Meski perlakuan Ustaz Subhan semalam masih membekas, tetapi sebagai istri Kiyada sadar harus terbiasa menekan ego. Apalagi mengingat posisinya yang hanya sebagai istri ke dua. Rela dinikahi demi uang.
“Ustaz, sakit? Panas sekali.” Raut kekhawatiran tampak jelas di wajah Kiyada.
“Sepertinya Cuma masuk angin biasa. Nanti juga sembuh.”
Kiyada mengangguk ragu. Ia membiarkan Ustaz Subhan yang bangkit secara perlahan menuju kamar mandi. Langkah laki-laki itu tampak sedikit tertatih. Ingin rasanya Kiyada membantu, tetapi peristiwa semalam kembali terngiang.
Setelah Ustaz Subhan menghilang dari pandangan, segera Kiyada mempersiapkan pakaian juga sajadah sang suami. Rumah Kiyada cukup jauh dari masjid, sehingga selama berada di sini Ustaz Subhan belum pernah jamaah Subuh di masjid.
Keluar dari kamar mandi, wajah layu Ustaz Subhan tampak lebih segar. Keduanya pun melaksanakan salat Subuh berjamaah di kamar sempit ini. Terhanyut dalam sujud rukuk yang syahdu, mengadukan segala kesah pada Sang Penggenggam takdir.
“Biasanya kalau sakit Ustaz ke dokter atau minum obat dulu?” Kiyada bertanya ragu. Sebab ia benar-benar tak tahu harus bersikap bagaimana.
“Minum obat saja. Kamu tolong belikan obat masuk angin, ya?”
“Baik, Ustaz.”
Segera Kiyada melepas mukena dan memasang hijabnya. Melihat Ustaz Subhan tampak lemah begitu, membuat Kiyada benar-benar tidak tega. Ia menjadi ragu apakah akan tetap berangkat ke kampus atau menemani sang suami yang tengah sakit di rumah.
“Maaf, untuk kejadian semalam.” Tanpa diduga, Ustaz Subhan menahan pergelangan tangan Kiyada yang hendak berbalik menuju pintu.
Kiyada tertegun, ia tak tahu harus bersikap seperti apa saat ini.
Malam itu masih terekam jelas dalam ingatan Kiyada. Saat ia telah menyiapkan jiwa raga untuk melayani sang suami, tetapi ia ditinggalkan begitu saja saatsdering telephon berbunyi. Tak perlu dijelaskan, Kiyada tahu itu dari siapa.“Mas kangen sama kamu, Sayang.”
Satu kalimat yang cukup mengoyak hati Kiyada. Ia mengutuk dirinya yang dengan kesadaran penuh menguping pembicaraan Ustaz Subhan. Harusnya ia cukup tahu diri, mengetahui perasaan Ustaz Subhan hanya akan membuat hatinya semakin tersakiti.
Bahkan pelukan Ustaz Subhan malam itu terasa hambar. Kiyada tahu, jika laki-laki itu memeluknya semata karena rasa bersalah.
“Ustaz, nggak apa-apa ‘kan kalau saya tinggal sendirian di rumah. Saya izin mau mengumpulkan berkas ke kampus.”
Ragu-ragu Kiyada meminta izin suaminya. Perihal kejadian semalam, Kiyada sudah tak ingin lagi mengingatnya.
Ustaz Subhan mengangguk beberapa kali. Ia tahu Kiyada sedang berusaha mengalihkan pembicaraan.
Kiyada tersenyum semringah, setidaknya suasana kampus bisa sedikit mengalihkan kerancuan hatinya. “Kalau begitu saya ke warung dulu, buat beli obat masuk anginnya.”
Beruntung toko kelontong di dekat rumah Kiyada telah buka sebelum matahari terbit, karena sang penjual juga menjadi langganan warga yang akan membeli sayuran segar untuk memasak pagi tanpa harus pergi ke pasar.
Keadaan toko telah dipenuhi deretan ibu-ibu yang bergerombol memilih sayuran segar. Beberapa di antara mereka menyapa Kiyada ramah. Namun, satu dua ada juga yang menatapnya sinis.
Menganggap ia sebagai wanita murahan yang rela untuk menjadi istri ke dua dari Ustaz tampan tersohor di kampung ini.
Sekuat tenaga Kiyada berusaha tak mempedulikan bisik-bisik ibu-ibu itu. Ia sadar jika pilihannya pasti akan menimbulkan banyak asumsi dari warga sekitar.“Enak, ya, pengantin baru. Istri ke dua rasa istri satu-satunnya,” celetuk seorang ibu muda dengan dandanan paling mencolok di tempat itu.
