"Jadi, dari mana kamu mendapatkan uang untuk membiayai pernikahan yang diminta Wulan?" tanya Maya keesokan harinya.
"Aku akan meminjam uang di kantor," jawab Aris dengan pelan. "Meminjam uang di kantor? Lalu, gajimu akan dikurangi untuk membayar cicilan, Mas?" Maya sangat tidak menyetujui hal ini. Maya berpikir Hani akan merelakan emas atau menggadaikan rumah untuk biaya pernikahan Aris. Hani yang meminta Aris untuk menikah lagi. Seharusnya, dia yang bertanggung jawab untuk menanggung biaya pernikahan Aris dan Wulan. "Ya, bisa dikatakan seperti itu," balas Aris tidak menatap wajah Maya. "Aku tidak mau dikurangi jatah bulanan karena pinjamanmu. Sebenarnya, jatah tiga juta perbulan hampir tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kita. Bagaimana bisa kamu ingin meminjam uang di kantor!" "Habis mau bagaimana lagi? Tidak ada yang dapat Mas lakukan selain meminjam uang di kantor. Ibu tidak mau menjual perhiasannya atau menggadaikan rumah, Maya," jelas Aris pada sang istri. "Ini semua tidak akan menjadi bebanmu bila kamu tidak menyetujui permintaan ibu untuk menikah lagi!" sindir Maya yang masih kesal pada keputusan Aris. "Aku tidak akan diminta menikah lagi bila kamu sudah hamil!" Aris tetap tidak ingin disalahkan, dia menatap Maya dengan sinis. Hati Maya sangat sakit mendengar penuturan sang suami. Istri mana yang tidak ingin hamil. Semua cara sudah dia coba, pemeriksaan dokter telah dilakukan. Hasilnya selalu baik, kondisi rahim Maya sangat bagus untuk dibuahi. "Semua dokter mengatakan kondisi rahimku baik, Mas. Kamu yang seharusnya diperiksa, tetapi tidak pernah mau untuk melakukannya," balas Maya. "Aku ini sehat! Tidak mungkin jika aku yang bermasalah!" Suara Aris cukup kencang hingga Hani menghampiri keduanya. "Apa yang kalian ributkan?" tanya Hani menatap tajam sang menantu. "Maya memintaku untuk diperiksa, dia pikir aku yang bermasalah karena selama ini Maya belum hamil!" jawab Aris. Maya menaikkan alisnya mendengar ucapan Aris. Seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya, Aris selalu saja menyalahkan dirinya. Pria itu seperti tidak memiliki kekuatan untuk membela dirinya sendiri. Baru saja semalam Aris meminta maaf karena menikah lagi. Sekarang, dia marah karena Maya memintanya untuk memeriksakan kesehatannya ke dokter. "Aku hanya mengatakan yang dokter sarankan. Seharusnya, Mas Aris juga diperiksa kondisi kesehatannya. Jadi, kita bisa tahu mengapa aku belum juga hamil!" tukas Maya. "Tidak mungkin Aris memiliki masalah. Semua itu pasti karena kamu yang mandul! Sudahlah Maya jangan kembali mengungkit masalah ini. Wulan akan hadir dan Aris akan memiliki keturunan. Ibu jamin itu," balas Hani. "Kita lihat saja nanti, Bu," ujar Maya pergi dari hadapan Aris dan Hani. *** Pernikahan sesuai dengan keinginan Wulan terlaksana. Bahkan, Aris menyewa hotel untuk mewujudkan semua keinginan istri keduanya itu. Semua orang diundang untuk menyaksikan pernikahan Aris. "Sah!" Maya menangis ketika ijab kabul selesai diucapkan Aris. Kini, dia harus menerima nasibnya memiliki madu. Perlahan dia mengusap air mata yang menetes. "Ya ampun, Maya benar-benar baik, ya. Dia mengizinkan suaminya untuk menikah lagi. Kalau aku pasti tidak kuat untuk melihat pernikahan suamiku," ujar salah satu tetangga. "Iya, melihat suami menikah lagi pasti sangat sedih. Siapa yang tahu dalamnya hati Maya? Belum tentu dia