Home / Rumah Tangga / Madu Pilihan Mertua / 03. Biaya Pernikahan

Share

03. Biaya Pernikahan

Author: Miss Yune
last update Last Updated: 2024-07-01 15:29:19

"Ya, Maya. Ibu mohon kamu bisa membantu Ibu untuk membiayai pesta pernikahan Aris dan Wulan," ucap Hani tanpa tahu malu.

"Bu, jangan seperti itu!" Aris mulai membuka suaranya, dia melihat sang istri menahan emosi.

Perkataan Hani seperti menggarami luka di hari Maya. Tidak cukupkah dengan menghadirkan madu di pernikahannya dan Aris? Sekarang ibu mertuanya ingin agar dia membiayai pernikahan mereka?

"Ibu ingat bagaimana pernikahanku dengan Mas Aris dulu? Pernikahan kami jauh dari kata mewah. Seharusnya, ibu tidak menyetujui syarat dari Wulan bila tidak memiliki uang untuk mewujudkannya," ujar Maya dengan berani.

Tidak akan Maya membiarkan Hani semena-mena pada dirinya. Rumah mendiang orang tuanya telah dijual saat awal menikah dulu. Hani beralasan Aris tidak memiliki pekerjaan yang tetap, hingga hasil menjual rumah dibutuhkan untuk membiayai hidup mereka sehari-hari.

"Tapi, Ibu tidak memiliki uang untuk biaya tersebut."

"Lalu, kenapa ibu ingin Mas Aris menikah lagi? Apa ibu siap harus membagi jatah bulanan ibu untuk adik maduku? Jangan ibu lupakan kalau Wulan juga berhak mendapatkan nafkah. Mas Aris harus dapat berlaku adil pada kami seperti janjinya padaku!" balas Maya.

Perkataan Maya membuat Hani tersentak. Selama ini, menantunya itu diam saja dengan pembagian yang tidak adil. Gaji Aris sebesar delapan juta, tetapi Maya hanya mendapatkan tiga juta. Hani sama sekali tidak membantu Maya untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Dia menganggap uang tiga juta adalah nominal yang besar.

Hani baru menyadari kalau dengan kedatangan Wulan akan menjadi masalah. Gaji Aris harus dia bagi lagi dengan Wulan. Tidak bisa lagi dia menguasai sebagian besar gaji anaknya itu.

"Itu akan Ibu pikirkan nanti, Ibu yakin Wulan tidak akan mempermasalahkan jatah bulan. Sekarang, yang menjadi masalah adalah biaya pernikahan Wulan dan Aris. Tolong kamu jual sawahmu di kampung, Maya!" pinta Hani menyingkirkan dulu permasalahan gaji Aris.

"Mengapa Ibu tidak menjual saja perhiasan simpanan Ibu? Atau Ibu bisa menggadaikan rumah ini?" usul Maya disertai dengan senyum di wajah.

Aris terbelalak dengan ucapan Maya, memang dia tidak menyetujui permintaan Hani yang ingin Maya menjual sawahnya. Akan tetapi, tidak mungkin Hani rela menjual perhiasan atau menggadaikan rumah.

"Jangan sembarangan kamu, Maya. Ibu tidak mau perhiasan Ibu dijual apalagi menggadaikan rumah!"

"Ibu tidak mau berkorban untuk pernikahan kedua Mas Aris, bukan? Apalagi aku yang harus menerima madu? Membagi kasih sayang suamiku pada orang lain. Seharusnya, ibu berpikir sebelum memintaku menjual harta bendaku untuk kepentingan Mas Aris! Jadi, aku minta jangan melibatkan aku lagi dalam hal ini," ujar Maya, kemudian berdiri dan melangkah menuju kamar.

"Maya! Berani kamu membantah perkataan ibu! Dasar menantu tidak tahu diri!" Terdengar umpatan sang ibu mertua.

Maya tidak memedulikan hal itu, hatinya sudah sakit dengan semua permasalahan yang terjadi. Dicap mandul oleh ibu mertuanya. Suaminya, Aris tidak bisa menolak permintaan ibunya, hingga membuat dirinya sangat sedih.

