Share

Bab 5 Ingin jadi Nyonya malah jadi Babu

 Baru saja aku dan Mas Bagas keluar dari kamar. Pagi ini, aku tak menyiapkan sarapan seperti biasa. Karena semuanya sudah dikerjakan sama Lika, sang pelakor.

 Dari jauh aku melihat, di meja makan, Lika sedang duduk dengan secangkir kopi di depannya. Di tangannya ada selembar roti yang sudah digigit separo. Ia sedang menikmati sarapan dengan dilayani ibu palsunya. Berani sekali wanita busuk ini, sudah terang-terangan berlaku seenaknya di rumahku. Bahkan dia sudah dengan santainya menikmati sarapan lebih dulu dariku dan Mas Bagas, selaku tuan rumah. Benar-benar tak punya etika.

   Ku langkahkan kaki dengan cepat menuju meja makan. Lika terlihat gelagapan saat menyadari kehadiranku di depannya, tapi seketika madu busuk itu dapat menguasai diri, saat melihat Mas Bagas  menyusul di belakangku.

   "Apa-apaan kamu, Lika. Berani sekali kamu! Dengan santai menikmati kopi dengan dilayani oleh ibumu sendiri. Memangnya kamu siapa di sini? Dasar nggak tau diri, kamu!" ucapku dengan sinis. Sudah kayak pemeran antagonis di sinetron ikan terbang saja.

   Sekilas dia melirik Mas Bagas. Mungkin berharap pembelaan dari suami sirinya itu, tapi sebelum Mas Bagas buka suara, lekas aku dulu yang mulai bicara.  Takkan kubiarkan mereka seenaknya, toh rumah ini atas namaku, bukan Mas Bagas. Meskipun Mas Bagas membelanya tidak masalah, biar sekalian ku usir mereka berdua.

   "Mas, dapat darimana kamu pembantu minim akhlak seperti dia?"  Aku bertanya pada Mas Bagas dengan nada tinggi. Sengaja kubuat tegas di depan Lika. Biar perempuan busuk ini tahu, sedang bermain dengan siapa.

   Mas Bagas tak menjawab pertanyaanku. Pandangannya beralih pada Lika. Mas Bagas menatap Lika dengan tatapan tajam, sorotan matanya seolah mengisyaratkan supaya istri sirinya itu diam. Tapi bukan diam Lika malah merasa tertantang. Ia menatap suami sirinya itu tajam tanpa kedip. Seakan mengisyaratkan supaya segera memberitahu siapa dirinya sebenar.

   "Mas ...!" Alika membentak Mas Bagas, tapi ucapannya mengambang di udara. Sebelum ia melanjutkan omongannya, Mas Bagas memelototi madu busuk itu.

   "Tunggu, tunggu ... kamu tadi bilang apa? Kamu panggil apa suamiku?" tanyaku menyelidik dengan menyipitkan sedikit mataku. Alika menarik sudut bibirnya sebelah seakan mengejek. Dia pikir Mas Bagas akan mengakuinya. Dasar siluman.

   "Mas, baik kamu kasih tau, Dewi. Biar dia ta–" Ucapannya terhenti seketika akibat bentakkan Mas Bagas. Wajahnya merah bak kepiting rebus. Entah malu, atau sedang menahan amarah kerana di bentak suaminya

   "Diam kamu, Alika! Atau saya usir kamu dari sini!" Saking kencangnya herdikan Mas Bagas, seketika Lika terdiam. Matanya mulai berkaca kaca. Emang enak, makanya jangan coba-coba bermain api.

   Aku, jangan ditanya ... tentu saja aku puas, puas sekali. Menyaksikan adegan yang sedang berlangsung, antara dua sejoli, serasa nonton bioskop. Pasti setelah ini mereka akan berantem, lanjut di belakang layar. Siapa yang suruh nyamar jadi pembantu, jangan berharap bisa jadi majikan. Meski sepuluh Bagas sekalipun, tidak akan bisa menjadikanmu ratu di rumah ini. Karena hanya aku ratu satu-satunya di sini, jadi silahkan menjadi ratu di dunia khayalan.

Tontonan ini teramat seru sekali, mengalahkan drakor yang biasa kutonton. Biarlah kusaksikan sebentar saja. Kapan lagi dapat tontonan gratis seperti ini, langsung pula. Bisakah aku tertawa jahat menyaksikannya. 

