***
Aku pikir semua yang terjadi kemarin hanya lah sebuah mimpi. Namun, nyatanya aku salah. Hendri telah tiada dan Andin akan segera menjadi maduku.
Ibu, Bapak dan Mas Rafa memohon padaku agar menyetujui permintaan Hendri saat napas Hendri terasa semakin memendek. Andin pun melakukan hal yang sama. Wanita itu bahkan bersujud di kakiku. Berjanji bila aku menerimanya sebagai madu, maka ia akan bersikap baik kepadaku.
Sungguh bukan itu sebenarnya yang membuatku enggan di madu, tetapi hatiku yang tidak siap. Aku tak sanggup seseorang masuk ke dalam rumah tangga kami.
Lalu, Ibu memberi pilihan untuk bercerai saja dari Mas Rafa jika tak ingin di madu. Dan, Naura akan diasuh oleh mereka. Semakin hancur hatiku mendengar pilihan itu. Aku tidak bisa berpisah dari Naura. Oleh karena itu aku akhirnya menerima Andin sebagai istri Kedua Mas Rafa. Andin juga berjanji untuk selalu menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa.
Kemarin pula aku berjanji di depan Hendri bahwa Andin akan segera dinikahkan dengan Mas Rafa begitu masa idahnya selesai. Sampai akhirnya, Hendri mengembuskan napas terakhirnya.
Hendri langsung di makamkan kemarin pula.
Namun, hari ini rumah Ibu mertuaku masih dipenuhi kesedihan atas meninggalnya Hendri. Jujur aku juga merasa kehilangan meski Hendri kerap kali mengecewakan. Bagaimanapun juga dia tetap adik iparku.
Dari jarak Lima langkah aku melihat Mas Rafa sedang berusaha menenangkan Andin.
"Sabar ya Andin, Mas Rafa di sini. Mas akan berusaha menjaga amanat Handri," ucap Mas Rafa sembari memeluk Andin. Tentu aku harus menahan rasa cemburu karena Andin membutuhkan Mas Rafa meski mereka belum resmi menjadi pasangan suami istri. Sudah seharusnya Mas Rafa menyayangi Andin seperti yang Hendri harapkan.
Aku mendekat setelah membiarkan Naura menyusul neneknya keluar. Seperti yang Mas Rafa lakukan, aku pun ikut mendekap bahu Andin. "Iya, Ndi, kamu yang sabar ya. Mbak juga akan jagain kamu seperti adik sendiri," ucapku ikut menenangkan.
Andin yang masih menangis menoleh padaku. "Terima kasih, Mbak," balasnya. Lalu kembali menoleh pada Mas Rafa. "Mas, tolong temanin aku ke kamar," pintanya.
Mas Rafa menoleh padaku, seperti meminta izin. Aku hanya bisa mengangguk mengiakan. Mereka berdua pun menuju kamar yang dulu Andin dan Hendri tempati. Kugigit bibirku kuat saat pintu kamar ditutup oleh Mas Rafa ketika keduanya masuk ke sana. Ada gejolak rasa cemburu di hati ini, tetapi sebisa mungkin aku menepisnya. Semua demi amanat Hendri yang terlanjur aku setujui. Semua demi Naura yang seharusnya mendapatkan kasih sayang utuh.
***
Hari-hari berlalu setelah itu. Tidak terasa Dua bulan sudah Hendri meninggalkan dunia ini. Andin pun telah tinggal di rumah kami. Dia resmi menjadi istri kedua suamiku.
Andin sangat manja pada Mas Rafa. Dia selalu membutuhkan Mas Rafa. Dia juga tak pernah mengerjakan pekerjaan rumah seperti diriku. Hal itu aku maklumi karena berpikir Andin masih sedih pasca Hendri meninggal.
Namun, rasa maklum itu hilang kala memasuki bulan Ketiga. Sikap Andin mulai terlihat keasliannya.
"Ndin, Naura rindu Ayahnya," ucapku membuka obrolan pagi itu bersamanya di dapur saat kami berpas-pasan ingin minum.
"Maksud Mbak Zahra?" Andin bertanya. Aku tersenyum lembut membalas kebingungannya.
"Biarkan Mas Rafa tidur di kamar kami malam ini ya? Kamu pasti sudah bisa tidur sendiri, kan," pintaku dengan baik-baik.
Namun, tahu apa balasannya? Andin mengempaskan gelas yang ia pegang ke atas meja. Beruntung gelas tersebut tak sampai pecah. Sungguh aku terkejut melihatnya.
"Mbak nggak lihat aku masih sedih begini?" tanyanya sambil menatap tajam diriku.
Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa maduku berubah kasar seperti ini hanya karena aku ingin Mas Rafa menginap di kamarku malam nanti. Semua juga karena Naura yang hampir setiap malam menanyakan keberadaan ayahnya. Aku kasihan padanya hingga bicara baik-baik pada Andin. Namun, balasannya justru sebaliknya.
"Mbak nggak kasihan sama aku? Kalau bukan Mas Hendri meninggal, aku juga nggak akan menikah dengan Mas Rafa begini!" ujar madu wasiat adik iparku itu.
Jantungku berdebar kencang mendengar kata demi kata yang dia keluarkan. Ke mana sikap santunnya? Bukankah dia berjanji akan menghargaiku sebagai istri pertama Mas Rafa? Tapi, kenapa dia seolah menjadi ratu di rumah ini? Seenaknya sendiri tanpa memikirkan perasaanku dan Naura. Aku saja terkejut karena Mas Rafa tak lagi tidur sekamar denganku, bagaimana dengan Naura? Tentu ia bertanya-tanya kenapa ayahnya tak lagi bersama kami.
"Oh, atau Mbak cemburu karena setiap malam Mas Rafa tidur di kamarku?"
Mendengar itu membuatku kesal. "Andin!" ujarku bermaksud mendegurnya. Namun, suara lain ikut membentak setelah itu. "Ada apa ini?" Mas Rafa, dia pemilik pertanyaan itu.
Aku menoleh, sedangkan Andin tiba-tiba berlari lalu memeluk Mas Rafa mesra. "Mas tolongin, Mbak Zahra bentak-bentak aku," adunya. "Mbak Zahra nggak suka Mas Rafa tidur di kamarku setiap malam. Padahal kan aku masih butuh Mas Rafa," ucapnya melanjutkan.
Aku terdiam, tak menyangka Andin akan mengadu seperti itu pada Mas Rafa. Kini aku tahu tujuan Andin menjadi istri Kedua Mas Rafa. Dia ingin menjadi ratu setelah menjadi madu. Aku yang tertipu karena mempercayai janjinya waktu itu.
.
.
Bersambung.
*** Tiga tahun kemudian hidupku cukup memiliki perubahan. Dalam ruang sidang waktu itu sungguh bukan pertemuan terakhirku dengan mas Rafa. Sesuai janji, aku mengizinkannya untuk bertemu Naura sekira dia rindu. Dan, benar saja mas Rafa intens bertemu Naura dalam tahun pertama perpisahan kami. Lalu tahun-tahun berikutnya beberapa kali dia menemui Naura karena dia akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar Kota. Sementara kepada Andin, aku benar-benar iba karena wanita itu menjadi gila. Setelah diceraikan oleh mas Rafa, Andin turut kehilangan anaknya. Bayi perempuan itu meninggal dunia karena sakit. Andin kehilangan kewarasannya hingga terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beberapa kali aku datang ke sana hanya sekadar untuk menjenguknya. Andin selalu meracau, meminta maaf karena gagal menjadi seorang ibu. Sesekali dia juga berkata kasar tentangku, mungkin karena dirinya masih memiliki dendam. Namun, hal itu tak membuatku membencinya. Aku justru merasa sangat iba. Oleh karena itu, setia
*** “Rafa akhirnya lepasin kamu, Ra?” tanya Sabrina saat pertama kali aku datang ke apartemennya setelah pamit menjemput koper. Aku mengembuskan napas dengan berat. Entah harus mulai dari mana aku bercerita, tetapi aku tahu Sabrina ingin mendengar semuanya. “Sab jangan terkejut,” ucapku sambil menyimpan koper secara sembarangan. Aku mengempaskan diri ke sofa ruang tamu, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Naura. “Lagi main di kamarku. Ada apa?” Sabrina seakan paham apa yang sedang aku lakukan. Aku pun mengangguk singkat sambil mengembuskan napas lega. Mataku kini fokus pada Sabrina. “Mas Rafa menjatuhkan talak pada Andin lebih dulu,” terangkan. Pupil mata Sabrina melebar mendengar itu. “Apa?” tanyanya tidak percaya. “Mas Rafa tahu soal perselingkuhan Andin. Ditambah tadi dia bilang Andin tidur dengan banyak pria,” “Huh?” Sabrina belum juga reda dari terkejutnya. “Tapi nggak aneh sih, madumu itu kan memang suka sama banyak lelaki,” kekehnya melanjutkan. Aku hanya mengedikan
***Pertengkaran itu terjeda saat Andin datang mendekat dari arah kamarnya. Sejenak aku menoleh dan sadar tujuan Andin jelas ke arahku dan mas Rafa.Kutarik napas