"Loh kok malah pada bingung? itu alamatnya di sebrang jalan ini." Ibu penjual gorengan itu kemudian tertawa melihat kami kebigungan.
"Tapi itu kan tanah kosong Buk," Pak Danu terlihat semakin bingung.
"Memangnya Kalian kesini mau cari siapa?"
"Mau cari alamat yang ada di foto ini Buk." jawab Pak Danu sambil menggaruk kepala.
"Iya alamatnya di depan itu, yang punya namanya Pak Abdul orang Cileunyi," Jawab Ibu penjual gorengan tersebut, lalu mempersilahkan kami duduk di warungnnya.
Mendengar nama Pak Abdul, membuat Aku merasa ketakutan dan segera memeluk Bu Yati. Bu Yati sepertinya menyadari bahwa Aku sedang ketakutan, Beliau lalu membawaku duduk di dalam warung dan membalas pelukanku.
"Lastri kenapa?" Tanya Bu Yati heran.
"Abdul itu nama Pakdeku Bu, yang ninggalin Aku di hutan dulu." Aku semakin mengeratkan pelukanku.
"Astaghfirullah Pak!" Bu Yati berteriak tertahan.
"Kayaknya ada sesuatu yang tidak beres ini Buk, atau mungkin juga sudah terjadi sesuatu terhadap Abahnya Lastri." Ujar Pak Danu setengah berbisik. Kemudian Beliau menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya dalam.
"Bu, apakah Ibu mengenal Pak Abdul?" tanya Pak Danu kepada Ibu penjual gorengan tadi.
"Ya kenal Pak, Pak Abdul kalo lagi ngecek kontrakannya, pasti mampir ke sini buat ngopi dan makan gorengan." terangnya, sembari melayani pembeli.
"Pak Abdul punya kontrakan disini Bu?"
"Banyak kontrakannya Pak, malahan ada dua puluhan lebih kayaknya."
"Ohhh gitu, Dimana kontrakannya Bu?"
"Yang itu loh Pak, Yang bagus-bagus dan kelihatan dari sini."
"Oh iya, Bagus-bagus ya Buk."
Setelah melayani pembeli, Wanita bertubuh kecil dan mengenakan jilbab lebar itu lantas mendekati Kami. Ia kemudian mengambil kursi dan duduk di sebelah Pak Danu. "Memangnya Bapak ada perlu apa sama Pak Abdul? nanti Saya sampaikan pada Pak Abdul, Kalau Beliau kemari!"
"Tidak ada apa-apa kok Bu, Saya juga tidak mengenal Pak Abdul, Saya salah alamat kayaknya ini." ujar Pak Danu mengelak.
"Saya pesan gorengan 15 buah ya Bu, buat dibawa pulang." Pak Danu sepertinya sengaja menghindar dari pertanyaan Wanita paruh baya itu.
"Engga makan disini aja Pak, sambil ngobrol-ngobrol?" Ia berkata sambil tersenyum ke arahku dan Bu Yati. Nampaknya Perempuan paruh baya tersebut masih saja berusaha menahan kami.
"Sepertinya anak saya sudah capek ikut keliling nyari alamat dari tadi Bu, jadi kami makan di rumah saja." tukas Bu Yati cepat, lalu buru-buru mengajakku masuk ke mobil.
Setelah membayar gorengan, Pak Danu segera menyusulku dan Bu Yati ke dalam mobil. Beliau nampak terlihat tenang dan membawa mobil dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjanan pulang Kami semua hanya diam tanpa ada sepatah katapun yang keluar. Begitupun diriku, yang semakin terhanyut dalam kenangan bersama Emak, Abah dan Heru di kampung dulu. Tak terasa air mataku mengalir, hingga akhirnya Aku tertidur di pangkuan Bu Yati.
___________Setelah shalat Isya, Pak Danu dan Bu Yati mengajakku duduk di ruang tamu. Aku dapat menangkap gambaran kecemasan dari wajah mereka malam ini.
"Lastri, mulai saat ini Kamu adalah anak Ibu dan Pak Danu, Lastri mau kan?" tanya Bu Yati sambil merangkulku yang duduk di sebelahnya. Suaranya memecah ketegangan yang ada di ruangan ini.
Aku tak dapat menjawab, hanya diam dan membisu, pikiranku saat ini masih berkecamuk tentang Ayah.
"Lastri, apakah Kamu mendengar Pakde atau Paklekmu mengatakan sesuatu saat akan meninggalkanmu di hutan?" Tanya Pak Danu menyelidik.
"Pakde bilang, kalo Bapak sudah tewas dimakan binatang buas Om."
