Suara teriakan Devan ternyata membangunkan sang mertua yang sudah terlelap sedari awal.
"Ada apa lagi,Devan? Apa perempuan mandul itu membuat ulah lagi?" Teriak sang mertua dari dalam kamarnya. "Tidak apa-apa,bu! aku cuma bilang Mirna untuk tidak pulang larut malam setiap harinya tapi dia malah membangkang!" ujar Devan pada ibu nya.Akibat kepolosan Mirna dalam hal percintaan yang membuat Mirna mau menikah dengan laki-laki seperti Devan yang suka mengadu kepada ibunya entah itu masalah besar ataupun kecil sehingga sang ibu selalu saja ikut campur dalam permasalahan rumah tangga mereka.Padahal dengan postur wajah yang dimiliki Mirna dia seharusnya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Devan."Biarkan saja,Devan! Mau ngapain kamu perduli dia mau pulang jam berapa? perempuan seperti dia pasti sudah biasa pulang larut malam, lagi pula perempuan mandul seperti dia mau pulang sampai jam berapa juga tidak akan menghasilkan masalah buat nya," ketus sang mertua. "Tolong berhentilah menghina aku dengan kata wanita mandul,bu!" Pinta Mirna pada sang mertua. "Kenapa memangnya? Memang benar kamu itu wanita cacat yang tidak berguna, wanita tidak jelas asal usulnya dan pembawa sial!" Maki sang mertua"Aku memang tidak sempurna aku juga tidak bisa memberikan keturunan untuk Devan tapi itu bukan berarti ibu bisa menghina aku terus menerus!" Ujar Mirna tidak terima dengan ucapan mertuanya " Kalau kamu tidak terima apa yang ibu katakan maka dengarkan apa yang suami kamu bilang, jangan membuat malu ataupun masalah untuk anakku, jadilah isteri yang baik" Ketus ibu mertua. " Ibu seharusnya mengerti bagaimana perasaan aku, tapi ibu selalu saja membela mas Devan tanpa melihat yang dia perbuat, entah benar atau salah ibu selalu saja membelanya,padahal seharusnya ibu menasehati anak ibu itu untuk menjadi laki-laki yang sebenarnya! Bukan justru menghina aku isterinya." ucap Mirna "Kamu gak usah sok pintar,Mirna! sok ngajarin ibu padahal kamu sendiri saja belum pernah jadi ibu, mana paham kamu!" Ketus ibu mertua"Terserah ibu mau anggap ucapan aku apa, aku mau istirahat, aku capek!" Ujar Mirna meninggalkan mereka begitu saja. Dengan mata yang berkaca-kaca dirinya masuk kedalam kamar miliknya, dia melemparkan tas miliknya kesembarang arah, tubuhnya merosot kelantai kamar begitu saja dengan sorot mata yang hampa dirinya membawa pikirannya larut dalam kesedihan yang mendalam melayang jauh mencari jawaban akan nasib dirinya kedepan.Hari tetap terus berjalan Mirna masih berusaha untuk tetap tinggal satu atap dengan mereka semua, hingga tidak terasa kehamilan Yuli sudah mendekati hari persalinannya, Devan bertindak sebagai suami yang siaga demikian dengan mertua yang sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu yang sudah dia nantikan. Tapi siapa sangka hari persalinan yang semakin dekat tidak di ikuti dengan persiapan yang baik, apalagi persiapan keuangan yang cukup saat persalinan nanti.Mirna yang baru saja selesai memasak tiba-tiba saja dimintai sejumlah uang untuk biaya persalinan." Mirna, pinjamkan aku uang," ujar Devan dengan wajah memelasnya"Aku sudah tidak punya uang,mas!" Ketus Mirna begitu saja"Kamu pasti bohong!" Ketus Devan " Untuk apa aku bohong! Memangnya uang itu mau buat apa? Kamukan masih bekerja masa iya kamu bekerja tapi tidak menghasilkan uang? Pakai saja uang kamu sendiri!" sengit Mirna tak mau kalah. "Aku harus segera membawa Yuli ke rumah sakit sekarang juga,Mirna! jawab Devan " Tapi itu urusan kamu,mas! kamu sudah tahu Yuli akan melahirkan seharusnya kamu mempersiapkan hal itu jauh hari," Jawab Mirna dengan sinis. Tanpa mereka sadari perdebatan mereka kembali terdengar oleh ibu mertuanya. "Ada apa lagi ini? Makin hari rumah ini makin tidak ada tenang nya tiap hari selalu saja ada keributan." Mertuaku tiba-tiba keluar dari kamarnya