Ara mengembuskan napas perlahan. Kedua orang tua Ara merasa sangat penasaran. Baru kali ini ada panggilan pada ponsel putri mereka. Semenjak istri Revan itu dirawat di rumah sakit ini sangat jarang menerima panggilan telepon."Siapa, Ra?" Haris kali ini sangat penasaran dan Ara langsung menggedikkan bahu."Maaf, nanti akan saya telepon balik, ya. Saat ini saya harus istirahat."Ara langsung mematikan panggilan itu dan meletakkan ponsel di atas meja yang ada di dekat brankarnya. Kedua orang tua Ara sangat penasaran lantas mendekat. Mereka tidak ingin Ara terganggu dengan masalah yang di Jakarta. Haris hanya ingin Ara fokus pada kesembuhan saja tidak lebih."Kenapa langsung ditutup?" tanya Haris dan membuat Ara gugup."Aku lupa kalo belanja online dan sekarang sudah dikirim ke rumah. Bunda Murni sepertinya bingung saat menerima paket itu, makanya kurirnya telepon." Ara berbohong dengan tidak lancar.Kedua orang tua Ara jelas tidak percaya. Hanya saja mereka memutuskan diam. Ada alasan t
Kali ini Gita tidak akan pernah main-main. Ia lelah dengan semua ulah keluarga Adhyatsa. Dendam? Entahlah, Gita memang sedikit ambisius untuk bisa membuat keluarga Adhyatsa dalam masalah besar.Gita akhirnya meninggalkan Revan juga Murni. Sebab, pesawatnya akan berangkat dan Gita tidak mau lagi ketinggalan pesawat. Ia memilih menunda masalahnya terlebih dahulu. Gita harus melihat bagaimana Revan dan Murni setelah ini."Bunda, apa sebelumnya sudah kenal dengan gadis sialan itu?" Revan menatap tajam pada Murni yang kini sedikit gugup.Haruskan menceritakan semua dari awal? Tidak. Murni belum siap sama sekali. Ia tidak mau sang putra membencinya. Teror dari Gita membuat rahasia yang dipendam sekian lamanya harus dibongkar kembali. "Bunda! Jangan diam saja!" Revan kali ini berteriak di tengah keramaian.Murni sangat terkejut mendengar teriakan sang putra.Bukan sekadar teriakan, Revan tampak sangat emosi saat ini. Ia butuh jawaban yang masuk akal. Pasti ada penyebab dibalik sikap Gita se
Adhyatsa kini menatap penuh kebencian pada Murni. Wanita yang dianggap sebagai sumber masalah. Adhyatsa sangat malu karena tidak ada yang memberitahu jika Ara kecelakaan. Rasanya sangat mustahil hal itu terjadi."Jadi, kamu mulai berani, ya?!" Bentak Adhyatsa dengan suara keras penuh amarah. "Bisa-bisanya tidak kasih tahu kalo Ara masuk rumah sakit! Otak kalian di mana? Kamu siap jika Tuan Haris mengakhiri hubungan kerja?" tanya Adhyatsa dengan nada penuh amarah."Be-berani apa? Aku bahkan tidak melakukan apa pun." Murni sangat ketakutan karena laki-laki tua di depannya itu tampak sangat marah."Bagaimana bisa kamu tidak memberitahuku jika Ara masuk rumah sakit! Apa kata Haris Manggala saat kita tidak ada yang datang menjenguk putra mereka?!" Adhyatsa berteriak sangat kencang dan suaranya menggema memenuhi ruangan ini.Teriakan itu terdengar hingga kamar Revan yang baru saja selesai mandi. Gegas suami Ara itu berganti baju dengan cepat. Kakek tua bangka itu pasti sedang mencari masala
Hardi memejamkan mata sejenak sebelum menjawab pertanyaan dari atasannya itu. Revan jelas sedang sangat emosi. Salah menjawab bisa berakibat fatal. Kali ini Hardi sudah siap untuk menjawab."Posisi saham milik Manggala Grup itu delapan puluh persen. Jadi, wajar jika keuntungan yang mereka ambil sama dengan saham yang mereka tanam di perusahaan kita. Dua puluh persen keuntungan itu, hanya cukup untuk membayar uang gaji karyawan. Itu saja kadang masih sangat kurang. Saya dan beberapa kepala bagian sering mendahuluan gaji karyawan." Ucapan Hardi menjadi pukulan telak bagi Revan.Selama ini Revan selalu mengambil gaji setiap bulan tanpa melihat keadaan keuangan perusahaan. Delapan puluh persen saham milik Haris Manggala bukanlah jumlah yang sedikit. Jika mertua Revan menarik saham itu, maka Adhyatsa Grup akan bangkrut seketika. Revan tidak bisa memungkiri hal itu."Di, adakah cara agar kita bisa mengimbangi saham mereka? Aku tidak mau terus menerus bergantung pada orang lain." Revan kali