“Tapi, bagaimanapun posisi istri pertama tak pernah terganti. Perbedaan mereka saja bagaikan langit dan bumi.” Kali ini wanita paruh baya dengan badan tambun yang menyahut. Seolah tak mempedulikan kehadiran Kiyada.
Tak ingin berlama-lama berada dalam situasi seperti ini, segera Kiyada membayar semua belanjaan yang telah dipilihnya.
“Kamu yang sabar, ya. Mereka hanya belum pernah merasakan berada di posisi kamu saat ini.” Ucapan ibu pemilik toko membuat gemuruh di hati Kiyada sedikit mereda.
Dalam perjalanan pulang, perkataan yang ia dengar di toko terus terngiang di benak Kiyada. Tak ada wanita yang benar-benar rela menjadi yang ke dua. Ia merenungi kembali keputusannya, apakah ini memang yang terbaik?
Dibukanya pintu rumah yang tak terkunci itu. Menata beberapa sayur di dalam kulkas. Juga menyiapkan bubur ayam yang tadi sempat dibeli Kiyada.
Tampak di dalam kamar laki-laki yang telah mengoyak perasaan Kiyada tengah berkutat dengan benda berlayar pipih di tangannya. Posisi yang tadinya tertidur, telah berubah menyandar pada kepala ranjang.
“Dimakan dulu buburnya, Ustaz. Nanti keburu dingin.” Kiyada meletakkan nampan di sisi ranjang.
“Terima kasih, ya.” Tatapan penuh ketulusan terpancar dari wajah Ustaz Subhan.
“Kan sudah kewajiban saya sebagai istri.” Kiyada tersenyum simpul.
“Kalau misalkan saya meminta kamu untuk tidak ke kampus hari ini kamu keberatan tidak? Saya ingin ditemani.”
Kalimat yang meluncur dari bibir Ustaz Subhan membuat Kiyada tertegun. Apa maksudnya sang suami berkata ingin ditemani? Mungkinkah laki-laki itu telah menyadari akan arti Kiyada sebagai istri yang sah di mata hukum dan agama?
Memasuki halaman rumah sakit, ingatan Kiyada kembali pada sang ibu. Saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, hingga Allah memanggil ibu untuk pulang. Namun, Kiyada tahu, ia tidak boleh terlalu lama larut dalam kesedihan. Demi bayi yang ada dalam rahimnya, ia harus bisa mengendalikan suasana hati. Meski untuk saat ini itu bukanlah hal yang mudah.“Apakah saya nanti boleh masuk ke dalam menemui Ustazah Shofia?” tanya Kiyada saat ia dan Ustaz Subhan baru saja memasuki lift.“Nanti kita konsultasikan dulu sama dokter.”Kiyada hanya bisa menarik napas panjang seraya mengangguk pasrah. Ia tak bisa memaksa kali ini. Meski dirinya sangat ingin melihat secara langsung kondisi Ustazah Shofia.“Keadaan Shofia dua hari terakhir benar-benar menurun. Tidak sembarang orang bisa masuk ke ruangannya,” ucap Ustaz Subhan memberi penjelasan.Kiyada tahu pasti bagaimana prosedur orang-orang dengan penyakit kronis seperti Ustazah Shofia. Barangkali Ustaz Subhan lupa bahwa Kiyada telah merawat ibu seora
Kiyada sangat menikmati makan malamnya. Meski hanya di warung sederhana dan menu seadanya. Namun, kebersamaan dengan sang suami yang membuat suasana terasa istimewa. Semenjak menikah, sepertinya bisa dihitung dengan jari berapa kali Kiyada dan Ustaz Subhan makan berdua saja.Keduanya makan dalam hening. Kiyada diam-diam memperhatikan laki-laki di seberang tempat duduknya yang makan dengan tampak lahap. Entah karena terburu ingin segera kembali ke rumah sakit tempat Ustazah Shofia dirawat, atau memang perutnya merasa sangat lapar.Meski cahaya di tempat itu tidak terlalu terang, tapi Kiyada masih bisa melihat dengan jelas gurat kelelahan di wajah Ustaz Subhan. Ia tahu berada di posisi sang suami saat ini pasti tidak mudah. Memiliki dua istri yang sama-sama membutuhkan kehadirannya.“Kalau boleh saya bisa kok menggantikan menjaga Ustazah Shofia,” ucap Kiyada setelah ia menyantap setengah porsi soto pesanannya. Rasa lapar yang tadi sempat melanda mendadak lenyap melihat keadaan Ustaz Sub
