Dani sedang duduk dengan gusar di sebuah ruangan. Dari pelipisnya keluar keringat dingin yang semakin mengucur deras.
Kepalanya hanya bisa tertunduk menahan semua rasa malu dan amarah. Tangannya saling meremas menampilkan kegugupan yang belum pernah dirasakannya.
"Saya sangat kecewa dengan Pak Dani." Seorang lelaki berisi, dengan perut buncit berusia sekitar 35 tahun meletakkan sebuah map dengan kasar di atas mejanya.
Lelaki itu menghela napas kasar, bukti rasa kecewanya yang begitu besar. Dia membenarkan kaca matanya yang sesekali terjatuh karena hidung mungilnya.
Dani masih terdiam, tidak bermaksud membantah. Dia terlalu malu hanya sekedar membuka mulut.
"Sudah berapa lama Pak Dani melakukannya?" Kini kedua tangannya berada di atas meja menopang dagunya yang berlipat.
Di samping Dani ada dua orang berpakaian sekuriti yang sedari tadi berdiri tegak di sana.
"Ba-baru se-sekali ini, Pak." Dapat terdengar suara Dani yang bergertar, rasa
Dering ponsel Dani tidak juga membangunkan lelaki yang tengah terlelap itu. Sedari pulang dari pabrik, Dani langsung masuk ke kamarnya dan berbaring. Dia benar-benar merasa malu ada yang mengetahui perbuatan kotornya itu."Suara hape kenceng banget, kenapa tidak diangkat?" Halimah menggerutu karena nada dering Dani sedari tadi mengganggu telinganya. Sejak jam empat tadi belum berhenti, hingga kini nyaris jam setengah lima.Dengan tergesa, Halimah mendatangi kamar Dani. Dia hendak mengetahui ke mana anaknya itu hingga tidak mendengar bunyi dering telepon."Ealah ...! Ternyata molor, to, dari tadi?""Dan!" Halimah mengguncang bahu Dani pelan."DAN!" Kali ini lebih kencang dengan suara yang juga lebih keras.Dani bergeming, dia tidak menanggapi guncangan sekasar itu."DAN!" Tak menyerah, Halimah terus mengulanginya."Apa, sih, Bu?" Mungkin dia merasa jengah karena ibunya yang tidak menyerah untuk membagunkannya."Ini hape k
"Jadi, kamu beneran nyalahin aku, Mas?!" Tari merasa begitu kesal dengan limpahan kesalahan yang Dani berikan."Maaf ... maaf. Mas nggak bermaksud nyalahin kamu. Mas dipecat dan kini merasa pusing. Maafin aku, Tar." Kesadaran Dani tiba-tiba kembali. Dia menjadi merasa bersalah pada Tari karena menyalahkan wanita itu."Sudahlah, Mas. Aku juga pusing. Kehamilan aku sudah hampir terlihat, tapi belum ada yang secara jantan mengakui."Tari menutup teleponnya. Tentu saja kali ini dia merasa kesal dan terhina. Kenapa Dani malah menyalahkannya.Tari menaiki motornya dan melajukannya. Dia saat ini hanya ingin menemui Fandi, anak laki-laki satu-satunya itu. Dia sangat merindukannya kali ini.Tari memutuskan untuk langsung pulang ke rumah orang tuanya. Meluapkan kerinduannya pada anak yang sangat disayanginya itu. Mumpung kandungannya belum terlihat jelas.Sepanjang perjalanan, Tari hanya bisa menangis. Apa yang sudah dilakukannya kini. Mencintai suami
Dani pagi ini kelimpungan hendak mencari pekerjaan. Dia sudah mandi pagi dan bersiap dengan pakaian hitam putihnya ala para pelamar kerja."Kok kamu nggak pake seragam, Dan?" Halimah nampak heran dengan anaknya itu yang tidak memakai seragam, tidak seperti biasanya."Mau cari kerja, Bu," jawab Dani singkat Dia sudah mengira saat dia mengucapkan itu, pasti ibunya akan mencecarnya dengan beberapa pertanyaan lagi."Kerjaan kamu kemarin gimana?""Dipecat.""Dipecat? kok bisa?" Semakin heran, Halimah berusaha mengorek segalanya dari Dani. Bagaimana dengan uang jatah makan Dani jika dia tidak kerja?"Nyatanya bisa, Bu. Assalamu'alaikum." Tak ingin berdebat lebih lama dengan wanita yang melahirkannya itu, Dani segera berpamitan pada ibunya itu. Meninggalkan Halimah yang masih menyimpan banyak tanda tanya untuk Dani.Dia harus memulai lagi dari awal. Sebenarnya dia tidak memilki arah tujuan kali ini. Dia tahu mencari pekerjaan tid
"Bagaimana bisa dia tahu tentang hal ini?" Reni melihat ke arah pemuda itu. Sementara Yudha melihatnya dengan wajah tak senang."Bram! Gimana kamu bisa sampai di sini?" Tentu saja Reni heran dengan kedatangan Bram. Warung makan ini baru saja buka dan yang tahu hanya orang-orang tedekatnya. Apalagi dia tidak merasa mengundang pria itu."Iseng aja jalan-jalan, terus sampai di sini. Ini milik kamu?" Netra Bram melihat ke sekeliling, pria itu mengangguk-anggukkan kepalanya.Warung makan Reni ini terbilang cukup sederhana. Dia menyewa sebuah warung di pinggir jalan dengan bangunan sederhana. Seperti warung-warung lainnya, tidak ada yang istimewa dari rumah makan milin Reni ini. Hanya mungkin lebih bersih dan tertata rapi."Lho, Yud! Kamu juga ada di sini?" Bram menghampiri Yudha yang sudah bermuka masam karena interaksi antara Bram dan Reni. Tanpa meminta ijin, pria itu memeluk Yudha seperti teman lama yang sudah lama tidak bertemu.Bagaiman