Keheningan melanda ketika Maya pergi ke kamar. Pikiran berkecamuk dalam pikiran Aris. Sungguh tega bila dia membebankan pernikahan pada Maya. Aris berpikir untuk mendapatkan solusi untuk biaya penikahannya.

"Bagaimana ini, Aris? Maya tidak mau membantu untuk meringankan beban kita. Kenapa dia tidak mau menjual sawah warisannya?" Hani kebingungan dengan penolakan Maya.

"Bu, sudahlah. Apa ibu tega pada Maya? Hatinya pasti sakit untuk sekadar mengizinkanku menikah lagi. Biarlah aku meminjam uang di kantor. Pasti dengan mudah di ACC mengingat aku tidak pernah meminjam uang," ucap Aris.

"Tapi, kalau kamu meminjam uang di kantor gajimu pasti akan dipotong, bukan?"

"Tentu, Bu. Tiap bulan pasti gajiku akan dipotong untuk membayar pinjaman tersebut," balas Aris dengan dahi yang berkerut.

"Berarti jatah Ibu akan berkurang lagi! Apa tidak ada solusi lain selain meminjam uang di kantor?"

Hani tidak ingin uang yang diberikan oleh sang anak berkurang. Belum lagi, dia harus membaginya lagi dengan Wulan. Pasti akan semakin sedikit uang yang diterima oleh Hani.

"Apa ibu mau menjual perhiasan Ibu atau menggadaikan sertifikat rumah ini?"

Wajah Hani langsung memucat, dia tidak ingin harta benda yang dimilikinya habis begitu saja. Dari dulu, Hani memang sangat culas. Dia tidak pernah mau mengeluarkan uangnya, apalagi untuk biaya pernikahan Aris.

"Tidak! Ibu tidak bisa menjual perhiasan Ibu apalagi menggadaikan sertifikat rumah!" balas Hani dengan tegas.

"Kalau ibu yang menyarankan aku untuk menikah saja tidak mau membiayai pernikahan. Bagaimana dengan Maya yang tersakiti dengan hadirnya Wulan? Sebagai sesama wanita ibu pasti memahaminya," ujar Aris.

Poligami tidak ada dalam kamus hidup Aris. Meskipun, tadi dia sempat terpesona dengan Wulan, tetapi pria itu hanya mencintai sang istri. Sekarang, dia malah terbebani dengan biaya pernikahan mewah yang diinginkan Wulan.

"Lalu, kita harus bagaimana Aris? Ibu tidak memiliki simpanan uang sama sekali," tukas Hani.

"Ke mana sebenarnya uang yang aku berikan selama ini. Bukankah biaya kebutuhan rumah berasal dari jatah bulanan Maya?"

"Kata siapa? Ibu ikut membantu, kok. Terkadang ibu membeli bahan makanan untuk memasak!" bantah sang ibu.

Bantahan Hani tidak membuat Aris simpati. Dia mengetahui dengan jelas kalau Maya menutupi kebutuhan hidup mereka dengan mengandalkan jatah bulanan dari dirinya.

"Baiklah, kalau memang Ibu tidak memiliki uang. Tidak ada pilihan lain, aku harus bertanggung jawab karena ini adalah pernikahanku sendiri. Aku akan meminjam uang di kantor. Jadi, masalah biaya dapat teratasi," ujar Aris.

"Ya sudah kalau begitu, tapi Ibu minta jatah bulanan untuk Ibu harus tetap lebih besar dibandingkan kedua istrimu." Hani menyerah dan menerima keputusan Aris.

"Kita lihat saja, nanti, Bu. Aku akan membicarakan dahulu dengan Maya." Aris bangkit dari duduknya, dia hendak menyusul sang istri yang sudah lebih dahulu menuju kamar.

"Tidak bisa seperti itu! Kamu harus mendiskusikannya dengan Ibu!" tukas Hani.

