Ha ha ha ... Makan tuh. Aku tertawa jahat melihat ekspresi wajahnya. Rasanya puas sekali, niat ingin menjadi nyonya pupus seketika.
"Apa gak salah, saya tidur disini?" tanyanya seraya menunjuk ke dalam kamar. Mungkin dia nggak sadar dengan ucapannya barusan. Aku mengernyitkan dahi. "Maksud kamu?" "Ma–maksud aku, apa ini gak kekecilan. Aku 'kan harus tidur dengan ibuku," ucapnya gelagapan. Dia pikir aku tidak tahu apa isi kepalanya. "Ini sudah cukup besar buat kamu dan ibu kamu. Lagian, ada ya, pembantu menawar pada majikannya." Lika hanya terdiam mendengar jawabanku. Benar-benar mati kutu. Niat hati menyamar jadi pembantu hanya untuk masuk, eh ... taunya jadi pembantu beneran. Silahkan berkhayal perempuan busuk. Aku akan menggagalkan semua rencanamu. Jika kau memang menginginkan suamiku, silahkan ambil saja, tapi takkan kubiarkan kau nikmati sepeserpun yang bukan hakmu. "Sayang, Mas berangkat ke kantor dulu ya." Tiba-tiba Mas Bagas datang menghampiri ingin pamit. Otakku langsung berkerja, mengeluarkan ide. Kupanasi aja ni pelakor, sebagai olahraga perasaan pagi -pagi. Aku tertawa jahat dalam hati. Rasain! "Ah ... iya Sayang. Ayo, aku antar ke depan . Ya sudah Mba Lika, saya antar suami saya dulu, kamu bersihkan aja dulu kamarnya. Biar Ibu kamu bisa istirahat," ucapku menyahuti Mas Bagas dan meminta wanita itu memulai pekerjaanya. Mas Bagas memeluk bahuku dengan satu tangan. Sengaja aku membalas memeluk pinggang Mas Bagas. Kami berjalan beriringan meninggalkan Lika yang memandang dengan raut wajah tidak suka. Cemburu mungkin. "Rasakan! Di kira menjadi pelakor itu enak," batinku bersorak riang. Aku baru keluar kamar. Kulirik jam di dinding menunjukkan jam dua siang. Kayaknya menikmati segelas jus akan membuat kerongkongan segar. Niat hati ingin nyamperin sang pelakor, mau menyuruhnya membuatkan segelas jus mangga, tapi saat sudah berada di depan pintu kamar pembantu, yang berada di dekat dapur, dari arah dapur, aku menangkap ada sosok yang sedang berkutat mengerjakan sesuatu. Segera kusamperin ke sana, mungkin Alika lagi di sana. "Loh, kok Bibik ada di sini? Bukannya istirahat, ngapain Bik?" tanyaku, saat melihat Bibik yang ada di dapur, bukan pelakor itu. "I–ini Nyonya, saya lagi bikin jus, tadi Nyonya Lika, mmm ... maksud saya Lika, iya Lika minta buatin," ucap si Bibik gugup, dan serta merta menutup mulutnya. Perempuan paruh baya itu salah tingkah, saat menyadari ucapannya yang menyebut Lika dengan sebutan Nyonya. "Nyonya? Maksud Bibik? Oh, iya Bibik, jangan panggil saya Nyonya, kesannya seperti istri-istri pejabat aja. Panggil Ibu aja ya, Bik. Kenapa tadi Bibik manggil Lika dengan sebutan Nyonya? Bukankah dia anak Bibik?" tanyaku pura-pura gak tau. Bibik gelagapan, mungkin takut ketahuan dan di marahin sama si Lika. Ok baiklah, aku nggak akan bertanya lebih lanjut dulu. Sementara biar aja, pelakor itu menikmati panggilan NYONYA. "Kenapa Bibik yang bikinin jus, Lika mana?" "Itu Nyah, eh Bu. Lika lagi di kamar." Tanpa mendengar jawaban bibik lebih lanjut, kulangkahkan kaki lebar menuju