"Ren!" Kini Reni dan Yanti tengah berada di warung makan yang baru dua minggu ini Reni buka. Belum banyak pengunjung, tapi setidaknya rumah makan ini bisa berjalan meski merangkak. Reni juga tidak berpangku tangan menunggu pengunjung datang. Dia aktif mempromosikan warungnya di media sosial. Hal itu sedikit banyak berdampak pada usahanya.Tapi yang memberikan sumbangsih terbesarnya adalah Yudha. Pria itu sering sekali membawa temannya untuk makan di sana. Meski jarak antara kantor Yudha dan juga warung makan milik Reni lumayan jauh, tapi Yudha selalu bisa mengajak temannya untuk makan di sana. Beberapa ada yang datang lagi membawa keluarganya. Masakan di rumah makan itu dipuji sangat enak. Tidak salah Reni mempercayakan masalah dapur pada ibunya."Iya, Bu!" Reni masih fokus dengan buku di tangannya. Kini dia sedang sibuk menghitung laba ternak kelinci yang dimilikinya. Hanya itu sumber penghasilan utamanya kini. Setelah Dani sama sekali tidak menafkahinya. Dia juga sud
Reni merasa tidak ada yang istimewa dari dirinya, bahkan suaminya saja mencampakannya demi wanita lain. Tapi, kenapa dua orang itu malah seolah sedang bersaing memikat hatinya? Bukan ingin merasa geer, tapi begitulah kenyataannya.Reni hanya kasihan pada keduanya. Dia bukan wanita yang pantas untuk diperebutkan. Terlebih statusnya yang tidak jelas.Setelah sat itu, Reni tak terlalu memperhatikan keduanya jika mereka berada di warung makannya. Reni memilih untuk tetap di tempatnya tanpa menyapa keduanya. Baru jika mereka ingin membayar, maka Reni yang melayani mereka.Yudha merasa gusar jika Reni seperti itu. Semangat hidupnya kini hanya Reni. Yudha sendiri tidak mengerti kenapa dirinya tidak bisa melupakan wanita itu. Meski sudah bersuami, bahkan kini tengah mengandung. Jika ada yang mengatakan dia bodoh, mungkin memang benar. Tapi, dia tidak bisa mengingkari perasaaannya.Tak lama setelah Reni mengucapkan hal itu, Yudha segera kembali ke tempat ker
Dan tengah bersiap untuk berangkat kerja. Bukan lagi dengan pakaian seragam dan wangi seperti biasanya, tetapi hanya mengenakan kaos dan juga celana panjang kumal. Kehidupannya berubah begitu drastis kali ini. Biasanya dia akan bekerja di bawah atap dan tidak kepanasan, tidak dengan sekarang. Dia harus bergelut dengan debu dan cahaya matahari. "Dani berangkat dulu, Bu!" Dani berangkat dari rumahnya. Semenjak diberhentikan dari pekerjaannya, Dani kini bekerja serabutan. Demi bisa makan dan juga memeriksakan kandungan Tari. Bahkan istri sahnya tidak dia pedulikan. "Iya. Hati-hati." Halimah sedang menyapu ketika Dani berangkat kerja. Dia menjadi pekerja bangunan sekarang. Itu lebih baik dari pada tidak bekerja. Beginilah hari-harinya sekarang. Gajiannya hanya cukup untuk makan dan juga periksa kandungan Tari tiap bulannya, juga untuk rokok tentunya. Bahkan Dani kini melupakan nafkah untuk istri sahnya. Dan tidak pernah menengoknya sekali pun.
Dani ingin segera menghampiri kedua orang yang telah membuatnya sakit mata. Jalanan lumayan rame jadi dia tidak bisa langsung menyeberang. Kedua orang yang ada di seberang sana telah masuk ke dalam mobil. Dani masih harus menahan amarah saat ini.Ingin rasanya melabrak kedua orang yang menurutnya tidak tahu malu itu. Sepertinya kaca di rumahnya kurang besar, jadi dia tidak bisa melihat ke diri sendiri.Setelah jalanan lumayan sepi, Dani segera berjalan menyeberang jalan untuk menemui Reni dan laki-laki itu. Namun sayang, saat dia hampir sampai mobil itu telah melaju dan tidak mengindahkan teriakannya."REN! RENI!""Tin! Tin!" Dani segera menyingkir karena mendapat klakson dari arah belakang."SIAL!" teriaknya. Tak ada yang menggubrisnya karena dirinya kini tengah berada di jalanan. Dia terlihat begitu marah melihat Reni tertawa bersama lelaki lain. Mungkin juga iri atau dengki, hanya hatinya dan Tuhan yang tahu.Dani kembali meny