"Kamu jangan sombong Mirna, walaupun rumah ini dibangun menggunakan uang kamu tapi rumah ini berada diatas tanah milik ibu, kalau saja tidak ada tanah milik ibu belum tentu dengan uang kamu yang pas-pas an itu bisa membangun rumah dengan luas seperti ini!" Sengit Devan.
"Karena aku menggerti rumah ini berada diatas tanah milik ibu kamu makanya aku minta kamu menjualnya dan hasil penjualan kamu bagi jadi dua, aku rasa ini solusi yang terbaik! Aku juga perlu uang untuk melanjutkan hidup aku." ujar Mirna "Ada apa ini? Kamu mau minta ibu untuk menjual rumah ini dan memberikan kamu uang hasil penjualan rumah ini? Iya begitu?" Tanya sang mertua yang tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka bersama dengan Yuli. Mirna memutar bola matanya dengan malas saat tahu ibu mertuanya mulai ikut campur. "Bukan memberikan hasil penjualan rumah keseluruhan untuk aku, tapi di bagi dua sesuai dengan harga tanah dan bangunan tersebut," ucap Mirna menjelaskan. "Memangnya kenapa harus dijual dan dibagi dua?" Tanya ibu mertua. Mirna menghembuskan nafasnya sebelum menjawab pertanyaan dari mertuanya tersebut, sebenarnya Mirna malas bicara dengan ibu mertuanya itu karena dia bisa menebak bahwa tidak akan mudah bicara dengan ibu mertuanya itu. "Karena aku sudah memutuskan untuk berpisah dari Devan dan pergi dari rumah ini, kalau ibu tanya kenapa harus dijual dan dibagi dua karena aku juga memiliki hak atas rumah ini setengah rumah ini, tapi jika ibu atau anak ibu sanggup mengganti uang yang saya gunakan untuk membangun rumah ini maka ibu tidak perlu menjual rumah ini, cukup kembalikan saja uang milik saya." ucap Mirna "Dengar Mirna, jika kamu ingin pergi maka pergi saja tapi jangan kamu mengganggu rumah ini, ibu tidak akan menjual rumah ini, karena tanah ini adalah warisan turun temurun dari ayah Devan dan akan diwariskan untuk keturunan berikutnya." Ucap ibu mertua. "Mudah sekali ibu bicara, aku yang bekerja susah payah agar bisa membangunnya sekarang kalian tinggal menikmatinya! Enak sekali hidup kalian! kalau tidak mau menjual setidaknya ganti uang yang ku pakai untuk rumah ini!" Sengit Mirna. Sang mertua memalingkan wajahnya kesamping dia tidak dapat membantah ucapan Mirna sepatah katapun, karena memang apa yang Mirna ucapkan adalah hal yang sudah sewajarnya, tapi orang seperti dia akan lebih mementingkan kepentingan nya sendiri. "Mbak! jangan tidak sopan bicara sama ibu," ucap Yuli yang tiba-tiba ikut menyela pembicaraan Mereka. "Diam kamu! aku tidak ada urusan sama kamu! asal kamu tahu saja semua ini karena kehadiran kamu di rumah ini! Tapi tidak apa-apa setidaknya kamu sudah membantu aku menghilangkan benalu dalam hidup aku!" Ketus Mirna. "Benar, saya sadar jika semua masalah yang terjadi di rumah ini adalah karena keberadaan saya, tapi saya benar-benar mencintai mas Devan dan tidak terpikir akan menyakiti hati mbak Mirna, apa tidak bisa kita hidup rukun sebagai satu keluarga di rumah ini?" Ucap Yuli. Mirna menatap Yuli dengan tatapan tidak percaya, tidak mungkin seorang pelakor yang biasanya bersikap tidak baik secara tiba-tiba mengakui kesalahan dan meminta maaf pasti ada niat tersembunyi dari wanita licik seperti itu. Baru saja Mirna hendak menjawab tapi ibu mertua lebih dulu membela Yuli. "Buat apa kamu menyalahkan diri kamu sendiri Yuli? dia yang salah yang tidak bisa melayani suami dan memberikan keturunan wajar saja jika Devan menikah lagi!" ketus Ibu mertua "Tapi bu, kasihan mbak Mirna jika dia harus pergi dari sini, bukankah mbak Mirna tidak memiliki siapa-siapa lagi? dia mau pergi kemana nanti? lebih baik mbak Mirna tetap tinggal disini bersama kita," ujar Yuli. Mirna menyunggingkan bibirnya karena dia sudah tahu kemana arah