Beranda / Rumah Tangga / Madu Wasiat Adik Iparku / Bab 1: Duri Paling Menyakitkan

Share

Madu Wasiat Adik Iparku
Madu Wasiat Adik Iparku
Penulis: Foverflows

Bab 1: Duri Paling Menyakitkan

Penulis: Foverflows
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-16 08:15:54

***

Aku sedang memasak di dapur saat Mas Rafa berpamitan untuk pulang ke rumah mertuaku yang juga adalah Ayah dan Ibunya. 

Aku heran kenapa suamiku itu tampak terburu-buru. Akhirnya aku pun melayangkan tanya ke arahnya. "Ada apa, Mas? Kenapa Mas nggak sarapan dulu?" tanyaku penasaran. 

Kebetulan hari ini adalah hari minggu, sehingga Mas Rafa tidak bekerja. Seharusnya ia santai di rumah saja. Namun, lihat lah dirinya, terlihat cepat-cepat mengenakan jaket dan sepatunya. Hal itu jelas membuatku curiga. 

"Hendri sakit, Dek!" Mas Rafa melirik padaku sekilas. 

Mendengar itu aku segera mematikan kompor yang masih menyala. "Sakit lagi, Mas?" tanyaku meminta penjelasan. 

Kini suamiku itu sudah siap untuk berangkat. Dia melangkah menuju pintu keluar. Aku pun menyusulnya. "Kata Ibu sakitnya lebih parah dari biasa. Nanti kamu nyusul ya, Mas berangkat duluan!" Ia mengulurkan tangan untuk memintaku menyalaminya seperti biasa. 

Aku pun hanya bisa mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas." Nasihatku yang langsung diangguki olehnya. 

Kendaraan roda Empat miliknya itu membawanya pergi dari rumah ini. Aku menghela napas dengan berat. Entah kenapa perasaanku kini terasa sangat tidak tenang. Seolah akan ada sesuatu yang besar menimpa keluarga kami. 

"Ibu, Ayah ke mana?" 

Aku terkejut begitu mendengar suara Naura memanggilku untuk menanyakan ke mana Ayahnya. 

Aku menghampirinya sembari mengusap dada. "Ayah ke rumah Nenek duluan. Nanti kita nyusul ya Nak," ucapku. 

Si kecil Naura yang masih berumur Lima tahun itu menganggukan kepalanya. Aku pun memintanya untuk bermain di ruang tamu saja. Sementara aku melanjutkan masakanku yang sempat tertunda. 

Sekitar Satu jam kemudian semua pekerjaan sudah beres. Naura juga sudah mandi dan aku suapi. Namun, aku sendiri belum makan karena tak memiliki selera mengingat apa yang Mas Rafa katakan pagi tadi. 

Jujur, aku sudah tak sabar ingin menyusulnya ke rumah mertuaku di mana adik iparku itu tinggal bersama istrinya. 

"Nau, kita langsung ke rumah Nenek ya. Tapi, janji sama Ibu jangan nakal karena Om Hendri sedang sakit!" 

Naura tampak menuruti perintahku. Lalu kami pun meninggalkan rumah dengan mobilku sendiri. 

Sekitar setengah jam kemudian aku dan putriku sampai di rumah mertuaku. Dapat kudengar suara tangisan Andin dari dalam. Dia istri adik iparku. Mendengar itu membuatku semakin tak sabar untuk masuk ke dalam rumah. Segera kugendong Naura dan berlari ke sumber suara. 

"Assalamu'alaikum. Maaf Bu, Zahra baru sampai. Apa yang terjadi pada Hendri, Bu?" tanyaku pada Ibu mertuaku yang langsung menyambutku itu. 

Ibu menangis kulihat. "Ibu juga tidak mengerti. Semalam dia masih baik-baik saja, Zahra. Tapi, pagi ini dia sakit parah," jelasnya. 

Kulihat Mas Rafa sedang mencoba menenangkan Andin. Aku abaikan perasaan cemburuku saat melihatnya memeluk perempuan itu. Bagaimanapun juga Andin sedang membutuhkannya. "Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit saja, Bu?" tanyaku setelah kembali menoleh pada Ibu. 