ikhlas, suaminya menikah lagi!" balas salah seorang wanita yang memakai make up tebal. Berusaha untuk tegar, Maya tidak membalas setiap ucapan tetangga. Dia duduk sambil melihat ke arah pelaminan. Terlihat wajah sumringah Wulan dan Aris. Bohong sekali bila hatinya tidak sakit. Aris yang tadinya berjanji mencintainya, begitu mudah berubah. Bila mencintai, seharusnya Aris tidak menyakiti. Di sampingnya, para tamu terus berbisik. Mereka menyayangkan Aris yang menikah lagi. Walau tidak ada Undang-Undang yang melarang memiliki istri dua. Tetap saja pandangan orang pada Aris berubah. "Ga nyangka ya, Pak Aris menikah lagi. Padahal Bu Maya lebih cantik dibandingkan madunya itu," ucap salah satu teman kerja Aris. "Aku penasaran alasan Pak Aris menikah lagi. Jujur saja, memiliki istri dua berarti harus memiliki finansial yang cukup. Dengan gaji Pak Aris yang tidak jauh berbeda dengan kita, entah bagaimana dia membaginya," timpal seorang pria bernama Vino, yang merupakan teman dekat Aris. "Lha, kamu kan teman dekatnya. Kenapa kamu tidak bertanya langsung alasan Aris menikah lagi?" "Aku sudah tanya pada Pak Aris, tetapi alasannya karena diminta menikah lagi oleh ibunya," jawab Vino jujur. Aris memang mengatakan alasan menikah lagi karena diminta oleh sang ibu. Tidak ada alasan lain yang dikatakan oleh Aris. Sebagai teman, Vino menyayangkan tindakan Aris. Akan tetapi, dia tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga Aris. "Wah, serem banget punya mertua begitu, ya. Kalau aku sih mending pisah terus cari pria lain!" balas salah seorang wanita. "Iya, ibaratnya mertua adalah maut. Mertua penyebab anaknya menikah lagi." "Sudahlah, kita jangan bergosip seperti ini. Nikmati saja pesta penikahan yang sudah disiapkan," balas salah seorang yang mengakhiri pembicaraan mereka. Pembicaraan itu berusaha diabaikan oleh Maya. Akan tetapi, para tetangga yang mendengar ucapan teman Aris itu terkejut. Mereka tidak pernah menyangka bila Hani adalah orang yang meminta Aris untuk menikah lagi. "Jadi, benar Bu Hani yang meminta Aris untuk menikah lagi dengan Wulan?" Salah satu biang gosip di kompleks perumahan mereka memulai pembicaraan. "Ya, sepertinya benar. Bu Hindun dengar sendiri tadi, kan? Aris menikah karena Bu Hani memintanya," ucap Yeni, teman Hindun yang suka bergosip. Hindun menggelengkan kepala, kedua orang itu lalu menuju pelaminan untuk bersalaman. Ketika menyalami Hani, Hindun berbisik padanya. "Saya ga nyangka kalau Bu Hani tega sama menantu ibu," ujar Hindun. "Apa maksud Bu Hindun?" tanya Hani dengan menaikkan alis. "Ya, Bu Hindun tega meminta Aris untuk menikah lagi. Padahal, Mbak Maya lebih cantik dari menantu baru Bu Hani," jawab Hindun dengan tersenyum. Hani mulai memahami hal yang diucapkan Hindun. Wanita paruh baya itu menatap Maya yang sedang menatap Aris dan Wulan dengan pilu. "Siapa yang berbicara seperti itu? Pasti Maya yang sudah mengatakannya?" "Tidak, kami tahu saja. Banyak yang bilang kalau kamu tega memilihkan madu untuk menantu. Gosip pasti tersebar luas, Bu," balas Hindun. Kemarahan terpancar dalam hati Hani. Namun, dia berusaha untuk mengendalikan dirinya. Tidak ingin pesta meriah yang sedang dilaksanakan hancur begitu saja. "Asal Bu Hindun tahu, ya. Saya meminta Aris menikah lagi karena Maya itu mandul! Sudah lima tahun mereka menikah, tetapi belum juga memiliki anak!" ujar Hani dengan emosi. "Baru juga