dalam-dalam saat dia dengan sengaja berhenti di sisi mas Rafa sambil bersedekap dada. Biar kutebak, Andin senang melihat pertengkaran kami ini. Namun, aku benar-benar tidak peduli. Kembali aku menatap Mas Rafa, tanpa ekspresi, seolah segala rasa sakit tak dapat lagi kugambarkan lewat tatapan. "Tukang selingkuh seperti Mas tidak berhak bertanya seperti itu kepadaku," balasku tegas. Mas Rafa terlihat terkejut. Ia menatapku dengan pupil mata yang melebar, lalu menoleh pada Andin yang tersenyum sinis sembari menundukan pandangannya. "Kamu masih membahas soal itu?" tanyanya seakan perselingkuhannya bukan dalang terbesar hingga membuatku ingin berpisah seperti ini. Kalau saja boleh aku meludah di depannya, maka mungkin sekarang aku akan meludah. Namun, aku masih memiliki etika dan sopan santun. "Tidak usah bertanya seperti itu
***Aku tak main-main soal ucapanku yang ingin mengadukan perbuatan mas Rafa. Sehari setelah perdebatan kecil kami, aku tak segan memberinya peringatan sekali lagi. Hanya saja dia tetap tidak peduli. Dirinya masih keras kepala ingin mempertahankanku dan pernikahan kami.Lalu hari ini rencanaku sudah benar-benar bulat ingin pergi.“Bu, kita mau ke mana?” tanya Naura. Iya, kini aku tengah sibuk memasukan semua pakaian ke dalam koper.“Pergi Nak, sudah saatnya kita tinggalkan rumah ini,” jawabku tegas. Naura terdiam. Dia menunduk dalam saat aku menoleh padanya. Mungkinkah hatinya sedih karena pada akhirnya aku dan ayahnya akan berpisah? Mendadak rasa bersalah menyelimuti hati kecilku. Namun, aku tak bisa mengalah kali ini.“Maafkan Ibu ya Nau,” ucapku sembari memeluknya. Naura lagi-lagi diam. Aku menarik napas dalam-dalam. “Ibu antar ke rumah tante Sabrina ya Nau.” Aku raih tangannya sambil tersenyum, berharap senyum ini dapat menenangkan hatinya yang gelisah.Naura akhirnya mengangguk p
***“Aku tetap tidak mengizinkan, Zahra!” ujar mas Rafa keras kepala. “Sebaiknya kamu masuk ke kamarmu sekarang.” Dia memalingkan wajahnya setelah mengatakan itu. Aku menggeleng tak percaya, dirinya masih saja tak ingin melepaskanku setelah apa yang dia lakukan. “Mas!” Rasanya aku sudah tak tahan lagi.Namun, terpaksa aku menghentikan perdebatan ini saat Naura terdengar memaksa Rani untuk keluar dari kamar kami. Kutarik napas dalam, lalu aku embuskan secara perlahan. Kubawa langkahku pergi dari ruang tamu, akan tetapi bukan berarti aku setuju untuk tetap mempertahankan rumah tangga kami.“Ibu!” panggil Naura saat aku membuka pintu. Mata gadis kecilku itu terlihat memerah, menahan tangis. Kupeluk dia dengan erat. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya. Terpaksa kepala ini mengangguk agar dia tak khawatir.Aku alihkan pandanganku kepada Rani. Kulihat gadis itu menggigit bibirnya. “Aku nggak apa-apa, Ran. Terima kasih ya sudah menjaga Naura untukku,” ucapku tulus. Rani mengangguk singkat.“Sekar
***Sesuai yang ibunya mas Rafa katakan, beliau membawaku ke rumah sakit setelah itu. Tak lupa aku menelpon Sabrina agar dia datang menemani. Namun, ternyata dia tak datang sendirian. Ada Arlan dan Ari bersamanya.“Ini udah keterlaluan banget sih, Ra! Beraninya Rafa mukulian kamu sampai berdarah-darah!” ujar Sabrina marah. Dia tampak tak peduli meskipun ibu mertuaku juga ada di ruangan yang sama dengan kami.“Sab,” tegurku merasa tak tega melihat ekspresi bersalah di wajah Ibu. Mungkin dia sekarang sadar anak yang dia bela sanggup memukuli seorang wanita.Sabrina melirik malas ke arah ibu. “Maaf Bu, tapi sebagai satu-satunya sahabat Zahra dan satu-satunya keluarga baginya, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan laporin masalah ini ke pihak berwajib!” tegasnya.Aku meringis. “Sudah Sabrina, cukup. Masalah ini kita bicarakan nanti saja,” pintaku memohon pengertiannya.Namun, aku lihat Ibu menggelengkan kepalanya. “Zahra benar kamu mau pisah dari Rafa?” tanyanya dengan mata yang berkaca-k