kamar pembantu. Darahku sudah mendidih, darah putih naik sampai ke ubun-ubun. Oh ... dia mau menunjukkan taringnya ya, baiklah! Saat sampai di depan kamar, aku langsung membuka pintu dengan kasar, hingga pintunya terbentur ke dinding. Di atas kasur berukuran sedang, Lika yang berbaring santai sedang memainkan gawainya terkejut. Wanita busuk itu langsung melompat kaget, salah tingkah sambil mengelus dada. "Sedang apa kamu?" "I–ini Bu. Sa– saya …." Madu Busuk itu menggantung ucapannya. Mungkin bingung, lagi mikir mau memberikan alasan apa. "Anak seperti apa kamu ini, hah! Masa kamu menyuruh Ibu kamu yang mengerjakan pekerjaan? Mulai sekarang kamu yang harus melakukan semuanya. Saya nggak mau lihat jika Ibu kamu yang ngerjain. Apa kamu nggak kasihan," tukasku. Kulihat Alika mendelik tidak suka. Bodo amat, suruh siapa ngaku pembantu. "Tapi Bu, aku–" Ucapannya terhenti, karena aku segera kupotong. "Sudah-sudah, gak usah alasan. Saya di sini menggaji kamu bukan untuk bersantai. Lagian sama Ibu sendiri kok begitu, mau jadi anak durhaka kamu." Alika tak bisa berkutik, aku sudah mengetahui semua rencananya. Apapun yang ia lakukan, tidak akan pernah berhasil. Akan kupatahkan. "Sekarang bikinin saya jus mangga. Jangan terlalu manis, ya. cepetan, saya tunggu di depan." Lika terpaksa menuruti permintaanku. Mau ngadu ke Mas Bagas, silahkan, toh aku taunya dia pembantu. Tak salahkan jika kusuruh-suruh. Jam menunjukkan pukul 17:30 sore, ketika mobil Mas Bagas memasuki halaman rumah. Aku sengaja memperlambat keluar dari kamar, ingin melihat apa yang akan mereka lakukan dibelakangku. "Mas sudah pulang," ucap Lika menyambut di depan pintu. Kulihat kepalanya celinguk-celinguk kesana-kemari. Mencari keberadaanku mungkin. Baru aja dia mengulurkan tangan, ingin menggapai tas kerja Mas Bagas, aku langsung menampakkan wujudku. Madu busuk itu terlihat kesal. Kasian sekali. "Kamu sudah pulang, Mas," sapaku dari belakang. Lika cemberut melihat kehadiranku di antara mereka. Cepat ia menarik tangannya kembali dengan sedikit kasar. "Loh, kamu kenapa di sini? Tugas kamu tuh, di dapur. Bukan menyambut majikannya pulang. Masuk sana!" ucapku sinis. Aku ingin menunjukkan kalau aku nggak suka dengan caranya. Sempat kulihat matanya melotot ke arah Mas Bagas, suami kami, tapi Mas Bagas bersikap cuek. "Sukurin," batinku ketawa jahat. "Mas, kamu ke kamar ya, mandi. Terus istirahat, aku mau ke dapur nyiapin buat makan malam," ucapku pada Mas Bagas suamiku. Pria itu mengangguk lalu masuk ke dalam kamar kami. Sebenarnya, aku ke dapur hanya mau mengawasi Lika, karena dia pasti akan menyuruh bibik yang akan mengerjakan pekerjaannya. Takkan kubiarkan sedikit pun ia menikmati sebagai nyonya di rumahku. Dikira bisa menikmati tinggal nyaman di rumah ini, setelah ia mengambil suamiku. Tidak akan kubiar! Nikmati status nyonya mu di dunia khayalan. Karena di dunia nyata kau adalah pembantuku. Kulangkahkan kaki menuju dapur, tapi tak kudapati Lika di sana. Mataku liar mencari keberadaannya, sambil menajamkan telinga. Ternyata dia sedang duduk