lima tahun, Bu. Banyak yang delapan tahun masih belum punya anak, tapi tidak poligami," balas Yeni dengan sinis. Antrian di pelaminan menumpuk karena pembicaraan ketiga wanita paruh baya itu. Aris yang mengetahui tabiat ibunya, segera meminta Hindun dan Yeni untuk turun dari pelaminan. "Maaf, Bu. Silakan turun, nanti disambung lagi pembicaraannya," ucap Aris. Hindun dan Yeni segera turun dari pelaminan. Hani menoleh pada Aris dengan kesal. "Ini semua karena Maya, dia pasti bicara ke semua orang kalau Ibu memintamu untuk menikah lagi. Lihat saja, Ibu akan memberikan pelajaran pada istri mandulmu itu, Aris!" gumam Hani. "Bu, sudahlah. Ini semua bukan salah Maya!" tukas Aris sambil menatap Maya yang terlihat sedih."Jadi, Maya hamil?"Suara Hani bergema di ruang tamu yang sepi. Aris duduk di kursi, pandangannya lurus ke depan, namun hatinya seolah terguncang oleh kabar yang baru saja dia dengar. Dia tak bisa mempercayai bahwa Maya—wanita yang pernah ia cintai dan gagal dia pertahankan—sekarang sedang mengandung anak dari Gilang."Iya, Bu. Maya akan punya anak," Aris menjawab lirih, menundukkan kepalanya.Hani yang duduk di sampingnya terdiam sesaat, mencoba memahami perasaan anaknya. Ia tahu, kabar ini bukan hal yang mudah diterima oleh Aris. Bagaimanapun, meski mereka telah lama berpisah, Maya masih meninggalkan jejak yang mendalam di hati Aris. Kini, kenyataan bahwa Maya akan menjadi ibu dari anak pria lain mungkin terasa seperti pukulan telak bagi Aris."Aris," kata Hani lembut, "kamu harus kuat. Kita sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Maya sudah memilih jalan hidupnya, dan kita harus menghormatinya. Apapun yang terjadi, hidupmu harus terus berjalan."Aris mengangguk pelan, meskipun di dalam
Pagi itu, udara terasa hangat dan tenang di rumah Gilang dan Nissa. Maya sedang sibuk di dapur, menyiapkan sarapan. Suara pisau yang bergerak cepat di atas talenan mengiringi aktivitas paginya. Dia tersenyum sambil memikirkan hari-harinya bersama Gilang, terutama bulan madu mereka yang penuh kebahagiaan dan tawa. Gilang, dengan segala cinta dan perhatian, selalu membuat Maya merasa seperti wanita paling beruntung di dunia.Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu perubahan besar yang Gilang inginkan. Suatu malam setelah mereka kembali dari bulan madu, di atas ranjang mereka yang nyaman, Gilang memeluk Maya erat dan berbisik, “Sayang, aku ingin kamu berhenti bekerja. Aku ingin kamu lebih fokus pada kita, keluarga yang akan kita bangun.”Maya tertegun sesaat, menatap Gilang. "Apa kamu benar-benar menginginkannya, Gilang?"“Iya,” jawab Gilang dengan penuh keyakinan. “Aku ingin kamu tidak perlu lagi pusing dengan pekerjaan. Biarkan aku yang menafkahi kita. Kamu bisa beristirahat dan meni
Sebulan kemudian, persiapan pernikahan berjalan dengan cepat. Maya dan Gilang sudah tidak sabar untuk menghalalkan hubungan mereka. Gilang memastikan segala sesuatu tertangani dengan baik, dari dekorasi hingga undangan. Ia ingin hari pernikahannya menjadi momen terbaik dalam hidup mereka.Maya sendiri sibuk dengan persiapan pribadi, memilih gaun dan merencanakan acara bersama sahabat-sahabatnya, termasuk Putri yang selalu setia mendampinginya. Dalam hati, Maya merasa bahagia, meskipun ada rasa takut yang kadang muncul. Bagaimana jika pernikahan ini tidak berjalan sesuai harapan? Bagaimana jika masa lalunya kembali menghantui?Namun, setiap kali rasa khawatir itu muncul, Gilang selalu ada untuk menenangkannya. “Percayalah, Maya. Kita akan bahagia. Ini adalah awal baru untuk kita.”Hari pernikahan semakin dekat, dan semua orang sibuk dengan persiapan. Maya sering kali tenggelam dalam tumpukan pekerjaan, baik di kantor maupun dalam persiapan acara, tetapi itu membuatnya merasa lebih tena