tujuan mereka memintanya untuk tetap tinggal disana, mereka akan memperlakukan Mirna selayaknya seorang pembantu saja. "Kamu dengar ucapan Yuli barusan? dia mengkhawatirkan kamu dan meminta kamu untuk tetap tinggal disini, sedangkan kamu hanya memikirkan diri kamu sendiri saja." ketus sang mertua Mirna berbalik dan menatap tajam wajah ibu mertua yang justru membela Yuli yang seorang pelakor dibanding dirinya sebagai menantu sahnya. "Maaf bu, saya memang tidak bisa jadi manusia yang bermuka dua! lagipula apa maksud ibu membandingkan Yuli dengan saya? saya heran bagaimana bisa ibu bisa lebih membela seorang pelakor dari pada istri sah! Apa mungkin ibu itu dahulunya juga seorang pelakor?" sengit Mirna. Mendengar ucapan Mirna sang mertua tidak terima dengan ucapan Mirna, wanita tua itu mengangkat satu tangannya untuk melayangkan satu tamparan namun Mirna dengan cepat menahan tangan wanita tua itu. "Cukup,bu! Sebaiknya ibu tidak menginjak saya lagi karena saya tidak akan diam seperti dulu!" ujar Mirna "Dasar wanita tidak tahu diri, dinasehati selalu saja melawan! Pergi kamu dari sini dan jangan pernah kembali! Terserah kamu mau ngapain diluar sana yang jelas rumah ini milik aku, dan kamu tidak berhak apapun! kalau kamu mau bangunan ini ambil saja kalau bisa!" Ujar ibu tertawa lebar dengan nada yang mengejek. "Oh, saya rasa itu ide yang bagus, akan saya pertimbangkan ide ibu itu, dan ibu jangan menyesal." jawab MirnaSetelah Reza dan Aira pergi, Mirna kembali sibuk dengan kegiatan di stand rotinya, tersenyum dan bersiap melayani beberapa pelanggan yang mulai mengantre. Namun, tak disangka, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi marah tiba-tiba datang ke stand Mirna sambil membawa sekantong roti. "Apa-apaan ini? Roti ini ada lalatnya!" seru wanita itu dengan suara nyaring, membuat pengunjung lain menoleh ke arahnya. Ia mengangkat roti yang sudah setengah dimakan, memperlihatkan bagian dalamnya yang penuh jamur dan lalat kecil yang masih melekat. Mirna tertegun, wajahnya seketika pucat. "Ibu... maaf, mungkin ada kesalahpahaman," ujarnya gugup, mencoba menenangkan wanita tersebut. Namun, wanita itu tidak memperdengarkan penjelasan Mirna dan justru mengangkat suara, "Kesalahpahaman? Ini tidak bisa dimaafkan! Bagaimana kamu bisa menjual makanan kadaluwarsa seperti ini?!" Beberapa pengunjung yang sedang mendekat tiba-tiba ragu. Mereka mulai saling berbisik, melirik stand Mirna dengan tatapan cur
Mirna tertegun ketika menyadari siapa anak kecil itu. "Aira? kamu Aira kan?" Tanya Mirna begitu sudah berada dihadapan anak berusia lima tahun ituAira menoleh dia berusaha mengingat-ingat wajah Mirna. Wajahnya tampak lega begitu dia ingat dengan wajah Mirna. "Tante Mirna!" serunya. Mirna mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan. sementara itu petugas sekuriti yang berdiri di samping anak tersebut menoleh saat melihat Mirna mendekat. "Ibu, apa Anda mengenal anak ini?"Mirna menanguk dan mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan."Iya, pak. Dia anak dari teman saya. Bagaimana anak ini bisa sama bapak? tanya Mirna. Petugas sekuriti itu menoleh pada ibu yang berdiri disampingnya. "Ibu ini menemukan anak ini menangis mencari ayahnya. Karena kami belum menemukan ayahnya kami bermaksud membawa anak ini ke kantor dulu supaya bisa lebih aman. Di sana kami bisa jaga dia dengan baik sambil mencari jalan terbaik untuk m