di teras belakang. "Kurang ajar kau, Dewi ... liat aja, aku akan membalasmu." Di balik pintu dapur, dapat kudengar suara Lika mengumpat marah. Emang aku pikirin. Makanya berpikir dulu sebelum mengambil yang bukan milikmu. Lagi-lagi aku tertawa jahat dalam hati. Dengan sedikit berteriak, aku berpura-pura memanggilnya. Lalu mendekat ke bibir pintu. "Loh, kok kamu malah santai disini. Ayo sana siapkan menu buat makan malam. Biasanya bapak habis magrib sudah harus makan," ucapku dengan nada perintah, lalu berbalik pergi meninggalkannya. "Iya Dewi ... iya." Masih bisa kudengar dia memanggil namaku dengan sebutan Dewi, tanpa embel-embel Ibu di depannya. Walaupun suaranya sangat pelan, tapi masih terdengar jelas "Apa? Kamu sebut apa saya barusan? Panggil saya Nyonya. Saya ini majikan kamu. Paham!" Aku sedikit membentaknya, dan menekan pada sebutan Nyonya, biar dia tau, siapa dia dan siapa aku. Sesaat kulirik sekilas padanya sebelum melangkah. Dapat kulihat muka wanita itu memerah. Mungkin malu, karena harga dirinya kuinjak. Atau mungkin marah, tapi masa bodo aku tak peduli. Toh dia sudah dengan tidak sopannya masuk dan mengganggu rumah tanggaku. Dasar madu busuk. Berlagak sekali dia. Dia pikir bisa seenaknya padaku.Baru saja aku dan Mas Bagas keluar dari kamar. Pagi ini, aku tak menyiapkan sarapan seperti biasa. Karena semuanya sudah dikerjakan sama Lika, sang pelakor. Dari jauh aku melihat, di meja makan, Lika sedang duduk dengan secangkir kopi di depannya. Di tangannya ada selembar roti yang sudah digigit separo. Ia sedang menikmati sarapan dengan dilayani ibu palsunya. Berani sekali wanita busuk ini, sudah terang-terangan berlaku seenaknya di rumahku. Bahkan dia sudah dengan santainya menikmati sarapan lebih dulu dariku dan Mas Bagas, selaku tuan rumah. Benar-benar tak punya etika. Ku langkahkan kaki dengan cepat menuju meja makan. Lika terlihat gelagapan saat menyadari kehadiranku di depannya, tapi seketika madu busuk itu dapat menguasai diri, saat melihat Mas Bagas menyusul di belakangku. "Apa-apaan kamu, Lika. Berani sekali kamu! Dengan santai menikmati kopi dengan dilayani oleh ibumu sendiri. Memangnya kamu siapa di sini? Dasar nggak tau diri, kamu!" ucapku dengan sinis. Sudah ka
Sudah sebulan Lika tinggal di rumahku, tentu sebagai pembantu. Selama itu pula semua pergerakannya dan Mas Bagas berada dalam pantauanku. Aku sudah seperti CCTV, yang selalu aktif. Tak sekalipun kubiarkan mereka memiliki waktu berdua. Meskipun sedikit lelah, karena harus siaga 24 jam, menjaga Mas Bagas, tapi tak apalah, asalkan bisa mencegah hubungan mereka, akan aku lakukan. Bukan karena cemburu ... tidak sama sekali. Sejak aku tau Mas Bagas telah menduakanku, perlahan rasaku padanya terkikis, sedikit demi sedikit memudar. Meski ku akui sulit untuk menghapus semua rasa yang ada, karena walau bagaimanapun, dua tahun bukanlah waktu yang singkat, meskipun juga tidak terlalu lama, tapi aku tidak bodoh. Kewarasanku masih mendominasi. Aku hanya tidak mau mereka bersenang-senang, sebelum urusan Mas Bagas denganku selesai. Setelah kami berakhir, barulah akan kuikhlaskan mereka berdua untuk bersama. Sejak Lika menjadi pembantu di rumahku, waktuku banyak untuk bersantai. Enak ternyata,