menatap tajam kearah Mirna seolah perkataannya ditujukan untuk Mirna seorang. " Ya mau bagaimana lagi rumah yang dibagun hasil dari sabotase mana mungkin bisa berkah!" Batin Mirna bicara."Aku harus membawa Yuli ke rumah sakit bu, dia sudah mau melahirkan," Devan menjelaskan. "Kalau begitu cepat bawa Yuli ke dokter,kenapa malah kalian berduaan?" Ketus sang mertua"Kami bukan berduaan! Ini anak ibu sudah mau jadi bapak bukannya mempersiapkan biayanya ini malah sibuk minta-minta ke saya," Geram Mirna "Siapa yang minta-minta? Aku bilang pinjam Mirna, nanti begitu ada uang akan aku kembalikan" Sengit Devan. "Hei Mirna, apa kamu benar tidak mau membantu Devan? Sengit mertua yang mulai membela anaknya. Tentu saja Mirna menolak permintaan mertuanya bagaimana bisa dia masih memberikan uang yang susah payah dia dapatkan untuk mereka yang sudah jelas mengkhianati dirinya." Maaf bu, tapi aku sendiri juga sudah tidak punya uang lagi bagaimana mau membantu mereka?" ujar Mirna dengan sopan.Tiba-tiba saja suara teriakan minta tolong terdengar dari kamar utama. " Mas,,," Teriak Yuli"Tolong,,," Suara teriakan Yuli kembali terdengar. Mendengar suara kesakitan Yuli, Devan dengan sigap menghampiri isteri keduanya itu diikuti mertua juga Mirna. "Mas, ayo kita ke rumah sakit sekarang!" Pinta Yuli sembari menahan rasa sakit yang kian menjadi.Devan mengumpat kesal, seharusnya dia mempersiapkan segala hal yang di perlukan saat menyambut kelahiran sang anak tapi dia lebih memilih menghabiskan uang yang ada untuk memenuhi keinginan Yuli saja.Sementara itu Yuli merasa perutnya semakin kesakitan dan tanpa yang lain sadari cairan bening membasahi pangkal paha Yuli.Setelah Reza dan Aira pergi, Mirna kembali sibuk dengan kegiatan di stand rotinya, tersenyum dan bersiap melayani beberapa pelanggan yang mulai mengantre. Namun, tak disangka, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi marah tiba-tiba datang ke stand Mirna sambil membawa sekantong roti. "Apa-apaan ini? Roti ini ada lalatnya!" seru wanita itu dengan suara nyaring, membuat pengunjung lain menoleh ke arahnya. Ia mengangkat roti yang sudah setengah dimakan, memperlihatkan bagian dalamnya yang penuh jamur dan lalat kecil yang masih melekat. Mirna tertegun, wajahnya seketika pucat. "Ibu... maaf, mungkin ada kesalahpahaman," ujarnya gugup, mencoba menenangkan wanita tersebut. Namun, wanita itu tidak memperdengarkan penjelasan Mirna dan justru mengangkat suara, "Kesalahpahaman? Ini tidak bisa dimaafkan! Bagaimana kamu bisa menjual makanan kadaluwarsa seperti ini?!" Beberapa pengunjung yang sedang mendekat tiba-tiba ragu. Mereka mulai saling berbisik, melirik stand Mirna dengan tatapan cur
Mirna tertegun ketika menyadari siapa anak kecil itu. "Aira? kamu Aira kan?" Tanya Mirna begitu sudah berada dihadapan anak berusia lima tahun ituAira menoleh dia berusaha mengingat-ingat wajah Mirna. Wajahnya tampak lega begitu dia ingat dengan wajah Mirna. "Tante Mirna!" serunya. Mirna mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan. sementara itu petugas sekuriti yang berdiri di samping anak tersebut menoleh saat melihat Mirna mendekat. "Ibu, apa Anda mengenal anak ini?"Mirna menanguk dan mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan."Iya, pak. Dia anak dari teman saya. Bagaimana anak ini bisa sama bapak? tanya Mirna. Petugas sekuriti itu menoleh pada ibu yang berdiri disampingnya. "Ibu ini menemukan anak ini menangis mencari ayahnya. Karena kami belum menemukan ayahnya kami bermaksud membawa anak ini ke kantor dulu supaya bisa lebih aman. Di sana kami bisa jaga dia dengan baik sambil mencari jalan terbaik untuk m