Inama langsung berdiri setelah melihat tamunya yang datang itu. Entah apa yang diinginkan oleh sosok muda itu datang ke rumah ini. Inama tidak pernah mengusir kedatangannya. Justru sambutan hangat yang selalu diberikan."Ada Hardi, Nak. Jadi, nanti kita lanjutkan lagi obrolannya, ya," kata Inama dengan lembut."Hardi? Asistennya Mas Revan?" tanya Ara sambil berusaha memutar kursi rodanya dengan cepat.Pertanyaan Ara tidak lagi memerlukan jawaban saat ini. Hardi sudah berada di depannya. Asisten Revan itu tampak terkejut melihat keberadaan Ara di rumah ini. Ia pikir, Ara sudah dijemput oleh Revan."Bu Ara, apa kabar?" tanya Hardi dengan sopan."Ara saja. Ini di rumah, Di. Aku nggak nyaman ketika kamu panggil dengan embel-embel, Bu. Bahkan usiaku lebih muda darimu," kata Ara sedikit merajuk pada sosok asisten sang suami.Hardi hanya menggeleng pelan melihat kemanjaan Ara saat ini. Ia memang sengaja menjaga jarak dari Ara karena sebuah hal. Bukan hal yang menyakitkan, hanya saja terlalu
Naga tersenyum angkuh di depan Revan. Ia lantas masuk ke dalam ruangan Revan meski tidak dipersilakan oleh pemilik ruangan ini. Revan memejamkan mata untuk meredam amarah saat ini. Entah berita apa yang beredar di luar sana perihal Ara dan dirinya."Mau apa datang ke sini?" tanya Revan dengan nada dingin."Aku? Mau jenguk Andhara Manggala. Aku mau ajak kamu bareng untuk datang ke rumah Tuan Haris Manggala. Aku yakin, kamu tidak punya nyali untuk datang ke rumah itu." Ucapan Naga tepat sekali dan membuat Revan tidak berani berkutik sama sekali saat ini. "Saat Ara berjuang antara hidup dan mati, kamu sama sekali tidak ada. Ah, terlalu lucu dan klise jika dibahas. Aku tahu, ini pasti ajaran wanita tua sialan itu," kata Naga dan langsung berjalan keluar dari ruangan Revan."Tunggu! Siapa yang kamu maksud wanita tua sialan?" tanya Revan merasa tidak terima.Naga menghentikan langkah dan berbalik badan. Ia tersenyum penuh kemenangan saat ini karena bisa memancing kemarahan Revan Adhyatsa. H
Ara menatap sang suami karena tidak paham dengan ucapannya. Pertanyaan yang mana? Ara tidak mendengar pertanyaan dari Revan. Ara tampak kikuk saat ini."Kamu apa kabar, Ra?" Revan kembali mengulang pertanyaannya kali ini."Baik." Ara menjawab dengan singkat pertanyaan sang suami.Baik hanya yang tampak dari luar saja. Saat ini Ara sedang berperang mati-matian dengan hatinya. Siapkah ia ketika mengetahui fakta jika ternyata Mayang dan Revan masih saling mencintai? Ara tidak bisa berjanji apa pun saat ini."Kita makan saja dulu," kata Inama sambil mempersilakan menantu mereka untuk duduk. Revan mengambil tempat duduk tak jauh dari Ara. Ia berusaha semua tampak alami. Jika biasanya menjauh, kali ini harus berusaha dekat. Revan belum siap jika harus kehilangan Adhyatsa Grup."Ra, biar aku ambilkan nasinya," kata Revan sambil mengambil piring milik Ara.Haris berpura-pura tidak melihat apa yang dilakukan oleh Revan. Ia yakin jika itu hanya akting saja. Realitanya pasti tidak akan seperti
"Ma, aku masih istri sah Mas Revan. Tidak seharusnya aku pulang ke rumah ini. Pasti akan banyak gunjingan. Aku rasa mereka juga takut buat datang ke sini," kata Ara dan membuat Inama berkedip beberapa kali.Inama tidak mungkin bisa membiarkan Ara datang kembali pada keluarga Adhyatsa. Kakek Revan itu adalah salah satu penyebab Panji meninggal dunia. Kecelakaan yang dialami oleh papa Revan adalah rekayasa yang dibuat oleh Adhyatsa. Kakek tua itu menginginkan aset perushaan Adhyatsa Grup."Baiklah. Mama, harus bicarakan ini semua dengan Papa. Lagian kamu masih harus terapi jalan." Alasan yang dibuat oleh Inama sangat logis kali ini."Aku bisa minta ditemani sama Bunda Murni dan Maa Revan. Mas Revan pasti mau, Ma. Aku janji, pernikahan aku dan dia akan baik-baik saja," kata Ara dengan sungguh-sungguh.Baik-baik saja katanya? Tidak, Inama bahkan tahu bagaimana Revan memperlakukan Ara. Mbok Ijah yang setiap saat melaporkan mereka semua. Katakanlah, Mbok Ijah adalah mata-mata yang andal dan