Matahari bersinar cerah ketika Maya tiba di rumah Nissa, perasaan gugup menghiasi langkahnya. Meski hubungan mereka sudah lebih baik, tetap saja, restu dari calon mertuanya adalah langkah besar yang harus ia lewati. Gilang, yang berjalan di sampingnya, meraih tangan Maya dengan lembut, seolah memberikan kekuatan. “Tenang saja, Maya,” bisik Gilang seraya tersenyum. “Ibu pasti akan merestui kita. Aku yakin.” Maya mengangguk perlahan, meskipun kegelisahan itu masih ada. Dia tahu, restu dari Nissa adalah kunci utama untuk melangkah ke tahap berikutnya dalam hubungannya dengan Gilang. Restu yang selama ini belum sepenuhnya ia dapatkan. Ketika mereka masuk, Nissa sudah menunggu di ruang tamu. Senyuman ramah terulas di wajahnya, namun Maya tetap bisa merasakan ketegangan. Ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka. Nissa memang lebih bersikap terbuka belakangan ini, tetapi masalah masa lalu Maya sebagai seorang janda masih menyisakan sedikit kekhawatiran dalam benak ibu Gilang. “Du
"Ibu akan memberitahukannya setelah waktunya tepat" ucap Nissa.Nissa meminta Maya dan Gilang untuk bersabar. Dia harus meyakinkan dirinya sendiri untuk menerima Maya. Oleh karena itu, Nissa masih meminta waktu untuk berpikir tentang restu untuk Maya dan Gilang. Akhirnya, Maya dan Gilang mencoba untuk bersabar. Hingga ada seseorang yang kembali mengusik ketenangan Maya.Langit senja terlihat suram ketika Aris berdiri di depan pintu kontrakan Maya. Dengan napas tertahan, dia menekan bel pintu, berharap Maya akan menerimanya kembali. Meski banyak hal yang telah terjadi, Aris masih merasa ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan masa lalu. Dia tahu betul hubungannya dengan Wulan berakhir tragis, dan kini, pikirannya kembali teringat pada Maya—wanita yang pernah dia cintai dan biarkan pergi. Pintu terbuka perlahan, dan Maya berdiri di sana, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Aris?" tanyanya, suaranya terdengar datar, meski matanya menunjukkan sedikit keraguan. Aris m
Wulan duduk di atas ranjang rumah sakit, matanya kosong menatap keluar jendela. Hujan deras mengguyur kota, seolah mencerminkan kekosongan di dalam hatinya. Tidak ada lagi yang tersisa. Kandungannya yang dulu menjadi harapan kini telah tiada. Semua telah lenyap, meninggalkannya dalam kehampaan yang menyakitkan.Pintu kamar perlahan terbuka. Pandu melangkah masuk, wajahnya tampak tegang dan penuh dengan penyesalan. Wulan menoleh pelan, tatapannya bertemu dengan mata Pandu yang muram."Pandu..." suaranya bergetar, nyaris tidak terdengar.Pandu mendekat, berdiri di sisi ranjang, namun ia tidak segera bicara. Hanya keheningan yang terjalin di antara mereka. Tatapan penuh luka di mata Wulan membuat dada Pandu terasa sesak."Aku tidak tahu harus berkata apa," Pandu akhirnya memecah kesunyian, suaranya rendah dan berat. "Aku... sangat menyesal."Wulan menundukkan kepala, mencoba menahan tangis yang sudah tak terhitung jumlahnya. "Kita semua melakukan kesalahan, Pandu," katanya lirih. "Aku ta