Aris tetap melenggang meninggalkan Hani yang masih mendumal tidak jelas. Dia ingin pembagian uang gaji Aris tetap seperti biasa. Bagiannya harus lebih besar dibandingkan istri Aris.

Sesampainya di kamar, Aris melihat Maya tidur memunggunginya. Pria itu bergegas naik ke ranjang untuk mendekati sang istri. Isak tangis terdengar ketika Aris berada tepat di belakang Maya.

"Maya, maafkan aku. Tidak ada yang bisa aku lakukan untuk menolak permintaan Ibu," ucap Aris dengan lembut.

"Seharusnya kamu bisa menolak untuk menikahi Wulan, tetapi kamu tidak membantah perkataan Ibu sama sekali. Jangan-jangan, kamu memang memiliki niat untuk menikah lagi!"

"Tidak! Aku sama sekali tidak ada niat untuk menikah lagi. Aku mencintaimu, Maya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang kucintai," ungkap Aris sambil membalikkan tubuh Maya agar mereka saling bertatapan.

"Berjanjilah untuk bersikap adil padaku, Mas!" pinta Maya.

"Ya, Maya. Aku berjanji akan bersikap adil padamu dan Wulan," balas Aris.

Maya menatap Aris dengan sendu. 'Semoga saja kau menepati janjimu, Mas!'

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Madu Pilihan Mertua    74. Kebahagiaan

    "Jadi, Maya hamil?"Suara Hani bergema di ruang tamu yang sepi. Aris duduk di kursi, pandangannya lurus ke depan, namun hatinya seolah terguncang oleh kabar yang baru saja dia dengar. Dia tak bisa mempercayai bahwa Maya—wanita yang pernah ia cintai dan gagal dia pertahankan—sekarang sedang mengandung anak dari Gilang."Iya, Bu. Maya akan punya anak," Aris menjawab lirih, menundukkan kepalanya.Hani yang duduk di sampingnya terdiam sesaat, mencoba memahami perasaan anaknya. Ia tahu, kabar ini bukan hal yang mudah diterima oleh Aris. Bagaimanapun, meski mereka telah lama berpisah, Maya masih meninggalkan jejak yang mendalam di hati Aris. Kini, kenyataan bahwa Maya akan menjadi ibu dari anak pria lain mungkin terasa seperti pukulan telak bagi Aris."Aris," kata Hani lembut, "kamu harus kuat. Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Maya sudah memilih jalan hidupnya, dan kita harus menghormatinya. Apapun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan."Aris mengangguk pelan, meskipun di dalam

  • Madu Pilihan Mertua    73. Kejutan di Awal Kebahagian

    Pagi itu, udara terasa hangat dan tenang di rumah Gilang dan Nissa. Maya sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara pisau yang bergerak cepat di atas talenan mengiringi aktivitas paginya. Dia tersenyum sambil memikirkan hari-harinya bersama Gilang, terutama bulan madu mereka yang penuh kebahagiaan dan tawa. Gilang, dengan segala cinta dan perhatian, selalu membuat Maya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu perubahan besar yang Gilang inginkan. Suatu malam setelah mereka kembali dari bulan madu, di atas ranjang mereka yang nyaman, Gilang memeluk Maya erat dan berbisik, “Sayang, aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku ingin kamu lebih fokus pada kita, keluarga yang akan kita bangun.”Maya tertegun sesaat, menatap Gilang. "Apa kamu benar-benar menginginkannya, Gilang?"“Iya,” jawab Gilang dengan penuh keyakinan. “Aku ingin kamu tidak perlu lagi pusing dengan pekerjaan. Biarkan aku yang menafkahi kita. Kamu bisa beristirahat dan meni

