Sudah satu bulan lebih Aku berada di Jakarta, kakiku pun sudah dapat berjalan seperti biasa tanpa bantuan kursi roda lagi. Bu Yati dan Pak Danu selalu memperlakukanku dengan sagat baik, bahkan tak segan-segan memarahi temanku, apabila mereka menggangguku.
Kulitku kini tak sehitam dulu lagi, sudah mulai sedikit kuning langsat. Rambutku yang hitam dan panjang setiap hari selalu di sisir dan diikat dua oleh Bu Yati. Bu Yati pun membelikakanku banyak baju dan gaun yang bagus, kini penampilanku sangat berbeda dengan Lastri yang dulu. Tubuhku juga sudah mulai sedikit berisi, karena setiap hari Bu Yati selalu membuatkan susu dan memasakan makanan kesukaanku. Tak lupa Pak Danu membelikanku kue untukku setiap pulang Dinas.
Namun walaūupun Aku hidup bahagia dengan Pak Danu dan Ibu Yati, akan tetapi ada satu hal yang selalu mengganjal pikiranku, yaitu mengenai keberadaan Abah. Hingga suatu hari Bu Yati menanyakan kepadaku mengenai alamat Abah di Jakarta.
"Alhamdulilah Lastri sudah sehat sekarang, dan sesuai sama janji Ibu, kita akan cari Alamat ayah kamu." Terlihat kabut embun membayangi netra Ibu Yati, sepertinya Beliau berusaha keras agar tidak menangis.
"Ibu engga usah sedih, nanti Lastri bilang sama Abah supaya sering-sering ajak Aku main kesini."
"Iya, iya, Ibu percaya kok. Lastri kan anak yang baik,"
"Oh iya, Boleh Ibu liat alamat Ayahmu yang ada di belakang foto? itu lho yg dulu pernah Kanu liatin ke Ibu."
Bergegas Aku berlari menuju kamar, mengambil foto Abah yang kusimpan di bawah bantal. Lalu dengan senang hati Aku memberikan foto Abah kepada Bu Yati.
"Hmmm, alamatnya lumayan jauh dari sini, Bagaiamana kalo besok pagi aja kita kesananya sayang?" ujar Bu Yati setelah melihat alamatnya.
"Iya Bu, engga apa-apa," jawabku, lalu kupeluk erat tubuh Bu Yati. Mungkin diriku terlalu merindukan Ibu, sehingga aku membayangkan bahwa Bu Yati adalah Ibuku yang telah tiada.
___________Hari berganti.
Kini cahaya mentari mulai menyinari bumi, Aku sangat gembira ketika Pak Danu dan Buk Yati mengajakku mencari alamat Ayah. Senyum pun tak pernah lepas dari bibirku, sepanjang perjalanan menuju alamat Abah.Tak terasa dua jam sudah perjalanan kami. Menurut alamat yang ada di foto, seharusnya tempat kerja Abah ada di sekitar daerah ini. Akan tetapi sudah tiga kali kami memutari daerah ini, tidak juga Kami temukan proyek pembangunan perumahan tempat kerja Ayah.
Rasa haus melanda tenggorokan kami. Pak Danu akhirnya menghentikan mobil di dekat penjual es cendol, yang sedang mangkal. Kami semua turun dari mobil, dan duduk di kursi plastik yang sudah disediakan penjualnya.
"Pesan es-nya tiga ya Mang! yang satu es-nya sedikit saja, soalnya buat anak," ucap Pak Danu kepada Penjual es.
"Iya Pak."
"Mang, di daerah sini ada proyek pembangunan perumahan tidak?" tanya Pak Danu kepada penjual es cendol.
"Kalo sekitaran sini, sepertinya tidak ada Pak."
"Oh begitu ya."
"Iya Pak, kalaupun ada jaraknya jauh sekali dari sini." Jawab tukang es cendol sambil memberikan pesanan es kepada kami.
"Kalo alamat ini tau ga Mang?" Bu Yati kemudian memperlihatkan alamat yang ada di foto kepada penjual es.
"Wah saya kurang tau tuh Bu, coba Ibu tanya sama penjual gorengan yang ada di simpang depan, Beliau orang lama disini."
"Iya deh Pak, nanti saya mampir kesitu," ujar Bu Yati.
Kami menikmati es cendol sambil beristirahat sejenak, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan lagi. Kami mencari tukang gorengan yang di maksud oleh tukang es tadi untuk bertanya. Tepat di simpang jalan, kami menemukan warung gorengaan. Kami semua pun turun untuk bertanya.
"Permisi Ibu, mau numpang tanya alamat." ucap Pak Danu sopan, lalu memperlihatkan alamat abah kepada Ibu penjual gorengan.
"Oh kalo alamat ini Saya tau Pak." jawabnya sambil tersenyum ramah.
"Oh ya, dimana Buk?" Tanya Pak Danu tak sabar.
"Itu di depan Pak."
"Di depan?" Pak Danu terlihat mengerenyit heran mendengarnya, begitu pun Aku dan Bu Yati.