Tiba-tiba Bapak datang dari luar kamar. "Kami memang akan membawanya ke rumah sakit, Zahra," ucapnya menimpali. 

Mas Rafa berdiri aku lihat. Lalu mengangguk pada Bapak. Ia sempat melirikku sebentar. Tampak jelas kesedihan bersarang di matanya, membuatku ikut merasakannya. 

Lalu, saat itu juga Hendri dibawa ke rumah sakit. Namun, setelah ditangani oleh pihak medis, Hendri tak memiliki kemajuan apa-apa. Hendri masih tampak lemah dan terpejam. Sampai akhirnya ia sadar dan menancapkan duri di hatiku untuk yang kesekian kalinya. 

Iya, biar aku ceritakan bagaimana sikap Hendri selama ini dalam keluarga kecilku. Hendri sangat dekat dengan Mas Rafa hingga kadang tak segan memintanya ini dan itu. Bahkan sering meminta Mas Rafa mengantar jemput Andin kala ia tidak bisa. 

Selama ini aku berusaha memaklumi setiap kali Hendri meminta tolong pada Mas Rafa untuk membantu Andin dikala dia tidak bisa. Namun, kali ini aku benar-benar tak bisa membiarkannya. 

"Mas, tolong jadikan istriku madu untuk istrimu. Jaga Andin untukku, Mas, karena aku yakin hidupku tak akan lama lagi," 

Begitu kata Hendri setelah ia mendapatkan kesadarannya. Tak hanya aku yang terkejut mendengar itu, tetapi Ibu mertuaku dan Mas Rafa pun merasakan hal yang sama. 

Sementara Andin hanya diam saja. Ia sibuk mengelap airmatanya. 

"Hendri, kamu nggak bisa maksa Mas Rafa begitu. Mbak nggak setuju!" ujarku menolak permintaan adik iparku itu. Demi apapun aku rela dia menancapkan duri lainnya selain Andin harus menjadi maduku. Sungguh aku tidak terima kenyataan itu. 

"Andin bisa mengurus hidupnya sendiri kalau memang waktumu di dunia ini tak lama lagi, Hendri," 

"Zahra!" bentak Mas Rafa saat aku mengatakan kata-kata kasar kepada Hendri. Maafkan aku karena tak bisa menahan gejolak emosi ini. "Maaf, Mas," ucapku. "Tapi, aku nggak bisa terima permintaan Hendri," tegasku. 

Hendri tampak memejamkan matanya. Napasnya terlihat tak beraturan hingga membuat semua orang cemas. Ibu sudah menangis didekatnya, dan Andin semakin takut kehilangan Hendri. Entahlah.  

"Zahra, Ibu mohon turuti saja permintaan Hendri. Ibu pun merasa hidup Hendri sudah tidak lama lagi," Tiba-tiba Ibu menghampiriku dan mengatakan itu. Dadaku terasa sesak. Kenapa Ibu mendukung Hendri? 

Aku menoleh pada Mas Rafa, dan dia hanya memandangku dengan penuh permohonan. Kakiku mundur selangkah. Naura yang aku gendong hampir saja jatuh andai Bapak dan mengambil alih dirinya dariku. "Turuti saja permintaan terakhir adik iparmu, Zahra. Selama ini Bapak sangat menyayangimu. Sekali ini tolong setujui Hendri demi Bapak," ucapnya sambil menggendong Naura. 

Ya Tuhan, kenapa semua orang menyerangku begini? Bapak, Ibu, bahkan Mas Rafa pun setuju menjadikan Andin sebagai maduku. 

Jatuh airmataku karena tak ada yang peduli pada perasaanku. 

"S-saya mohon, M-mbak," pinta Hendri dengan suaranya yang terbata. Aku menggeleng, menolak permohonannya itu. 

Mas Rafa mendekatiku, lalu tiba-tiba bersujud di kakiku. "Aku mohon, Dek. Demi Hendri," ucapnya. 

Aku tahu suamiku mampu melakukan ini mengingat betapa ia menyayangi adiknya itu. Namun, tegakah dia menduakanku? Tegakah ia menyakitiku dengan menikahi perempuan lain? Hanya itu yang kini membuatku menggelengkan kepala, tak percaya bahwa Mas Rafa sanggup menodai cinta suci kami berdua. 