"Sudah Kuduga!" ucap Pak Danu, sambil mengusap dagunya. Beliau lalu menyalakan rokok dan menatap langit-langit rumah.
"Lastri, kemungkinan besar Abah Kamu tidak pernah sampai ke Jakarta, karena telah tewas di mangsa binatang buas di hutan. Om pernah menemukan mayat seorang laki-laki tanpa identitas, saat sedang berpatroli di hutan, kejadiannya sekitar satu tahun yang lalu." Ucap Pak Danu mejelaskan.
"Tidak Om ...!"
"Bukan Abah yang tewas di hutan itu ...!" Pekikku histeris. Tanpa sadar Aku menangis mendengar perkataan Pak Danu.
Aku tidak sanggup mendengar ucapan Beliau, segera aku berlari ke kamar lalu menutup pintu. Aku kemudian membenamkan wajahku ke dalam bantal dan menangis melepaskan semua kesedihanku.
Tentu saja Aku dapat memepercayai apa yang Pak Danu katakan. Beliau adalah seorang Polisi yang tentunya daya pemikirannya dalam menganalisa suatu kasus tidak diragukan lagi.
Terdengar suara pintu kamarku dibuka, Aku melihat Bu Yati masuk ke dalam kamarku. Wanita paruh baya dan bertubuh gemuk itu lantas memelukku yang sedang menangis. Bahkan Beliau pun ikut menangis, hingga ujung jilbabnya basah terkena air dari sudut matanya yang tak berhenti mengalir.
Tak berapa lama, muncullah seorang lelaki paruh baya yang bertubuh jangkung dan berwajah tegas. Jambang disisi kanan dan kiri wajahnya membuatnya semakin berwibawa. Dialah Pak Danu, seorang yang terlihat tegas namum sebenarnya penuh kasih sayang.
"Lastri, Demi menyelamatkan Kamu dari rencana licik Pakdemu, Kami akan mengangkatmu sebagai anak Kami dan mengganti identitasmu!" ucap Pak Danu tegas.
"Kamu jangan sedih ya sayang, Kami akan menggantikan kedua orang tuamu yang telah tiada, kami sayang sama Kamu," bisik Bu Yati tepat di telingaku, disela isak tangisnya yang masih terdengar. Aku menatap wajahnya, mencoba menangkap kesungguhan dari setiap ucapannya, melalui kedua netra-nya yang kini terlihat sembab. Mata itu terlihat membalas tatapanku, seakan menunggu jawaban. "Lastri juga sayang Ibu dan Pak Danu," lirihku, sembari kedua tanganku memeluk Beliau. "Lastri panggilnya sekarang Mama aja ya, dan Pak Danu Lastri panggil Papa," Sebuah senyum terlihat mengembang dari wajah perempuan yang kini menjadi Ibu angkatku. Aku hanya diam tak menjawab, menikmati pelukan seorang Ibu yang sudah lama tak kurasakan. Sejak saat itu Aku memanggil Pak Danu dengan sebutan Papa, Dan panggilan Mama untuk Bu Yati.
Sembilan tahun kemudian.Waktu berlalu begitu cepat, hingga tak terasa 9 tahun sudah berlalu sejak Papa dan Mama pertama kalinya mendaftarkanku sekolah di SD.Kini hanya tinggal dalam hitungan beberapa hari saja lagi Aku berada di SMA, karena setelah ini aku akan bersiap meninggalkan dunia remaja dan perlahan menuju fase kedewasaan. Duniaku akan berubah dari putih abu-abu menjadi lebih berwarna."Widya, setelah lulus nanti apakah Kamu akan kuliah?" Tanya laki-laki tampan dan bertubuh jangkung, yang selama tiga tahun ini menjalin kasih denganku."Oh iya, Kamu tau engga? Papa sudah daftarin Aku untuk kuliah di UI lho!," jawabku penuh semangat, sambil mencubit pipi pria yang duduk di sampingku kini."Oh ya?" Ilham melihatku sekilas, lalu membuang pandangannya kembali ke halaman sekolah."Kamu kenapa? Kok bukannya seneng sih?"Ketusku sambil memanyunkan bibir sepuluh senti."Aku seneng kok.""Terus?" Cecarku tak sabaran."Aku
"Widya sudah selesai belum?" teriak mama dari luar kamar."Bentar lagi Ma." Secepat kilat ku ambil tas diatas meja rias, lalu keluar menyusul mama dan papa yang sudah menunggu di ruang tamu.Hari ini kami akan ke bandara, melepas kepergian Ilham ke luar negeri. Sepanjang perjanan hatiku gundah, takut terlambat datang dan tidak bisa bertemu untuk terakhir kali-nya.Perjalanan yang membosankan menuju bandara akhirnya berakhir juga, kini kami telah sampai. Segera Aku menelpon Ilham, namun ponselnya tidak dapat di hubungi. Aku pun mencari bagian informasi di Bandara untuk bertanya, diikuti oleh mama dan papa di belakangku."Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?" sapa perempuan berhijab yang bekerja di bagian informasi bandara sambil tersenyum ramah.