  • Madu Pilihan Mertua    72. Hari Bahagia

    Sebulan kemudian, persiapan pernikahan berjalan dengan cepat. Maya dan Gilang sudah tidak sabar untuk menghalalkan hubungan mereka. Gilang memastikan segala sesuatu tertangani dengan baik, dari dekorasi hingga undangan. Ia ingin hari pernikahannya menjadi momen terbaik dalam hidup mereka.Maya sendiri sibuk dengan persiapan pribadi, memilih gaun dan merencanakan acara bersama sahabat-sahabatnya, termasuk Putri yang selalu setia mendampinginya. Dalam hati, Maya merasa bahagia, meskipun ada rasa takut yang kadang muncul. Bagaimana jika pernikahan ini tidak berjalan sesuai harapan? Bagaimana jika masa lalunya kembali menghantui?Namun, setiap kali rasa khawatir itu muncul, Gilang selalu ada untuk menenangkannya. “Percayalah, Maya. Kita akan bahagia. Ini adalah awal baru untuk kita.”Hari pernikahan semakin dekat, dan semua orang sibuk dengan persiapan. Maya sering kali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, baik di kantor maupun dalam persiapan acara, tetapi itu membuatnya merasa lebih tena

  • Madu Pilihan Mertua    71. Mendapat Restu

    Matahari bersinar cerah ketika Maya tiba di rumah Nissa, perasaan gugup menghiasi langkahnya. Meski hubungan mereka sudah lebih baik, tetap saja, restu dari calon mertuanya adalah langkah besar yang harus ia lewati. Gilang, yang berjalan di sampingnya, meraih tangan Maya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan. “Tenang saja, Maya,” bisik Gilang seraya tersenyum. “Ibu pasti akan merestui kita. Aku yakin.” Maya mengangguk perlahan, meskipun kegelisahan itu masih ada. Dia tahu, restu dari Nissa adalah kunci utama untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hubungannya dengan Gilang. Restu yang selama ini belum sepenuhnya ia dapatkan. Ketika mereka masuk, Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman ramah terulas di wajahnya, namun Maya tetap bisa merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Nissa memang lebih bersikap terbuka belakangan ini, tetapi masalah masa lalu Maya sebagai seorang janda masih menyisakan sedikit kekhawatiran dalam benak ibu Gilang. “Du

  • Madu Pilihan Mertua    70. Berharap Restu

    "Ibu akan memberitahukannya setelah waktunya tepat" ucap Nissa.Nissa meminta Maya dan Gilang untuk bersabar. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk menerima Maya. Oleh karena itu, Nissa masih meminta waktu untuk berpikir tentang restu untuk Maya dan Gilang. Akhirnya, Maya dan Gilang mencoba untuk bersabar. Hingga ada seseorang yang kembali mengusik ketenangan Maya.Langit senja terlihat suram ketika Aris berdiri di depan pintu kontrakan Maya. Dengan napas tertahan, dia menekan bel pintu, berharap Maya akan menerimanya kembali. Meski banyak hal yang telah terjadi, Aris masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Dia tahu betul hubungannya dengan Wulan berakhir tragis, dan kini, pikirannya kembali teringat pada Maya—wanita yang pernah dia cintai dan biarkan pergi. Pintu terbuka perlahan, dan Maya berdiri di sana, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aris?" tanyanya, suaranya terdengar datar, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. Aris m

  • Madu Pilihan Mertua    69. Keputusan Nissa

    Wulan duduk di atas ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap keluar jendela. Hujan deras mengguyur kota, seolah mencerminkan kekosongan di dalam hatinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Kandungannya yang dulu menjadi harapan kini telah tiada. Semua telah lenyap, meninggalkannya dalam kehampaan yang menyakitkan.Pintu kamar perlahan terbuka. Pandu melangkah masuk, wajahnya tampak tegang dan penuh dengan penyesalan. Wulan menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Pandu yang muram."Pandu..." suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Pandu mendekat, berdiri di sisi ranjang, namun ia tidak segera bicara. Hanya keheningan yang terjalin di antara mereka. Tatapan penuh luka di mata Wulan membuat dada Pandu terasa sesak."Aku tidak tahu harus berkata apa," Pandu akhirnya memecah kesunyian, suaranya rendah dan berat. "Aku... sangat menyesal."Wulan menundukkan kepala, mencoba menahan tangis yang sudah tak terhitung jumlahnya. "Kita semua melakukan kesalahan, Pandu," katanya lirih. "Aku ta

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status