Mirna tersenyum miring setelah selesai merapikan barang-barang miliknya yang akan dia bawa bersama dengannya, Hari ini dirinya memutuskan akan pergi meninggalkan rumah tersebut dia juga akan segera mengurus proses perceraiannya dengan Devan. Cukup sudah dia bersabar menghadapi kelakuan suami dan juga ibu mertuanya tersebut.
Dengan langkah pasti dirinya keluar dari kamar sembari mendorong koper miliknya, entah mengapa rumah yang tiap paginya selalu ramai oleh suara tangisan bayi dan ocehan sang mertua kali ini sangat sunyi dan tenang. Suasana yang tenang seperti itu dimanfaatkan Mirna untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat menemani sarapan Mirna yang terakhir di rumah tersebut. Selang beberapa menit kemudian terdengar suara mesin mobil yang berhenti tepat didepan pagar rumahnya, Mirna sudah dapat menebak jika mobil tersebut adalah taksi online yang belum lama dia pesan melalui ponsel miliknya. Untuk memastikan dugaannya tidak salah Mirna keluar menemui supir yang telah menunggunya. "Selamat pagi bu, pesanan taksi atas nama ibu Mirna?" tanya sopir taksi tersebut. "Benar, tolong tunggu sebentar!" ujar Mirna yang tak lama kemudian sudah kembali sembari mendorong koper dan menenteng beberapa barang lainnya untuk dimasukan kedalam bagasi mobil. Setelah semua barang miliknya dimasukan kedalam bagasi mobil, Mirna kembali kedalam rumah tersebut untuk memastikan tidak ada barang miliknya yang tertinggal, Mirna memandangi dan memperhatikan keadaan rumah dan sekitarnya untuk terakhir kalinya, sebab dia akan kehilangan rumah yang dia bangun dengan susah payah beserta dengan segala kenangan yang ada. Setelah merasa yakin tidak ada yang tertinggal Mirna masuk kedalam mobil dan meminta supir untuk melajukan mobil tersebut. Mobil melaju dengan kecepatan sedang karena kondisi jalan yang tidak baik. Mirna tersenyum miring saat dari arah berlawanan beberapa mobil pemadam kebakaran melintasi taksi yang di tumpangi olehnya. "Sepertinya ada kebakaran dari arah yang tadi kita lewati bu," ucap supir taksi. "Benar pak, sepertinya memang ada kebakaran dari arah yang tadi kita lewati," ucap Mirna membenarkan. Sementara di tempat lain, Devan, ibu, beserta istri keduanya sedang dalam perjalanan kembali ke rumah mereka, namun mereka di buat tercengang karena kondisi jalan yang tidak seperti biasanya, jalan yang biasa mereka lewati tidak begitu ramai sekarang menjadi sangat ramai oleh kerumunan warga sekitar. Kerumunan warga membuat kondisi jalan menjadi sulit untuk di lalui namun tidak ada jalan lain selain tetap melajukan mobilnya secara perlahan, sampai akhirnya Yuli orang yang pertama kali melihat asap hitam membumbung tinggi. "Sepertinya ada kebakaran disana mas!" ucap Yuli sembari menunjuk ke langit dimana asap hitam membumbung tinggi "Benar kata kamu,yul! Sebaiknya aku parkir dan turun disini dan bertanya pada warga," ucap Devan sembari memperhatikan jalan. "Perasaan ibu jadi tidak enak! Kalian lihat itu, asap itu seperti berasal dari arah sekitar rumah kita, apa jangan-jangan yang terbakar adalah rumah kita?" ujar sang ibu. "Jangan bicara sembarangan bu!" Devan memperingati sang ibu. "Cepat hentikan mobil ini! Biar ibu saja yang turun dan bertanya ke warga!" perintah sang ibu dan di sanggupi oleh Devan yang langsung memarkirkan mobilnya di pinggir jalan. Saat mobil berhasil di parkir dengan cepat sang ibu keluar dari mobil disusul oleh Devan, sementara Yuli yang sedang menggendong anaknya yang tertidur hanya dapat menunggu didalam mobil. Seorang warga yang melihat kehadiran Devan dan ibunya itu langsung menghampiri mereka dengan panik "Ya ampun bu Lastri darimana saja ibu?" tanya seorang warga sekaligus tetangga mereka. "Ada apa ini bu? rumah siapa yang kebakaran?" tanya ibu Devan yang bernama Lastri. "Apa bu Lastri tidak tahu jika rumah ibu yang terbakar? ibu lihat saja api itu berasal dari mana!" ujar warga tersebut yang sontak membuat ibu, Devan, dan