Share

Antara dua hati

Shofia tengah menatap nanar layar lima inchi dalam genggamannya. Hampir 24 jam benda pipih itu ia mode pesawat. Ruangan VVIP ini terasa begitu dingin menusuk tulang, padahal Ac tengah dimatikan.

Bayangan laki-laki dengan rahang tegas itu terus saja menari-nari di pelupuk mata. Sedang apakah laki-lakinya di seberang sana? 

“Shofi, bagaimana hasil pemeriksaan kamu?” Erlana menghampiri Shofia di ranjangnya.

“Sel kankerku telah menyebar, Er. Semoga saja kemo besok memberikan hasil yang cukup memuaskan,” ujar Shofia pasrah.

“Pasti. Kamu harus yakin jika bisa sembuh seperti sedia kala.” Erlana menunjukkan wajah seoptimis mungkin di hadapan sahabat kecilnya itu.

Sementara di seberang sana, sosok yang tengah dirindukan Shofia tengah disibukkan dengan menata debar dalam dada. Ustaz Subhan berusaha keras untuk menerima kehadiran Kiyada dalam hidupnya.

Malam ini mungkin memang waktu yang tepat untuk memberikan hak Kiyada sebagai seorang istri. Perlahan Ustaz Subhan mengikis jarak antara dirinya dan Kiyada. Aroma segar buah cherry menguar dari rambut ikal milik istri kecilnya itu.

Penampilan Kiyada berhasil membangkitkan gairahnya. Kulit kuning langsat itu melambai-lambai seolah meminta untuk dijamah.

Tanpa diduga, tiba-tiba dering telephon menghentikan kegiatan laki-laki matang tersebut. Padahal tinggal beberapa inchi saja Ustaz Subhan akan menyentuhkan diri pada istri barunya. Sebuah kontak dengan nama Bidadariku tertera di sana.

“Astahgfirullah.” Ustaz Subhan mengusap wajahnya kasar. Segera laki-laki itu menggesar tombol hijau di benda pipih dalam genggamannya.

“Assalamualaikum, Mas.”

Suara lembut di seberang sana benar-benar berhasil menyita seluruh perhatian Ustaz Subhan. Laki-laki tersebut mengabaikan wajah masam istri barunya yang harus menelan kekecewaan untuk yang kesekian kali.

Dengan langkah lebar segera Ustaz Subhan pergi ke luar rumah. Sebab jaringan di dalam rumah Kiyada tidak terlalu lancar. 

“Kamu kenapa baru telfon sekarang, hmmm?”

“Iya, Mas. Hp aku lowbat,” kilah Shofia. 

Wanita itu tahu jika tindakannya salah. Tak seharusnya ia mengganggu malam sang suami dengan istri barunya. Namun, gejolak yang menggebu telah menguasai egonya. Hingga tanpa sadar jemarinya memanggil nama kontak tersebut.

Harus diakui, ada sejentik kebahagiaan yang menelusup begitu panggilan Shofia langsung terhubung. Itu artinya sang suami tidak sedang melakukan hal-hal yang selalu mengusik pikirannya.

Sepasang suami istri itu terlibat obrolan panjang hingga larut malam. Keduanya bak pasangan muda-mudi yang baru merasakan kasmaran, tetapi harus terpisah oleh jarak dan waktu. Tanpa mereka sadari ada hati yang remuk redam di sudut kamar sana.

Angin malam berembus perlahan. Panggilan dengan Shofia telah berakhir sejak lima menit yang lalu. Namun, Ustaz Subhan masih duduk termenung di teras rumah Kiyada. Rasa bersalah itu menelusup ke relung hatinya.

Mengembuskan napas kasar beberapa kali, laki-laki tersebut tahu jika tindakannya pasti melukai hati Kiyada. Tak bisa dipungkiri, Ustaz Subhan memang sangat merindukan Shofia. Wanita dengan sorot mata tajam yang telah mencuri hatinya semenjak pandangan pertama.

Setelah hampir 30 menit, Ustaz Subhan memberanikan diri kembali ke kamar. Berharap di sana Kiyada telah terlelap dan melupakan kejadian beberapa jam yang lalu. Langkahnya terasa begitu berat ketika sampai di ambang pintu. Terdengar suara isakan yang begitu lirih dari dalam.

Tak ada sepatah kata pun yang terucap. Ustaz Subhan perlahan naik ke atas ranjang yang tak terlalu luas tersebut, lalu memeluk sang istri dari belakang. Sadar akan kesalahan yang telah diperbuat, rasanya kata maaf pun tak bisa mengobati luka yang telah ia torehkan.

Malam kian larut, dua insan yang tengah mencoba saling mengenal itu telah terlelap ke alam mimpi. Tanpa kata kata cinta ataupun rayuan manja. Bulan sabit yang menggantung seolah menjadi saksi akan remuknya dua hati yang tengah dilanda nestapa.

“Kamu sudah bangun, Ki?” Ustaz Subhan mengerjap perlahan dengan suara serak. 

Suara azan Subuh dari masjid menyadarkan Ustaz Subhan bahwa ia telah melewatkan salat malam. Baru tiga hari memiliki dua istri benar-benar membuat kepalanya pening. Sungguh lebih baik ia diminta memecahkan masalah fiqih yang pelik sekalipun, daripada harus memahami dua hati wanita sekaligus.

“Sudah, Ustaz. Kebetulan hari ini saya ada jadwal ke kampus pagi, jadi sekalian masak buat sarapan,” ucap Kiyada dengan suara khasnya yang renyah.

Ustaz Subhan tersenyum tipis menyadari sikap Kiyada yang kembali hangat. Perempuan itu tampak ceria tanpa beban. Seolah peristiwa memilukan semalam tidak pernah terjadi. Saat hendak bangkit dari ranjang, tiba-tiba ia terhuyung.

“Ustaz tidak apa-apa?” Kiyada dengan sigap segera menghampiri sang suami. Wudunya terpaksa ia batalkan demi memeriksa kedaan laki-laki tampan di hadapannya.

“Saya salat Subuh di rumah saja. Sepertinya lagi kurang enak badan.” Ustaz Subhan kembali terduduk, menyandarkan punggungnya di kepala ranjang.

“Ehm, maaf.” Kiyada dengan canggung meletakkan punggung tangannya di kening laki-laki yang telah sah menjadi imam kehidupannya.

Merasakan telapak tangan dingin juga lembut milik Kiyada, entah mengapa ada perasaan aneh yang diam-diam menelusup di hati kecil Ustaz muda tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status