Aku bahagia melihat Anak Pakde ku itu hancur, suara tangisan nya ibarat nyanyian yang sangat merdu di telingaku. Aku akan terus mencari tahu tentang Pakde melalui Mas Ilham dan Sri, dan Aku tidak akan membiarkannya tidur tenang setiap malam."Kamu ga salah Sri, hanya saja Aku mencintai kalian berdua""Maafkan aku Sri, aku mohon terimalah Widya sebagai madumu." Mas Ilham berjongkok, mengusap air mata Istrinya sambil menggendong Arya."Jadi Kamu berharap Aku akan merestui kalian berdua?" tanya Mbak Sri nyalang, kedua matanya menatapku dan Mas Ilham bergantian."Iya Mbak, Aku & Mas Ilham saling mencintai, bahkan Mas Ilham & Aku sudah saling mencintai, sebelum Mas Ilham mengenal Mbak." Sengaja Aku jelaskan, agar Mbak Sri tau
Semakin lama suara ketukan itu semakin kuat sehingga terdengar seperti seseorang tersebut sedang berusaha merobohkan pintu. Perlahan Aku berjalan ke arah jendela, dan mengintip dari dalam.Ternyata Mbak Sri alias sepupuku tercinta, yang datang dan melabrakku di kossan. Dia datang sambil menggendong anaknya yg berumur sepuluh bulan, kemudian dengan kurang ajar nya dia menggedor-gedor pintu kosanku.Kukira Dia mau marah-marah atau nyakar-nyakar gitu kayak yang di sinetron ikan terbang.Eeehhhh ternyata pas Aku bukain pintu dia malah pingsan."Baru segini aja udah pingsan," gumamku di dalam hati.Demi melanjutkan rencana balas dendam, dengan sangat terpaksa Aku
Aku berjalan menyusuri ruang, menatap hampa pada kehidupan. Untuk apa Aku berada disini, jika kehadiranku tak dianggap ada. Jika takdir telah memilih jalannya, maka izinkan Aku untuk menikmati setiap langkah yang tertulis.Pagi ini sengaja Aku bangun lebih pagi, untuk sarapan di warung yang berada tepat di depan rumah Mbak Sri. Hanya untuk menikmati pemandangan yang luar biasa, yaaaa di depan sana terlihat Mbak Sri yang sedang terlihat terburu-buru masuk ke mobil sambil menggendong bayinya, sementara Mas Ilham nampak mengejarnya dari belakang.Aku tak mendengar jelas apa yang mereka katakan, hanya saja dari bahasa tubuh mereka Aku bisa menyimpulkan, bahwa mereka sedang ada masalah. Huhhhhh baru segini aja udah seru! Kalo gitu besok Aku bikin masalah yang lebih seru lagi, biar tambah wow.
"Jika malam yang menjadi penghalang, maka izinkan Aku menjadi bintang, agar selalu mampu memeluk bulan di tengah gelapnya malam," jawabnya sambil menatap mataku dalam.Kunikmati suasana malam ini, kuikuti alurnya hingga menghasilkan sedikit kebahagian semu bersamanya. Detik demi detik berlalu, Ia masih memelukku, sedangkan Aku kini telah jauh kembali pada kenangan masa lalu.'Jika Pakde telah membuatku kehilangan orang tua dan Adikku, maka saat ini Aku akan membuat Anaknya kehilangan Suami …!' gumamku di dalam hati."Besok akan ada reuni SMA kita, Mas datang kan?" tanyaku."Mas akan datang, bersama kamu," ujarnya, sambil melepaskan pelukannya dan memandang senja yang kini telah berubah menjadi gelap.
Keesokan harinya Aku pergi ke Butik yang telah diserahkan Mas Randi kepadaku. Mas Randi sebelumnya pernah beberapa kali membawaku kemari, dan memperenalkan Aku kepada semua karyawannya. Sementara di sebelah Butik, Berdiri sebuah Restoran Jepang, yang juga telah diserahkan Mas Randi padaku. Beruntung letak Butik dan Restoran tidak jauh dari kosanku, sehingga hanya dengan memesan Taksi online, Aku bisa langsung sampai ke sana. Ada rasa perih ketika Aku melihat Butik, Biasanya ada Mas Randi yang selalu menemani, namun saat ini Ia telah bahagia menyambut kehidupan baru dengan perempuan lain, sehingga melupakanku. "Selamat Pagi Bu," Sapa salah seorang satpam padaku, ketika Aku sampai. "Pagi juga, ini kunci Butik dan ini kunci Restoran, silahkan dibuka pintunya!" ujarku, sam
"Widya," serunya tertahan.Ternyata dunia ini sempit, Dia yang begitu lama menghilang bak ditelan Bumi tiba-tiba muncul di hadapanku, lebih tepatnya di rumah Pakdeku sendiri. Apakah Mbak Sri adalah istrinya?.Lidahku kelu dan leherku tercekat, sulit sekali mengeluarkan kata-kata, padahal sangat ingin Aku membucahkan segala isi hatiku saat ini, dan melontarkan berbagai pertanyan tentang keberadaannya di rumah ini."Kamu ada disini Widya?" ucapnya sambil menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa di depanku, tatapan matanya menatapku lekat."Aku hanya mencari Kosan, sejak kapan Kamu kembali ke Indonesia Mas?" tanyaku, sembari menunduk berusaha menyembunyikan wajahku, agar Ia tak dapat melihat mendung yang hampir menjatuhkan