan wajah penuh kemarahan.Ia mendapati Yuli yang menunggu di ruang