juga Yuli terkejut. "Tidak mungkin! kamu pasti salah, tidak mungkin rumah aku yang terbakar!" ucap Bu Lastri. "Tidak mungkin bagaimana bu? memang benar rumah ibu yang menjadi sumber kebakaran. Kemungkinan kebakaran terjadi karena kebocoran gas, untung saja kebakaran tidak menyambar ke rumah tetangga yang lain." ungkap tetangga itu. Tidak percaya dengan apa yang dia dengar bu Lastri berlari menerobos keramaian dan mendekati sumber api, sementara Devan berusaha mengejar sang ibu agar tidak mendekati sumber api namun usahanya sia-sia. Bu Lastri baru berhenti ketika melihat sijago merah melalap habis bangunan rumah miliknya. Devan yang tiba setelah sang ibu juga hanya dapat meratapi rumah miliknya karena memang tidak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah dan membiarkan petugas memadamkan api. Selang beberapa menit Devan dikejutkan dengan kondisi sang ibu yang meraung dan berteriak memanggil nama Mirna. "Mirna! Dimana Mirna? ini semua pasti ulah perempuan itu!" teriak sang ibu. Devan baru menyadari memang benar dia tidak menemukan keberadaan istri pertamanya tersebut. "Tenang bu, malu dilihat orang banyak!" ucap Devan yang berusaha menenangkan sang ibu. "Bagaimana ibu bisa tenang, Devan? mau tinggal dimana kita semua jika rumah ini hangus terbakar seperti ini? ini semua pasti ulah istri mandul kamu itu!" "Dia pasti sengaja membakar rumah ini karena kita tidak mau menjual dan mengganti uang nya, ini semua pasti ulah dia! Ibu harus membuat perhitungan dengan istri kamu itu!" Geram ibu Lastri. "Tolong tenang,bu! Jangan seperti ini, biar nanti petugas kepolisian yang mengusut penyebab kebakaran ini jangan asal menuduh!" ujar Devan. "Dasar bodoh kamu! ini semua pasti ulah dia, cepat kamu hubungi dia dan suruh dia datang kemari! Dasar perempuan pembawa sial, perempuan mandul tidak tahu diri! awas saja kalau aku ketemu kamu!" Geram bu Lastri.Setelah Reza dan Aira pergi, Mirna kembali sibuk dengan kegiatan di stand rotinya, tersenyum dan bersiap melayani beberapa pelanggan yang mulai mengantre. Namun, tak disangka, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi marah tiba-tiba datang ke stand Mirna sambil membawa sekantong roti. "Apa-apaan ini? Roti ini ada lalatnya!" seru wanita itu dengan suara nyaring, membuat pengunjung lain menoleh ke arahnya. Ia mengangkat roti yang sudah setengah dimakan, memperlihatkan bagian dalamnya yang penuh jamur dan lalat kecil yang masih melekat. Mirna tertegun, wajahnya seketika pucat. "Ibu... maaf, mungkin ada kesalahpahaman," ujarnya gugup, mencoba menenangkan wanita tersebut. Namun, wanita itu tidak memperdengarkan penjelasan Mirna dan justru mengangkat suara, "Kesalahpahaman? Ini tidak bisa dimaafkan! Bagaimana kamu bisa menjual makanan kadaluwarsa seperti ini?!" Beberapa pengunjung yang sedang mendekat tiba-tiba ragu. Mereka mulai saling berbisik, melirik stand Mirna dengan tatapan cur
Mirna tertegun ketika menyadari siapa anak kecil itu. "Aira? kamu Aira kan?" Tanya Mirna begitu sudah berada dihadapan anak berusia lima tahun ituAira menoleh dia berusaha mengingat-ingat wajah Mirna. Wajahnya tampak lega begitu dia ingat dengan wajah Mirna. "Tante Mirna!" serunya. Mirna mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan. sementara itu petugas sekuriti yang berdiri di samping anak tersebut menoleh saat melihat Mirna mendekat. "Ibu, apa Anda mengenal anak ini?"Mirna menanguk dan mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan."Iya, pak. Dia anak dari teman saya. Bagaimana anak ini bisa sama bapak? tanya Mirna. Petugas sekuriti itu menoleh pada ibu yang berdiri disampingnya. "Ibu ini menemukan anak ini menangis mencari ayahnya. Karena kami belum menemukan ayahnya kami bermaksud membawa anak ini ke kantor dulu supaya bisa lebih aman. Di sana kami bisa jaga dia dengan baik sambil mencari jalan terbaik untuk m