Kiyada dan Ustaz Subhan duduk di serambi masjid. Keduanya sama-sama terdiam seraya mengamati lalu lalang para jamaah. Kiyada tak memiliki keberanian untuk memulai pembicaraan. Ia takut salah bicara. Apalagi melihat tampang Ustaz Subhan yang begitu kelelahan. Lingkaran di sekitar matanya amat kentara.“Belum ada perkembangan sama sekali dengan kondisi Shofia.” Ustaz Subhan mulai angkat bicara. Ia menoleh sekilas ke arah Kiyada. “Sepertinya dokter juga sudah pasrah. Tidak banyak hal yang bisa dilakukan.”Selama mengenal sosok Ustaz Subhan, rasanya baru kali ini Kiyada menyaksikan laki-laki itu begitu rapuh. Bahkan Ustaz Subhan tampak berusaha keras untuk menahan air matanya.“Mas, sudah makan?” Tak ingin sang suami terlalu larut dalam kesedihan, Kiyada memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.Ustaz Subhan menggeleng. “Terakhir makan tadi pagi.”“Bagaimana kalau kita cari makan dulu? Kebetulan saya juga belum makan.”“Ya sudah kita cari tempat makan di dekat sini.”Mendapat sambutan
24 jam sudah berlalu, tapi tak ada perkembangan sama sekali terhadap kondisi Shofia. Ustaz Subhan juga hampir tak beranjak dari sisi sang istri, kecuali hanya keluar untuk makan dan salat. Entah mengapa Ustaz Subhan merasa Shofia kian jauh.“Bagaimana perkembangan istri saya, Dokter?” tanya Ustaz Subhan pada dokter yang baru saja memeriksa keadaan Shofia.Dokter laki-laki paruh baya itu terdiam beberapa saat. Tak ada harapan sama sekali dari raut wajah yang mulai keriput tersebut.“Doakan saja yang terbaik, Pak.”Ucapan dokter itu memang terdengar ringan, tetapi Ustaz Paham apa maksud yang tersirat dari kalimatnya. Sepertinya ia sudah harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan ia tetap berharap keajaiban itu masih bisa terjadi.“Baik, Dok. Terima kasih.”Sudah hampir 2 hari Shofia tidak membuka mata sama sekali. Tubuhnya dipenuhi berbagai macam peralatan medis. Bahkan jika alat-alat penunjang itu dilepas, Ustaz Subhan tidak terlalu yakin jika sang istri masih bisa h
Ustaz Subhan sempat tertegun beberapa saat mendapati Kiyada memutus sambungan telepon secara sepihak. Bahkan tanpa ucapan salam sama sekali. Tak biasanya wanita itu bersikap seperti ini. Apakah sikapnya melarang Kiyada datang ke sini sudah keterlaluan?Meski telah bertahun-tahun hidup dengan Shofia, dan beberapa bulan menjadi suami Kiyada, Ustaz Subhan masih belum bisa memahami keduanya dengan baik. Ia tak memiliki ide apapun untuk membujuk Kiyada, atau sekadar menanyakan sikapnya tadi.Namun, untuk sekarang, tentu kondisi Shofia lebih penting dari apapun. Laki-laki itu melangkah tergesa menuju ruang perawatan Shofia. Berharap setelah ini akan ada kabar baik terkait perkembangan sang istri.Di depan ruangan yang dijaga cukup ketat itu, Jihan duduk termenung. Wajahnya muram, hingga tak menyadari kedatangan Ustaz Subhan.“Kamu sudah makan, Jihan?” Ustaz Subhan mencoba berbasi-basi. Berharap bisa sedikit mengurai aura kebencian dari wanita itu yang timbul semenjak ia menikah lagi.Jihan
Keadaan Kiyada yang masih terasa lemah setelah kehilangan sang ibu, kini harus kembali menerima kabar kurang baik dari sang suami. Meski kerap merasa cemburu dengan kasih sayang Ustaz Subhan pada Shofia, tetapi Kiyada sungguh tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada wanita itu.Walau bagaimanapun, tanpa perantara Shofia, pernikahan ini tak akan pernah terjadi. Dan Kiyada harus berjuang sendiri memikirkan biaya pengobatan sang ibu yang cukup menguras dompet. Apalagi mengingat di kampung ini ia hanya memiliki ibu.“Mas, saya ingin melihat kondisi Ustazah Shofia,” pinta Kiyada pada Ustaz Subhan.“Besok kalau keadaannya sudah membaik, kamu saya ajak ke sini, ya.”Kiyada tertunduk lesu. Meski tidak melarang secara langsung, ia paham jika kalimat itu adalah sebuah larangan secara halus. Padahal berada di rumah seorang diri juga membosankan baginya. Kiyada jadi lebih sering teringat ibu dan itu membuatnya terus-terusan bersedih.“Tapi saya bosan di rumah sendirian. Siapa tahu di sana bisa m