Jalan Di Belakangku "Dasar nenek lampir," umpat Lika mengataiku yang masih bisa kudengar sebelum ia berlalu ke dapur. Wanita itu berjalan dengan menghentakkan kaki, tapi bodo amat, aku gak peduli. Berani menggangguku maka siap-siap dengan pembalasan seorang Dewi.Kelakuannya benar-benar serba minim. Entah apa yang di lihat mas Bagas, sehingga menduakanku dengan wanita seperti Lika. Bukannya sombong, tapi wanita yang merusak kebahagian orang lain itu memang bukanlah wanita baik. Sikapku tergantung bagaimana kamu. Jangan berharap kebaikan dariku, jika kamu saja masuk ke istanaku sebagai pencuri. Kau bisa mengambil Mas Bagas, suamiku, tapi jangan berharap bisa menjadi ratu. Karena level seorang ratu berbeda dengan selir. Bak langit dan bumi. "Itu madu kamu?" tanya Sandra setelah menghempaskan bokongnya di sofa ruang tamu. Dari raut wajah, sahabatku itu sepertinya sangat penasaran tentang sosok Lika, si pelakor busuk. Aku yakin wanita berlesung pipi itu juga kurang suka dengan ting
Kamu Ketahuan"Loh itu 'kan bagas." Sandra menunjuk ke arah Mas Bagas dengan jari telunjuknya. Seketika mataku liar mengikuti arah jari Sandra. "Tapi tunggu dulu, ko ada dia sih," ucap sandra sedikit berbisik saat tau siapa yang sedang bersama Mas Bagas. "Sejak kapan dia jalan, kok sampai duluan dari kita," tambahnya lagi. Mungkin sahabatku itu penasaran bagaimana Lika bisa sampai duluan dari kami. Mataku rasanya ingin meloncat keluar bisa-bisanya perempuan busuk ini makan siang bersama suamiku. Meskipum itu juga suaminya. Ingin rasanya berlari ke sana dan menjambak rambut wanita itu. Untung Sandra mencekal tanganku, kalau tidak tamatlah riwayatmu wahai pelakor.Alika .... Tidak habis pikir, Bagas suamiku dan Lika si madu busuk itu sedang menikmati makan siang berdua. So sweet sekali! Perempuan busuk itu terlihat sedang merajuk dengan bimoli nya (bibir monyong lima inci). Sekilas pandang memang tidak ada yang salah karna mereka sepasang suami istri, meskipun hanya nikah siri,
Gugup 'Kan Kamu, Mas!"Sayang, kamu ko di rumah?" ucap lelaki yang masih bergelar suami sahku itu. Terlihat sekali kegugupan di matanya, meskipun ia berusaha terlihat tenang. "Loh emang aku kemana, Mas? Kok kamu nanyanya gitu?" balasku penuh selidik. Aku memicingkan mata menanti jawaban darinya. Pasti Alika bilang, jika aku dan Sandra sedang jalan. Makanya mereka merasa aman. "Oh eng–nggak ko, Sayang," gagapnya. Matanya liar kesana–kemari menghindari mataku. Ketara sekali jika ia sedang ketakutan. "Loh ... kamu kok sama dia, Mas? Kalian habis jalan," tanyaku saat melihat Lika turun dari mobil dengan langkah pelan. Lelaki di depan ku ini gelagapan. Mukanya terlihat pias dengan gakunnya yang naik turun menelan cairan dari mulutnya. Dasar kada*, giliran berbuat aja berani. "Kena kamu Mas. Ayo ... alasan apa lagi yang ingin kamu sampaikan." Dalam hati bersorak riang menunggunya mencari alasan. "Loh ... kamu ko sama dia, Mas? Kalian habis jalan?" tanyaku saat melihat Li
