Share

Bab 4 Panggil saya Nyonya!

Ha   ha   ha ... Makan tuh. Aku tertawa jahat melihat ekspresi wajahnya. Rasanya puas sekali, niat ingin menjadi nyonya pupus seketika.

   "Apa gak salah, saya tidur disini?" tanyanya seraya menunjuk ke dalam kamar. Mungkin dia nggak sadar dengan ucapannya barusan.

   Aku mengernyitkan dahi. "Maksud kamu?"

   "Ma–maksud aku, apa ini gak kekecilan. Aku 'kan harus tidur dengan ibuku," ucapnya gelagapan. Dia pikir aku tidak tahu apa isi kepalanya.

   "Ini sudah cukup besar buat kamu dan ibu kamu. Lagian, ada ya, pembantu menawar pada majikannya." Lika hanya terdiam mendengar jawabanku. Benar-benar mati kutu. Niat hati menyamar jadi pembantu hanya untuk masuk, eh ... taunya jadi pembantu beneran.

   Silahkan berkhayal perempuan busuk. Aku akan menggagalkan semua rencanamu. Jika kau memang menginginkan suamiku, silahkan ambil saja, tapi takkan kubiarkan kau nikmati sepeserpun yang bukan hakmu.

   "Sayang, Mas berangkat ke kantor dulu ya." Tiba-tiba Mas Bagas datang menghampiri ingin pamit. Otakku langsung berkerja, mengeluarkan ide.

   Kupanasi aja ni pelakor, sebagai olahraga perasaan pagi -pagi. Aku tertawa jahat dalam hati. Rasain!

   "Ah ... iya Sayang. Ayo, aku antar ke depan . Ya sudah Mba Lika, saya antar suami saya dulu, kamu bersihkan aja dulu kamarnya. Biar Ibu kamu bisa istirahat," ucapku menyahuti Mas Bagas dan meminta wanita itu memulai pekerjaanya.

   Mas Bagas memeluk bahuku dengan satu tangan. Sengaja aku membalas memeluk pinggang Mas Bagas. Kami berjalan beriringan meninggalkan Lika yang memandang dengan raut wajah tidak suka. Cemburu mungkin. "Rasakan! Di kira menjadi pelakor itu enak," batinku bersorak riang.

   Aku baru keluar kamar. Kulirik jam di dinding menunjukkan jam dua siang. Kayaknya menikmati segelas jus akan membuat kerongkongan segar. Niat hati ingin nyamperin sang pelakor, mau menyuruhnya membuatkan segelas jus mangga, tapi saat sudah berada di depan pintu kamar pembantu, yang berada di dekat dapur, dari arah dapur, aku menangkap ada sosok yang sedang berkutat mengerjakan sesuatu. Segera kusamperin ke sana, mungkin Alika lagi di sana.

   "Loh, kok Bibik ada di sini? Bukannya istirahat, ngapain Bik?" tanyaku, saat melihat Bibik yang ada di dapur, bukan pelakor itu.

   "I–ini Nyonya, saya lagi bikin jus, tadi Nyonya Lika, mmm ... maksud saya Lika, iya Lika minta buatin," ucap si Bibik gugup, dan serta merta menutup mulutnya. Perempuan paruh baya itu salah tingkah, saat menyadari ucapannya yang menyebut Lika dengan sebutan Nyonya.

   "Nyonya? Maksud Bibik? Oh, iya Bibik, jangan panggil saya Nyonya, kesannya seperti istri-istri pejabat aja. Panggil Ibu aja ya, Bik. Kenapa tadi Bibik manggil Lika dengan sebutan Nyonya? Bukankah dia anak Bibik?" tanyaku pura-pura gak tau.

   Bibik gelagapan, mungkin takut ketahuan dan di marahin sama si Lika. Ok baiklah, aku nggak akan bertanya lebih lanjut dulu. Sementara biar aja, pelakor itu menikmati panggilan NYONYA.

   "Kenapa Bibik yang bikinin jus, Lika mana?"

   "Itu Nyah, eh Bu. Lika lagi di kamar."

   Tanpa mendengar jawaban bibik lebih lanjut, kulangkahkan kaki lebar menuju kamar pembantu. Darahku sudah mendidih, darah putih naik sampai ke ubun-ubun. Oh ... dia mau menunjukkan taringnya ya, baiklah!

   Saat sampai di depan kamar, aku langsung membuka pintu dengan kasar, hingga pintunya terbentur ke dinding. Di atas kasur berukuran sedang, Lika yang berbaring santai sedang memainkan gawainya terkejut. Wanita busuk itu langsung melompat kaget, salah tingkah sambil mengelus dada.

   "Sedang apa kamu?" 

   "I–ini Bu. Sa– saya …." Madu Busuk itu menggantung ucapannya. Mungkin bingung, lagi mikir mau memberikan alasan apa.