Yuli tersenyum sinis, menatap Devan dengan kekecewaan. "Perceraian? Kalau aku mau, aku pasti sudah pergi jauh begitu saja tanpa harus menjalani proses perceraian. Asal kamu ingat,mas. pernikahan kita tidak pernah terdaftar secara sah.Jadi aku bisa pergi kapan saja." Devan mengepalkan tangannya, matanya merah penuh kemarahan. "Jadi maksud kamu apa? Aku tidak pernah memaksa kamu untuk masuk ke dalam hidupku, kamu sendiri yang menginginkan hal itu."Yuli mendengus, menggeleng pelan sambil memandang Devan dengan tatapan tajam. "Tidak memaksa? Kamu, mungkin tidak memaksa secara langsung, tapi kamu, terus-terusan datang dengan sejuta janji manis, bahkan kamu berjanji jika aku mau menjadi bagian dari hidupmu, kamu akan menjadikan hidupku tiada beban. Sekarang apa? semua janji itu hilang entah ke mana."Devan terdiam, merasa perkataan Yuli menampar harga dirinya. "Tapi kamu juga jangan lupa, kamu sendiri yang awalnya menggoda aku lebih dulu. Ingat tidak ada kucing yang menolak ikan." sengit
Setelah Mirna menghubungi Tiara, Reza dan Mirna berjalan berdampingan menuju restoran favorit Mirna yang tidak jauh dari pengadilan. Wajah Mirna tampak lebih ceria dari biasanya. “Kita kemana? Apa ada tempat yang spesial yang harus kita datangi?” tanya Reza sambil tersenyum. Mirna mengangguk. “Ada restoran kecil dekat taman, disana tempatnya tenang dan makanannya enak-enak. Kak Reza dan Tiara pasti suka.” Setibanya di restoran, mereka memilih meja di sudut yang menghadap ke taman. Tak lama, Tiara datang dengan senyum yang tak kalah antusias. “Hari ini aku yang traktir, kalian pesan apa saja yang kalian suka,” Ucap Mirna. Tiara tersenyum. "Baiklah, kamu jangan menyesal karena aku akan memilih menu yang paling mahal." Goda Tiara. Reza tertawa kecil. “Setuju! kita harus memilih yang paling mahal. Mereka akhirnya memesan beberapa menu andalan dari restoran tersebut. Saat makanan datang, mereka bertiga mulai makan sambil bercanda, di tengah-tengah obrolan mereka, Reza bertanya den
Saat Mirna sampai di depan kost, ia melihat sosok Reza berdiri menunggu di bawah lampu jalan yang remang. Langkah Mirna melambat, dan sejenak ia terdiam, memperhatikan Reza yang tampak sabar menanti dengan sebuah tas kecil di tangannya. Wajah Reza yang biasanya tenang terlihat sedikit letih, tapi senyumnya muncul begitu melihat Mirna mendekat. “Akhirnya kamu sampai juga,” ujar Reza lembut, matanya memancarkan kehangatan yang seolah menghapus semua kelelahan Mirna. Mirna tersenyum, meski hatinya terasa campur aduk. “Maaf kalau membuat Kak Reza menunggu lama. kenapa kak Reza mendadak kemari?" tanyanya, tanyanya agar bisa mengesampingkan pertemuannya dengan Devan yang mengusik perasaannya. "Ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani, dan ini," Reza menyerahkan tas kecil yang dibawanya. “Aku ke Bandung beberapa hari lalu, Jadi, aku bawakan oleh-oleh untuk kamu. Mirna mengintip ke dalam tas itu dan menemukan berbagai macam jajanan khas Bandung, Ia tertawa kecil, merasa terharu
Setelah keluar dari gedung pengadilan dan meninggalkan sang ibu. Dengan langkah berat Devan berjalan menuju tempat dimana mobilnya terparkir, bayangan wajah kecewa dari sang ibu terus terlintas di pikirannya. Begitu ia duduk di dalam mobil, ia menghela napas panjang, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan diri. Ocehan sang ibu yang mengkritik keputusannya terngiang di telinganya membuat perasaan bersalahnya kembali muncul. " Apa keputusan aku ini sudah benar?" Batin.Devan bertanya. Devan terdiam sesaat, kemudian meraih ponselnya dan bermaksud untuk menghubungi ibunya, tapi ia ragu dan berhenti. “Tidak, keputusan aku ini sudah tepat. Aku lelah jika masalah ini tak kunjung selesai.” gumamnya, sambil memandang ponsel di tangannya. Keraguan itu masih ada, tetapi ia tahu bahwa perasaan ingin bebas dari pernikahan yang penuh konflik ini lebih kuat daripada bayangan kekecewaan ibunya Ibu Devan pulang dari persidangan dengan wajah penuh kemarahan.Ia mendapati Yuli yang menunggu di ruang