“Kamu sudah sadar, Ki?” Farhan tersenyum samar.
Kiyada mengerjap beberapa kali, ia berusaha bangkit tetapi kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri. “Aku di mana?”“Di rumah sakit. Tadi kamu terserempet pengendara motor.” Farhan berkata lembut seraya menampilkan senyum menawannya.Suasana ruangan mendadak sunyi sepi. Baik Kiyada maupun Farhan sama-sama saling terdiam. Mengeja rasa yang belum sepenuhnya sirna. Meresapi takdir yang terasa getir, juga mengubur mimpi yang terlanjur membumbung tinggi.Namun, bagaimanapun semua adalah rencana terindah dari-Nya. Allah adalah sebaik-baik perancang skenario kehidupan. Tak ada doa yang sia-sia, segala semoga pasti memiliki jawabannya. Tugas kita adalah menjalani semua dengan sebaik-baik penerimaan.Sedih juga kecewa pasti ada, itulah yang coba diredam oleh Kiyada juga Farhan. Sebab hidup harus terus berjalan. Masa lalu bukan untuk diratapi, cukup lah sebagai pengingat diri. Bahwa semua tak lagi sama.<Salah satu perang terhebat adalah perang melawan ego. Mengendapkan hawa nafsu yang kerap membelenggu. Saat Farhan memberi kabar bahwa Kiyada mengalami kecelakaan, Jihan tak berniat ambil pusing. Ia masih belum mampu berdamai dengan kenyataan.Bagi Jihan, Kiyada adalah salah satu penyebab sang kakak sering murung. Andai Kiyada menolak tawaran untuk menjadi madu dari kakaknya, pasti Shofia tetap menjadi istri tunggal. Tak harus memendam kecemburuan sebab dipoligami.Namun, nuraninya sebagai sesama manusia terketuk. Jihan berusaha sekuat tenaga membuang egonya sebagai manusia lemah. Bagaimanapun Kiyada adalah bagian dari keluarga sang kakak. Terlepas dari kehadirannya yang tak diharapkan oleh Jihan.“Kamu jangan membenci Kiyada, Dek. Dia itu yatim sejak dalam kandungan.” Ungkapan Shofia beberapa bulan lalu kembali terngiang.Akhirnya setelah meruntuhkan segala kebencian juga kekecewaan, di sini lah Jihan berada sekarang. Mendatangi wanita y
Mata teduh itu menatap Kiyada dari jarak beberapa meter. Di belakangnya Jihan berdiri dengan ekspresi yang sulit diartikan. Farhan tersenyum ke arahnya seraya mengangguk sekilas.Harusnya saat ini Kiyada bahagia bukan? Sosok yang ia harapkan telah datang ke sini. Namun, sudut hatinya masih saja terasa nyeri saat melihat luka di balik tatapan teduh itu. Jika tadi tak ada Farhan, Kiyada tak tahu bagaimana keadaannya sekarang.“Kamu tidak apa-apa?” Suara Ustaz Subhan mengalihkan perhatiannya.Kiyada menggeleng pelan. Walau kepalanya masih sedikit terasa nyeri, tetapi sungguh itu tak sebanding dengan nyeri di hatinya. Kiyada akan lebih bersyukur jika Farhan membencinya, daripada harus bermuka dua. Meski di luar seolah terlihat baik-baik saja, tetapi Kiyada tak terlalu bodoh hanya untuk melihat wajah sendu di balik senyumnya yang dulu menjadi candu.“Besok kalau sudah boleh pulang, kamu langsung pulang ke rumah, ya?”“Iya,” lirih Kiyada seraya mengangguk pelan. Kini ia fokus menatap suami
“Usia kandungan telah memasuki minggu ke empat,” ucap bidan paruh baya saat pertama kali Kiyada memeriksakan kandungannya.Dada Kiyada kembali berdebar hebat. Ia tak pernah menyangka akan segera menjadi ibu di usianya yang baru saja memasuki 20 tahun. Meski sebelumnya hasil test pack menunjukkan dua garis merah, tetapi mendengar kepastian dari bidan membuat perasaannya haru bercampur khawatir.Besok ia berencana akan pulang ke rumah dan memberi kejutan kabar bahagia ini kepada Ustaz Subhan. Tak sabar rasanya Kiyada ingin melihat ekspresi sang suami. Dalam beberapa film yang ia lihat, laki-laki selalu bahagia saat mendapat kabar hamil pertama dari istrinya.Namun, rencana yang telah ia susun rapi harus kandas begitu saja. Kejutan yang telah ia persiapkan terbengkalai sebab musibah yang dialaminya. Ustaz Subhan justru mendengar kabar kehamilan Kiyada dari orang lain.Kini di hadapannya Jihan tengah berdiri memandangnya dengan tatapan memohon.“Ustazah Shofia meminta saya untuk menjadi m
Malam ini Kiyada merasa dirinya bagaikan ratu. Ustaz Subhan melayani segala kebutuhannya dengan sangat baik. Bahkan untuk pertama kali sang suami menyuapinya makan malam.Besok pagi dokter telah memperbolehkan Kiyada untuk pulang, dengan syarat harus istirahat total selama satu minggu. Tampaknya Kiyada harus merelakan jam kuliahnya untuk sementara.“Kuliahkan kan bisa lewat via online,” bujuk Ustaz Subhan dengan lembut saat Kiyada mengkhawatirkan jadwal kuliahnya akan terbengkalai.Kiyada hanya bisa mengangguk patuh. Mungkin ini adalah saatnya ia menikmati masa-masa kehamilan pertamanya. Sesuatu yang belum tentu bisa terulang di masa mendatang.Saat Subuh menyapa, pemandangan yang pertama kali Kiyada lihat adalah Ustaz Subhan yang tengah khusuk berdzikir. Salah satu hal yang paling disukai Kiyada adalah menatap punggung sang suami ketika sibuk bercengkrama dengan Tuhannya. Di bawah bimbingan sosok Ustaz Subhan, Kiyada yakin anaknya akan bangga memiliki ayah seperti beliau.“Kamu mau s