   "Anak seperti apa kamu ini, hah! Masa kamu menyuruh Ibu kamu yang mengerjakan pekerjaan? Mulai sekarang kamu yang harus melakukan semuanya. Saya nggak mau lihat jika Ibu kamu yang ngerjain. Apa kamu nggak kasihan,"  tukasku. Kulihat Alika mendelik tidak suka. Bodo amat, suruh siapa ngaku pembantu.

   "Tapi Bu, aku–" Ucapannya terhenti, karena aku segera kupotong.

   "Sudah-sudah, gak usah alasan. Saya di sini menggaji kamu bukan untuk bersantai. Lagian sama Ibu sendiri kok begitu, mau jadi anak durhaka kamu." Alika tak bisa berkutik, aku sudah mengetahui semua rencananya. Apapun yang ia lakukan, tidak akan pernah berhasil. Akan kupatahkan.

   "Sekarang bikinin saya jus mangga. Jangan terlalu manis, ya. cepetan, saya tunggu di depan." Lika terpaksa menuruti permintaanku. Mau ngadu ke Mas Bagas, silahkan, toh aku taunya dia pembantu. Tak salahkan jika kusuruh-suruh. 

   Jam menunjukkan pukul 17:30 sore, ketika mobil Mas Bagas memasuki halaman rumah. Aku sengaja memperlambat keluar dari kamar, ingin melihat apa yang akan mereka lakukan dibelakangku.

   "Mas sudah pulang," ucap Lika menyambut di depan pintu. Kulihat kepalanya celinguk-celinguk kesana-kemari. Mencari keberadaanku mungkin.

   Baru aja dia mengulurkan tangan, ingin menggapai tas kerja Mas Bagas, aku langsung menampakkan wujudku. Madu busuk itu terlihat kesal. Kasian sekali.

   "Kamu sudah pulang, Mas," sapaku dari belakang. Lika cemberut melihat kehadiranku di antara mereka. Cepat ia menarik tangannya kembali dengan sedikit kasar.

   "Loh, kamu kenapa di sini? Tugas kamu tuh, di dapur. Bukan menyambut majikannya pulang. Masuk sana!" ucapku sinis. Aku ingin menunjukkan kalau aku nggak suka dengan caranya. Sempat kulihat matanya melotot ke arah Mas Bagas, suami kami, tapi Mas Bagas bersikap cuek.  "Sukurin," batinku ketawa jahat.

   "Mas, kamu ke kamar ya, mandi. Terus istirahat, aku mau ke dapur nyiapin buat makan malam," ucapku pada Mas Bagas suamiku. Pria itu mengangguk lalu masuk ke dalam kamar kami.

   Sebenarnya, aku ke dapur hanya mau mengawasi Lika, karena dia pasti akan menyuruh bibik yang akan mengerjakan pekerjaannya. Takkan kubiarkan sedikit pun ia menikmati sebagai nyonya di rumahku. Dikira bisa menikmati tinggal nyaman di rumah ini, setelah ia mengambil suamiku. Tidak akan kubiar!  Nikmati status nyonya mu di dunia khayalan. Karena di dunia nyata kau adalah pembantuku.

   Kulangkahkan kaki menuju dapur, tapi tak kudapati Lika di sana. Mataku liar mencari keberadaannya, sambil menajamkan telinga. Ternyata dia sedang duduk di teras belakang.

   "Kurang ajar kau, Dewi ... liat aja, aku akan membalasmu." Di balik pintu dapur, dapat kudengar suara Lika mengumpat marah. Emang aku pikirin. Makanya berpikir dulu sebelum mengambil yang bukan milikmu. Lagi-lagi aku tertawa jahat dalam hati.

   Dengan sedikit berteriak, aku berpura-pura memanggilnya. Lalu mendekat ke bibir pintu.

   "Loh, kok kamu malah santai disini. Ayo sana siapkan menu buat makan malam. Biasanya bapak habis magrib sudah harus makan," ucapku dengan nada perintah, lalu berbalik pergi meninggalkannya.

   "Iya Dewi ... iya." Masih bisa kudengar dia memanggil namaku dengan sebutan Dewi, tanpa embel-embel Ibu di depannya. Walaupun suaranya sangat pelan, tapi masih terdengar jelas

   "Apa? Kamu sebut apa saya barusan? Panggil saya Nyonya. Saya ini majikan kamu. Paham!" Aku sedikit membentaknya, dan menekan pada sebutan Nyonya, biar dia tau, siapa dia dan siapa aku. 

   Sesaat kulirik sekilas padanya sebelum melangkah. Dapat  kulihat muka wanita itu memerah. Mungkin malu, karena harga dirinya kuinjak. Atau mungkin marah, tapi masa bodo aku tak peduli. Toh dia sudah dengan tidak sopannya masuk dan mengganggu rumah tanggaku. 

   Dasar madu busuk. Berlagak sekali dia. Dia pikir bisa seenaknya padaku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status