"Tapi Saya kan Mahasiswi teladan Pak, Kalau saya gagal di hari pertama magang nanti Saya malu dong Pak!""Saya suruh Anda keluar dari ruangan Saya!""Saya janji nggak akan terlambat lagi Pak, jangan pecat Saya magang ya Pak,""Siapa bilang Kamu dipecat?""Kan barusan Bapak yang nyuruh Saya keluar ruangan,""Keluar ruangan Saya, dan pergi ke bagian Informasi, nanti disana ada daftar tugas yang harus Kamu kerjakan selama magang disini,""Terima kasih Pak,""Tapi jangan terlambat lagi, ingat itu!"
"Ayo duduk disini, kita makan bareng," sapa Ibu-ibu yang duduk di meja makan. Mas Randi lantas membukakan satu kursi untukku, aku pun tersenyum manis kepada mereka."Mah, Pah, perkenalkan ini Widya calon Istri Randi," ujar Mas Randi.Tunggu dulu, Whaat? Calon Istri???Bukannya Mas Randi akan mengajakku dinner? Tapi kenapa malah memperkenalkan aku sebagai calon Istrinya? Kata-kata Mas Randi barusan, sungguh membuat keningku berkerut. Mau tak mau aku memaksakan senyum, walaupun sebenarnya bingung."Waahhh, memang pintar kamu memilih calon istri, cantik banget!" ujar Mamanya Mas Randi."Iya dong Ma, selain cantik, Widya ini juga pintar dan banyak membantu perusahaan," tambah Mas Randi sambil menggenggam tanganku
"Kamu kenapa Sayang?" teriak Mas Randi sambil berusaha membuka pintu kamar mandi. "Perutku sakit banget Mas," lirihku sambil menangis di dalam toilet. "Kamu jaga jarak dari pintu, biar Mas dobrak pintunya," Bugh, Bugh, Bugh... Pintu toilet terbuka. "Ya Allah Widya, Kamu kenapa Nak?" teriak Mama Mas Randi histeris. Aku yang sudah sangat lemas menahan sakit di bagian perut, dan ditambah darah yang keluar begitu banyak, membuatku tak dapat menjawab. Mas Randi segera membopongku dan membawaku ke dalam mobil. Perlahan semuanya terlihat gelap, dan aku tidak sadarkan diri.
"Widya," serunya tertahan.Ternyata dunia ini sempit, Dia yang begitu lama menghilang bak ditelan Bumi tiba-tiba muncul di hadapanku, lebih tepatnya di rumah Pakdeku sendiri. Apakah Mbak Sri adalah istrinya?.Lidahku kelu dan leherku tercekat, sulit sekali mengeluarkan kata-kata, padahal sangat ingin Aku membucahkan segala isi hatiku saat ini, dan melontarkan berbagai pertanyan tentang keberadaannya di rumah ini."Kamu ada disini Widya?" ucapnya sambil menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa di depanku, tatapan matanya menatapku lekat."Aku hanya mencari Kosan, sejak kapan Kamu kembali ke Indonesia Mas?" tanyaku, sembari menunduk berusaha menyembunyikan wajahku, agar Ia tak dapat melihat mendung yang hampir menjatuhkan
Keesokan harinya Aku pergi ke Butik yang telah diserahkan Mas Randi kepadaku. Mas Randi sebelumnya pernah beberapa kali membawaku kemari, dan memperenalkan Aku kepada semua karyawannya. Sementara di sebelah Butik, Berdiri sebuah Restoran Jepang, yang juga telah diserahkan Mas Randi padaku. Beruntung letak Butik dan Restoran tidak jauh dari kosanku, sehingga hanya dengan memesan Taksi online, Aku bisa langsung sampai ke sana. Ada rasa perih ketika Aku melihat Butik, Biasanya ada Mas Randi yang selalu menemani, namun saat ini Ia telah bahagia menyambut kehidupan baru dengan perempuan lain, sehingga melupakanku. "Selamat Pagi Bu," Sapa salah seorang satpam padaku, ketika Aku sampai. "Pagi juga, ini kunci Butik dan ini kunci Restoran, silahkan dibuka pintunya!" ujarku, sam