Tak ada wanita yang benar-benar rela jika harus berbagi rasa. Bahkan jika itu atas nama agama sekalipun. Rasa cemburu, cemas, dan khawatir itu pasti ada. Wanita memang lihai menutupi rasa cinta, tetapi begitu sulit mengendalikan cemburu di dada.“Kamu nggak akan pernah bisa bersandiwara di depanku, Shofi.”Satu kalimat yang berhasil membuat pertahanan Shofia jebol seketika. Air mata yang sekuat tenaga ia sembunyikan, perlahan mengaliri pipi bak pualam miliknya. Kembali ia tergugu dalam dekapan sang suami.“Kita tak perlu melakukan semua ini, Sayang. Aku nggak mau melihat kamu terluka.”“Aku tidak apa-apa, Mas. Ini hanya perasaan sesaat, nanti jika sudah terbiasa akan memudar dengan sendirinya.” Tercekat suara Shofia saat mengungkapkan kata-kata yang ia sendiri tak yakin akan hal itu.Serangkaian momen sebelum Ustaz Subhan menikahi Kiyada kembali berkelebat. Tak tega rasanya memberitahu Shofia perihal kehamilan Kiyada. Sebagai sosok yang telah delapan tahun mengarungi rumah tangga bers
Sang mentari kian menaiki cakrawala. Udara pagi yang sejuk mulai tercampur polusi kendaraan bermotor. Para pekerja juga pelajar seakan berlomba-lomba berkejaran dengan sang waktu.Setelah semalam Jihan mendengar fakta mengejutkan tentang hubungan Kiyada dan Farhan di masa lalu, pagi ini abah memaksanya untuk menjenguk wanita tersebut. Sepertinya Ustaz Subhan yang memberitahu abah perihal kecelakaan yang dialami Kiyada.“Kamu jenguk Kiyada kalau dia sudah pulang. Kasihan dia sudah tak memiliki keluarga lagi,” tutur abah saat Jihan tiba di rumah tadi malam.Jihan hanya mengangguk samar dengan ekspresi datar. Terlalu banyak peristiwa yang menguras emosi sejak siang tadi. Mulai dari kabar kecelekaan Kiyada, kehamilan wanita itu, juga masa lalunya dengan Farhan.Jihan sadar betul, ia bukan wanita kalem dan lemah lembut seperti kakaknya. Selama ini ia cukup kesulitan untuk menyembunyikan raut jutek di depan orang yang tak disukainya. Ia bukan wanita berhati malaikat yang dengan mudahnya men
“Kak Shofi minta uang dong,” rengek Jihan saat ia akan pergi bersama teman-temannya.Shofia masih fokus dengan PC di hadapannya, bersikap tuli dengan rengekan Jihan yang selalu meminta uang tiap mau keluar. Padahal saku yang diberikan abah bisa dibilang lebih dari cukup tiap minggunya.Tak putus asa, Jihan kini meraih PC di depan Shofia. Gadis itu tak akan berhenti merajuk jika permintaannya tak dituruti.“Kemarin kan sudah dikasih uang sama Abah, Jihan.” Shofia menekan suaranya.Ketika Jihan dan Shofia mulai berdebat masalah uang jajan, maka Ustaz Subhan yang selalu menjadi penengah antara keduanya. Tanpa banyak berkata-kata laki-laki tersebut akan memberikan sejumlah uang pada Jihan.“Jangan pelit sama adik sendiri.” Begitulah jawaban yang diberikan Ustaz Subhan tiap kali Shofia memprotes tindakannya yang terlalu royal pada Jihan.“Mas Subhan memang kakak aku yang paaliing baik.” Jihan melirik sekilas pada Shofia seraya menjulurkan lidah.Jika mengingat masa-masa itu Ustaz Subhan me
Hari-hari yang dilalui Kiyada selama masa pemulihan terasa membosankan. Ustaz Subhan benar-benar melarangnya terlalu banyak bergerak, kecuali dalam beberapa hal yang cukup mendesak saja.Bahkan sang suami mengurangi undangan ceramah di luar kota. Meski begitu, tak serta merta membuat Ustaz Subhan lebih sering berada di rumah bersama Kiyada. Laki-laki tersebut memakai jasa asisten rumah tangga yang berangkat pagi dan pulang sore dari rumah Kiyada.“Malam ini aku ada rapat di pesantren. Kamu mau ikut ke sana atau di rumah saja?”Siang itu Ustaz Subhan dan Shofia tengah bersantai di ruang tengah. Keduanya tengah menonton televisi dengan Kiyada yang berbaring di pangkuan Ustaz Subhan. Semenjak hamil entah mengapa Kiyada sangat menikmati aroma tubuh Ustaz Subhan.Kiyada terdiam sejenak, menimbang tawaran cukup menarik dari sang suami. Dari dulu Kiyada begitu memimpikan belajar di pesantren. Hanya saja keadaan tak memungkinkan ia untuk tinggal jauh dari ibu dalam kurun waktu yang tidak sebe