   Lika melirik ke arahku dengan Lirikan tajam, tak ada rasa takut sama sekali. Seolah ingin mengatakan, bahwa dia bukan pembantu tapi madu. Dasar pelakor tidak berakhlak. Dia pikir bisa bersaing denganku. Tidak sama sekali! Lihat saja, akan kubuat kau merasakan pembalasan sakit hatiku. Meski kau telah mengambil suamiku, tapi jangan berharap bisa berkuasa hanya dengan menjadi istri siri, bisa berlagak dirumah ini? No no no … takkan pernah kubiarkan. Yang ada kau akan merasakan penderitaan, sehingga menyesal telah memasuki kehidupanku.  

   "Sudah sana, kamu terusin tuh kerjaan ibumu. Oh yah, saya tidak mau dengar kamu panggil suami saya dengan sebutan Mas, dasar nggak punya sopan santun,"  cibirku.

   "Bik … Bibik. Udah, Bibik istirahat saja. Biar Lika yang melakukan semuanya," ucapku lagi. Seketika Bibik menghentikan pekerjaannya. Wanita paruh baya itu terlihat serba salah, mungkin sadar kalau Lika juga istri Mas Bagas, majikannya. Apa peduliku, toh di sini ceritanya dia pembantu. "Sudah, Bik … nggak usah merasa nggak enak hati. Di sini ikut aturan saya. Lagian, Lika nggak sopan jadi anak, membiarkan ibunya bekerja."

   Lika melakukan perintahku dengan kasar. Dia sedikit menghentakkan setiap barang yang di pegangannya, sambil sesekali melirik ke a Mas Bagas. Mukanya memerah dan matanya berkaca kaca, mungkin dia berpikir akan duduk di meja ini, sarapan bersama  Mas Bagas, suami sirinya. Jangan harap! Aku nggak peduli, banjir air mata sekalipun, aku tidak peduli. Bagiku melihat penderitaannya adalah kebahagianku. Siapa suruh berani masuk ke rumahku sebagai maling, jangan salahkan aku jika  kubasmi. Karena maling kodratnya memang harus di basmi.

   Aku dan Mas Bagas sarapan dalam diam. Kulirik sekilas pakai ekor mata pada Mas Bagas. Dapat kulihat matanya liar menatap ke arah gundiknya yang sedang kora-kora di dapur.  Sesekali ia melirik ke arahku, mungkin takut kepergok sedang memperhatikan pelakornya. Kunikmati saja sarapan di depan mata, biar saja jika mereka ingin lirik-lirikan. 

   Setelah selesai sarapan, aku berdiri, tapi Mas Bagas masih setia duduk di kursinya. Walaupun sarapannya sudah habis berpindah ke dalam perut. Laki-laki itu seperti enggan beranjak dari duduknya.

   "Mas! Kamu nggak kerja? Ayo … kok malah bengong, sarapannya sudah habis tuh," ucapku sedikit membentak. Mas Bagas langsung tersadar, salah tingkah.

   "Ah, i–iya sayang … a–ayo." Seketika dia menjadi gagap. Lucu sekali kamu Mas. Cemen sekali berani selingkuh, tapi takut mengakui. Kasian sekali kamu Alika.

   "Lika, saya sama bapak sudah selesai. Tolong kamu beresin ini. oh iya, jangan lupa tuh cucian, nanti sekalian  dicuci, ya," ucapku dengan gaya memerintah. 

   Sebelum meninggalkan ruang makan, masih sempat kulihat Lika dan Mas Bagas saling tatap. Mas Bagas menatap istri sirinya itu dengan tatapan bersalah. Sementara tatapan Lika penuh dengan amarah yang dipendam. Aku cuek aja,  kalau kata bunda maya EGP … emang gua pikirin.

   "Tunggu saja kalian. Tunggu sampai aku mendapatkan bukti yang cukup. Setelah itu, baru kulempar kalian berdua, tapi sebelum itu, biar aku menikmati dulu permainan ini." Aku membatinku.

Sebenarnya aku bukanlah orang jahat, tapi Mas Bagas dan Alika sudah merubahku menjadi monster. Rasa sakit yang mereka torehkan sangat dalam, mencabik-cabik jiwa dan raga. Aku bukan menentang poligami, tapi poligami yang dilakukan oleh Mas Bagas, bukanlah berdasarkan syariat, akan tetapi nafsu bejatnya.

Prang! 

Baru saja melewati pintu utama, suara benda jatuh disertai jeritan Alika terdengar dari arah dapur. Entah apa yang terjadi di dalam sana, tapi aku tau, itu hanya akal-akalan Alika menarik simpati Mas Bagas. Jangan harap perempuan busuk.

"Kamu mau ngapain, Mas?" tanyaku saat secara spontan Mas Bagas ingin merangsek masuk. Mungkin pria itu takut istri sirinya kenapa-kenapa. Lebay.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status