Yuli tersenyum sinis, menatap Devan dengan kekecewaan. "Perceraian? Kalau aku mau, aku pasti sudah pergi jauh begitu saja tanpa harus menjalani proses perceraian. Asal kamu ingat,mas. pernikahan kita tidak pernah terdaftar secara sah.Jadi aku bisa pergi kapan saja." Devan mengepalkan tangannya, matanya merah penuh kemarahan. "Jadi maksud kamu apa? Aku tidak pernah memaksa kamu untuk masuk ke dalam hidupku, kamu sendiri yang menginginkan hal itu."Yuli mendengus, menggeleng pelan sambil memandang Devan dengan tatapan tajam. "Tidak memaksa? Kamu, mungkin tidak memaksa secara langsung, tapi kamu, terus-terusan datang dengan sejuta janji manis, bahkan kamu berjanji jika aku mau menjadi bagian dari hidupmu, kamu akan menjadikan hidupku tiada beban. Sekarang apa? semua janji itu hilang entah ke mana."Devan terdiam, merasa perkataan Yuli menampar harga dirinya. "Tapi kamu juga jangan lupa, kamu sendiri yang awalnya menggoda aku lebih dulu. Ingat tidak ada kucing yang menolak ikan." sengit
Setelah Mirna menghubungi Tiara, Reza dan Mirna berjalan berdampingan menuju restoran favorit Mirna yang tidak jauh dari pengadilan. Wajah Mirna tampak lebih ceria dari biasanya. “Kita kemana? Apa ada tempat yang spesial yang harus kita datangi?” tanya Reza sambil tersenyum. Mirna mengangguk. “Ada restoran kecil dekat taman, disana tempatnya tenang dan makanannya enak-enak. Kak Reza dan Tiara pasti suka.” Setibanya di restoran, mereka memilih meja di sudut yang menghadap ke taman. Tak lama, Tiara datang dengan senyum yang tak kalah antusias. “Hari ini aku yang traktir, kalian pesan apa saja yang kalian suka,” Ucap Mirna. Tiara tersenyum. "Baiklah, kamu jangan menyesal karena aku akan memilih menu yang paling mahal." Goda Tiara. Reza tertawa kecil. “Setuju! kita harus memilih yang paling mahal. Mereka akhirnya memesan beberapa menu andalan dari restoran tersebut. Saat makanan datang, mereka bertiga mulai makan sambil bercanda, di tengah-tengah obrolan mereka, Reza bertanya den
Saat Mirna sampai di depan kost, ia melihat sosok Reza berdiri menunggu di bawah lampu jalan yang remang. Langkah Mirna melambat, dan sejenak ia terdiam, memperhatikan Reza yang tampak sabar menanti dengan sebuah tas kecil di tangannya. Wajah Reza yang biasanya tenang terlihat sedikit letih, tapi senyumnya muncul begitu melihat Mirna mendekat. “Akhirnya kamu sampai juga,” ujar Reza lembut, matanya memancarkan kehangatan yang seolah menghapus semua kelelahan Mirna. Mirna tersenyum, meski hatinya terasa campur aduk. “Maaf kalau membuat Kak Reza menunggu lama. kenapa kak Reza mendadak kemari?" tanyanya, tanyanya agar bisa mengesampingkan pertemuannya dengan Devan yang mengusik perasaannya. "Ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani, dan ini," Reza menyerahkan tas kecil yang dibawanya. “Aku ke Bandung beberapa hari lalu, Jadi, aku bawakan oleh-oleh untuk kamu. Mirna mengintip ke dalam tas itu dan menemukan berbagai macam jajanan khas Bandung, Ia tertawa kecil, merasa terharu
Setelah keluar dari gedung pengadilan dan meninggalkan sang ibu. Dengan langkah berat Devan berjalan menuju tempat dimana mobilnya terparkir, bayangan wajah kecewa dari sang ibu terus terlintas di pikirannya. Begitu ia duduk di dalam mobil, ia menghela napas panjang, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan diri. Ocehan sang ibu yang mengkritik keputusannya terngiang di telinganya membuat perasaan bersalahnya kembali muncul. " Apa keputusan aku ini sudah benar?" Batin.Devan bertanya. Devan terdiam sesaat, kemudian meraih ponselnya dan bermaksud untuk menghubungi ibunya, tapi ia ragu dan berhenti. “Tidak, keputusan aku ini sudah tepat. Aku lelah jika masalah ini tak kunjung selesai.” gumamnya, sambil memandang ponsel di tangannya. Keraguan itu masih ada, tetapi ia tahu bahwa perasaan ingin bebas dari pernikahan yang penuh konflik ini lebih kuat daripada bayangan kekecewaan ibunya Ibu Devan pulang dari persidangan dengan wajah penuh kemarahan.Ia mendapati Yuli yang menunggu di ruang