Yuli tersenyum sinis, menatap Devan dengan kekecewaan. "Perceraian? Kalau aku mau, aku pasti sudah pergi jauh begitu saja tanpa harus menjalani proses perceraian. Asal kamu ingat,mas. pernikahan kita tidak pernah terdaftar secara sah.Jadi aku bisa pergi kapan saja." Devan mengepalkan tangannya, matanya merah penuh kemarahan. "Jadi maksud kamu apa? Aku tidak pernah memaksa kamu untuk masuk ke dalam hidupku, kamu sendiri yang menginginkan hal itu."Yuli mendengus, menggeleng pelan sambil memandang Devan dengan tatapan tajam. "Tidak memaksa? Kamu, mungkin tidak memaksa secara langsung, tapi kamu, terus-terusan datang dengan sejuta janji manis, bahkan kamu berjanji jika aku mau menjadi bagian dari hidupmu, kamu akan menjadikan hidupku tiada beban. Sekarang apa? semua janji itu hilang entah ke mana."Devan terdiam, merasa perkataan Yuli menampar harga dirinya. "Tapi kamu juga jangan lupa, kamu sendiri yang awalnya menggoda aku lebih dulu. Ingat tidak ada kucing yang menolak ikan." sengit
Setelah Mirna menghubungi Tiara, Reza dan Mirna berjalan berdampingan menuju restoran favorit Mirna yang tidak jauh dari pengadilan. Wajah Mirna tampak lebih ceria dari biasanya. “Kita kemana? Apa ada tempat yang spesial yang harus kita datangi?” tanya Reza sambil tersenyum. Mirna mengangguk. “Ada restoran kecil dekat taman, disana tempatnya tenang dan makanannya enak-enak. Kak Reza dan Tiara pasti suka.” Setibanya di restoran, mereka memilih meja di sudut yang menghadap ke taman. Tak lama, Tiara datang dengan senyum yang tak kalah antusias. “Hari ini aku yang traktir, kalian pesan apa saja yang kalian suka,” Ucap Mirna. Tiara tersenyum. "Baiklah, kamu jangan menyesal karena aku akan memilih menu yang paling mahal." Goda Tiara. Reza tertawa kecil. “Setuju! kita harus memilih yang paling mahal. Mereka akhirnya memesan beberapa menu andalan dari restoran tersebut. Saat makanan datang, mereka bertiga mulai makan sambil bercanda, di tengah-tengah obrolan mereka, Reza bertanya den
Saat Mirna sampai di depan kost, ia melihat sosok Reza berdiri menunggu di bawah lampu jalan yang remang. Langkah Mirna melambat, dan sejenak ia terdiam, memperhatikan Reza yang tampak sabar menanti dengan sebuah tas kecil di tangannya. Wajah Reza yang biasanya tenang terlihat sedikit letih, tapi senyumnya muncul begitu melihat Mirna mendekat. “Akhirnya kamu sampai juga,” ujar Reza lembut, matanya memancarkan kehangatan yang seolah menghapus semua kelelahan Mirna. Mirna tersenyum, meski hatinya terasa campur aduk. “Maaf kalau membuat Kak Reza menunggu lama. kenapa kak Reza mendadak kemari?" tanyanya, tanyanya agar bisa mengesampingkan pertemuannya dengan Devan yang mengusik perasaannya. "Ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani, dan ini," Reza menyerahkan tas kecil yang dibawanya. “Aku ke Bandung beberapa hari lalu, Jadi, aku bawakan oleh-oleh untuk kamu. Mirna mengintip ke dalam tas itu dan menemukan berbagai macam jajanan khas Bandung, Ia tertawa kecil, merasa terharu
Setelah keluar dari gedung pengadilan dan meninggalkan sang ibu. Dengan langkah berat Devan berjalan menuju tempat dimana mobilnya terparkir, bayangan wajah kecewa dari sang ibu terus terlintas di pikirannya. Begitu ia duduk di dalam mobil, ia menghela napas panjang, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan diri. Ocehan sang ibu yang mengkritik keputusannya terngiang di telinganya membuat perasaan bersalahnya kembali muncul. " Apa keputusan aku ini sudah benar?" Batin.Devan bertanya. Devan terdiam sesaat, kemudian meraih ponselnya dan bermaksud untuk menghubungi ibunya, tapi ia ragu dan berhenti. “Tidak, keputusan aku ini sudah tepat. Aku lelah jika masalah ini tak kunjung selesai.” gumamnya, sambil memandang ponsel di tangannya. Keraguan itu masih ada, tetapi ia tahu bahwa perasaan ingin bebas dari pernikahan yang penuh konflik ini lebih kuat daripada bayangan kekecewaan ibunya Ibu Devan pulang dari persidangan dengan wajah penuh kemarahan.Ia mendapati Yuli yang menunggu di ruang