Selama jam pelajaran, Kiyada sama sekali tak bisa konsentrasi dengan materi yang tengah dipaparkan. Sesekali rasa mual itu datang menyapa. Ditambah berbagai macam pikiran buruk melintas tanpa mampu ia kendalikan.
Mungkin ini adalah yang diharapkan Ustaz Subhan juga Ustazah Shofia, karena tujuan utama ia menjadi istri ke dua adalah untuk melahirkan keturunan. Namun, ia tak rela jika kuliahnya kembali terbengkalai begitu saja.
Dulu ia terpaksa mengambil cuti yang berakhir berhenti di awal semester sebab faktor biaya, juga kondisi ibu yang sakit-sakitan. Sekarang saat kuliahnya sudah ada yang menanggung, dan ibu telah mendapatkan perawatan terbaik, kondisi yang lebih rumit datang menghampiri.
“Kamu pucat banget, Ki?” Fatimah menatap Kiyada khawatir.
Sore itu keduanya baru saja keluar dari kelas. Selama jam pelajaran, Kiyada berusaha mati-matian menahan mual yang tiba-tiba datang dan pergi dengan sendirinya.
“Kayaknya cuma masuk angin
Hari ini terasa begitu melelahkan bagi laki-laki berusia 25 tahun itu. Jadwal persiapan untuk seminar kepenulisan yang ia agendakan cukup menyita waktu. Farhan bahkan sampai rela mengorbankan jadwal bimbingan tesisnya, demi sebuah komunitas yang baru saja dirintis bersama teman-teman pegiat literasi.Menjelang Magrib Farhan memiliki janji untuk bertemu dengan salah satu dosen sastra di kampus. Motor yang dikendarainya melaju dengan kecepatan sedang. Tiba-tiba dari arah berlawanan ia melihat sebuah motor ninja menyerempet seorang mahasiswi.Kejadian itu begitu cepat, hingga ia mendekat dan matanya menangkap seorang gadis yang begitu ia cintai tengah tergolek lemah. Darah segar yang membasahi pelipis juga bagian depan jilbabnya membuat Farhan kalang kabut.“Kiyada?!” Farhan berseru panik.Direngkuhnya tubuh itu dalam dekapan, lalu salah seorang memberhentikan mobil untuk meminta tolong membawa korban ke rumah sakit. Tanpa berpikir panjang, Farhan me
“Kamu sudah sadar, Ki?” Farhan tersenyum samar.Kiyada mengerjap beberapa kali, ia berusaha bangkit tetapi kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri. “Aku di mana?”“Di rumah sakit. Tadi kamu terserempet pengendara motor.” Farhan berkata lembut seraya menampilkan senyum menawannya.Suasana ruangan mendadak sunyi sepi. Baik Kiyada maupun Farhan sama-sama saling terdiam. Mengeja rasa yang belum sepenuhnya sirna. Meresapi takdir yang terasa getir, juga mengubur mimpi yang terlanjur membumbung tinggi. Namun, bagaimanapun semua adalah rencana terindah dari-Nya. Allah adalah sebaik-baik perancang skenario kehidupan. Tak ada doa yang sia-sia, segala semoga pasti memiliki jawabannya. Tugas kita adalah menjalani semua dengan sebaik-baik penerimaan.Sedih juga kecewa pasti ada, itulah yang coba diredam oleh Kiyada juga Farhan. Sebab hidup harus terus berjalan. Masa lalu bukan untuk diratapi, cukup lah sebagai pengingat diri. Bahwa semua tak lagi sama.
Salah satu perang terhebat adalah perang melawan ego. Mengendapkan hawa nafsu yang kerap membelenggu. Saat Farhan memberi kabar bahwa Kiyada mengalami kecelakaan, Jihan tak berniat ambil pusing. Ia masih belum mampu berdamai dengan kenyataan.Bagi Jihan, Kiyada adalah salah satu penyebab sang kakak sering murung. Andai Kiyada menolak tawaran untuk menjadi madu dari kakaknya, pasti Shofia tetap menjadi istri tunggal. Tak harus memendam kecemburuan sebab dipoligami.Namun, nuraninya sebagai sesama manusia terketuk. Jihan berusaha sekuat tenaga membuang egonya sebagai manusia lemah. Bagaimanapun Kiyada adalah bagian dari keluarga sang kakak. Terlepas dari kehadirannya yang tak diharapkan oleh Jihan.“Kamu jangan membenci Kiyada, Dek. Dia itu yatim sejak dalam kandungan.” Ungkapan Shofia beberapa bulan lalu kembali terngiang.Akhirnya setelah meruntuhkan segala kebencian juga kekecewaan, di sini lah Jihan berada sekarang. Mendatangi wanita y
Mata teduh itu menatap Kiyada dari jarak beberapa meter. Di belakangnya Jihan berdiri dengan ekspresi yang sulit diartikan. Farhan tersenyum ke arahnya seraya mengangguk sekilas.Harusnya saat ini Kiyada bahagia bukan? Sosok yang ia harapkan telah datang ke sini. Namun, sudut hatinya masih saja terasa nyeri saat melihat luka di balik tatapan teduh itu. Jika tadi tak ada Farhan, Kiyada tak tahu bagaimana keadaannya sekarang.“Kamu tidak apa-apa?” Suara Ustaz Subhan mengalihkan perhatiannya.Kiyada menggeleng pelan. Walau kepalanya masih sedikit terasa nyeri, tetapi sungguh itu tak sebanding dengan nyeri di hatinya. Kiyada akan lebih bersyukur jika Farhan membencinya, daripada harus bermuka dua. Meski di luar seolah terlihat baik-baik saja, tetapi Kiyada tak terlalu bodoh hanya untuk melihat wajah sendu di balik senyumnya yang dulu menjadi candu.“Besok kalau sudah boleh pulang, kamu langsung pulang ke rumah, ya?”“Iya,” lirih Kiyada seraya mengangguk pelan. Kini ia fokus menatap suami