Harga Diri konon!"Kamu ngebelain Lika, Mas? Apa menurutmu, pantas seorang pembantu duduk di kursi depan sama majikannya? Orang yang tidak kenal pasti mengira kalian suami istri!" Mas Bagas seketika menghentikan langkah kakinya. Pria itu kemudian memutar badan menghadapku. Melihatnya berhenti, otomatis langkahku juga terhenti dengan sendiri. Kutatap laki-laki di depanku itu, tapi ia malah memalingkan wajahnya, tidak berani menatapi mataku. Ciri-ciri orang yang sedang berbohong, matanya liar kemana-mana. "Apa'an sih kamu, Sayang. Ya nggaklah! Lagian, tadi aku hanya ketemu di jalan kok sama Alika, nggak jalan bareng." Mas Bagas seakan tidak terima ucapanku, tapi aku tau, itu hanyalah topeng saja. "Loh ... aku 'kan nggak bilang kalian jalan bareng! Santai aja, Mas. Kamu kok gugup gitu sih? Seperti baru ketahuan selingkuh aja." Mata Mas Bagas membulat sempurna, mungkin merasa tertampar. "Sudah, sudah ... makin lama kamu makin ngelantur aja ngomongnya." Mas Bagas melanjutkan la
Bunglon Ketemu Kadal"Ga pa-pa. Nyonya salah dengar!" balasnya dengan menekan nada di kata Nyonya. Aku tertawa dalam hati. "Memang itulah posisi mu, pelakor." Kuambil gelas yang sudah berisi jus mangga pesananku. Ternyata pelakor suamiku ini menurut juga. Duduk di meja makan sambil meminum jus bikinan maduku, mata ini lekat memperhatikan wanita yang sedang melakukan perintah memasak dariku itu. Ia terlihat salah tingkah dengan kehadiranku. Mungkin risih, atau merasa terawasi, tapi mata ini terus saja memandang ke arahnya. Biakan dia merasa terintimidasi, biar kena mental! "Kamu itu niat kerja nggak, sih?" tanyaku dengan nada pelan. Seketika Lika menghentikan gerakannya. "Iya Nyonya," jawabnya malas, lalu melanjutkan gerakan tangannya yang sempat terhenti. "Tapi kalau saya liat, kamu sepertinya tidak ada niatan kerja. Semua kamu lakukan asal-asalan. Apa ada niat lain kamu masuk ke rumahku?" Ucapanku sontak membuat wanita bermata bulat itu membalikan badannya. Menatap
Ternya Mereka Sudah Jauh Melangkah! "Mas, kenapa sih gak jujur aja sama Dewi! Aku ini juga istrimu, Mas! Dewi memperlakukan ku seperti pembantu, dzalim, tapi kamu hanya diam! Aku capek begini terus, Mas!" Suara Lika tertangkap oleh pendengaranku. Wanita itu terdengar membentak suami sirinya "Tunggulah sebentar, Sayang. Aku akan membujuk Dewi supaya mengerti dan mau menerimamu. Kasih Mas mu ini waktu," ucap Mas Bagas terdengar sangat lembut. Kupingku memanas mendengar ucapan pria bajinga* itu. Sampai kiamat pun aku tidak akan pernah menerima Alika. Madu busuk itu tidak akan pernah menjadi madu bagiku. Jika Mas Bagas menginginkannya, maka akulah yang akan mundur. Kuedarkan pandangan mencari tempat aman untuk menguping. Aku harus tau semua yang mereka omongkan, agar bisa mematahkan semuanya. Sakit sekali rasanya hati melihat suami yang sangat di cintai memanggil sayang pada wanita lain. Rasanya tak Sudi lagi sebutan itu ia sematkan padaku. Bersusah payah aku menjaga kesetia