“Usia kandungan telah memasuki minggu ke empat,” ucap bidan paruh baya saat pertama kali Kiyada memeriksakan kandungannya.Dada Kiyada kembali berdebar hebat. Ia tak pernah menyangka akan segera menjadi ibu di usianya yang baru saja memasuki 20 tahun. Meski sebelumnya hasil test pack menunjukkan dua garis merah, tetapi mendengar kepastian dari bidan membuat perasaannya haru bercampur khawatir.Besok ia berencana akan pulang ke rumah dan memberi kejutan kabar bahagia ini kepada Ustaz Subhan. Tak sabar rasanya Kiyada ingin melihat ekspresi sang suami. Dalam beberapa film yang ia lihat, laki-laki selalu bahagia saat mendapat kabar hamil pertama dari istrinya.Namun, rencana yang telah ia susun rapi harus kandas begitu saja. Kejutan yang telah ia persiapkan terbengkalai sebab musibah yang dialaminya. Ustaz Subhan justru mendengar kabar kehamilan Kiyada dari orang lain.Kini di hadapannya Jihan tengah berdiri memandangnya dengan tatapan memohon.“Ustazah Shofia meminta saya untuk menjadi m
Malam ini Kiyada merasa dirinya bagaikan ratu. Ustaz Subhan melayani segala kebutuhannya dengan sangat baik. Bahkan untuk pertama kali sang suami menyuapinya makan malam.Besok pagi dokter telah memperbolehkan Kiyada untuk pulang, dengan syarat harus istirahat total selama satu minggu. Tampaknya Kiyada harus merelakan jam kuliahnya untuk sementara.“Kuliahkan kan bisa lewat via online,” bujuk Ustaz Subhan dengan lembut saat Kiyada mengkhawatirkan jadwal kuliahnya akan terbengkalai.Kiyada hanya bisa mengangguk patuh. Mungkin ini adalah saatnya ia menikmati masa-masa kehamilan pertamanya. Sesuatu yang belum tentu bisa terulang di masa mendatang.Saat Subuh menyapa, pemandangan yang pertama kali Kiyada lihat adalah Ustaz Subhan yang tengah khusuk berdzikir. Salah satu hal yang paling disukai Kiyada adalah menatap punggung sang suami ketika sibuk bercengkrama dengan Tuhannya. Di bawah bimbingan sosok Ustaz Subhan, Kiyada yakin anaknya akan bangga memiliki ayah seperti beliau.“Kamu mau s
Tak ada wanita yang benar-benar rela jika harus berbagi rasa. Bahkan jika itu atas nama agama sekalipun. Rasa cemburu, cemas, dan khawatir itu pasti ada. Wanita memang lihai menutupi rasa cinta, tetapi begitu sulit mengendalikan cemburu di dada.“Kamu nggak akan pernah bisa bersandiwara di depanku, Shofi.”Satu kalimat yang berhasil membuat pertahanan Shofia jebol seketika. Air mata yang sekuat tenaga ia sembunyikan, perlahan mengaliri pipi bak pualam miliknya. Kembali ia tergugu dalam dekapan sang suami.“Kita tak perlu melakukan semua ini, Sayang. Aku nggak mau melihat kamu terluka.”“Aku tidak apa-apa, Mas. Ini hanya perasaan sesaat, nanti jika sudah terbiasa akan memudar dengan sendirinya.” Tercekat suara Shofia saat mengungkapkan kata-kata yang ia sendiri tak yakin akan hal itu.Serangkaian momen sebelum Ustaz Subhan menikahi Kiyada kembali berkelebat. Tak tega rasanya memberitahu Shofia perihal kehamilan Kiyada. Sebagai sosok yang telah delapan tahun mengarungi rumah tangga bers
Sang mentari kian menaiki cakrawala. Udara pagi yang sejuk mulai tercampur polusi kendaraan bermotor. Para pekerja juga pelajar seakan berlomba-lomba berkejaran dengan sang waktu.Setelah semalam Jihan mendengar fakta mengejutkan tentang hubungan Kiyada dan Farhan di masa lalu, pagi ini abah memaksanya untuk menjenguk wanita tersebut. Sepertinya Ustaz Subhan yang memberitahu abah perihal kecelakaan yang dialami Kiyada.“Kamu jenguk Kiyada kalau dia sudah pulang. Kasihan dia sudah tak memiliki keluarga lagi,” tutur abah saat Jihan tiba di rumah tadi malam.Jihan hanya mengangguk samar dengan ekspresi datar. Terlalu banyak peristiwa yang menguras emosi sejak siang tadi. Mulai dari kabar kecelekaan Kiyada, kehamilan wanita itu, juga masa lalunya dengan Farhan.Jihan sadar betul, ia bukan wanita kalem dan lemah lembut seperti kakaknya. Selama ini ia cukup kesulitan untuk menyembunyikan raut jutek di depan orang yang tak disukainya. Ia bukan wanita berhati malaikat yang dengan mudahnya men