"Apa Ibu perlu bersyujud di kakimu juga, Zahra?" 

Ibu mertua yang sangat aku sayangi pun ikut menyudutkanku. Semakin deras airmataku mengalir. Sakit sekali. Aku seperti dikhianati secara bersamaan oleh mereka semua. 

Bersambung. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Madu Wasiat Adik Iparku   Bab 75: Jodoh (END)

    *** Tiga tahun kemudian hidupku cukup memiliki perubahan. Dalam ruang sidang waktu itu sungguh bukan pertemuan terakhirku dengan mas Rafa. Sesuai janji, aku mengizinkannya untuk bertemu Naura sekira dia rindu. Dan, benar saja mas Rafa intens bertemu Naura dalam tahun pertama perpisahan kami. Lalu tahun-tahun berikutnya beberapa kali dia menemui Naura karena dia akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar Kota. Sementara kepada Andin, aku benar-benar iba karena wanita itu menjadi gila. Setelah diceraikan oleh mas Rafa, Andin turut kehilangan anaknya. Bayi perempuan itu meninggal dunia karena sakit. Andin kehilangan kewarasannya hingga terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beberapa kali aku datang ke sana hanya sekadar untuk menjenguknya. Andin selalu meracau, meminta maaf karena gagal menjadi seorang ibu. Sesekali dia juga berkata kasar tentangku, mungkin karena dirinya masih memiliki dendam. Namun, hal itu tak membuatku membencinya. Aku justru merasa sangat iba. Oleh karena itu, setia

  • Madu Wasiat Adik Iparku   Bab 74: SAH

    *** “Rafa akhirnya lepasin kamu, Ra?” tanya Sabrina saat pertama kali aku datang ke apartemennya setelah pamit menjemput koper. Aku mengembuskan napas dengan berat. Entah harus mulai dari mana aku bercerita, tetapi aku tahu Sabrina ingin mendengar semuanya. “Sab jangan terkejut,” ucapku sambil menyimpan koper secara sembarangan. Aku mengempaskan diri ke sofa ruang tamu, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Naura. “Lagi main di kamarku. Ada apa?” Sabrina seakan paham apa yang sedang aku lakukan. Aku pun mengangguk singkat sambil mengembuskan napas lega. Mataku kini fokus pada Sabrina. “Mas Rafa menjatuhkan talak pada Andin lebih dulu,” terangkan. Pupil mata Sabrina melebar mendengar itu. “Apa?” tanyanya tidak percaya. “Mas Rafa tahu soal perselingkuhan Andin. Ditambah tadi dia bilang Andin tidur dengan banyak pria,” “Huh?” Sabrina belum juga reda dari terkejutnya. “Tapi nggak aneh sih, madumu itu kan memang suka sama banyak lelaki,” kekehnya melanjutkan. Aku hanya mengedikan

  • Madu Wasiat Adik Iparku   Bab 73: Selamat Tinggal

    ***Pertengkaran itu terjeda saat Andin datang mendekat dari arah kamarnya. Sejenak aku menoleh dan sadar tujuan Andin jelas ke arahku dan mas Rafa.Kutarik napas dalam-dalam saat dia dengan sengaja berhenti di sisi mas Rafa sambil bersedekap dada. Biar kutebak, Andin senang melihat pertengkaran kami ini. Namun, aku benar-benar tidak peduli. Kembali aku menatap Mas Rafa, tanpa ekspresi, seolah segala rasa sakit tak dapat lagi kugambarkan lewat tatapan. "Tukang selingkuh seperti Mas tidak berhak bertanya seperti itu kepadaku," balasku tegas. Mas Rafa terlihat terkejut. Ia menatapku dengan pupil mata yang melebar, lalu menoleh pada Andin yang tersenyum sinis sembari menundukan pandangannya. "Kamu masih membahas soal itu?" tanyanya seakan perselingkuhannya bukan dalang terbesar hingga membuatku ingin berpisah seperti ini. Kalau saja boleh aku meludah di depannya, maka mungkin sekarang aku akan meludah. Namun, aku masih memiliki etika dan sopan santun. "Tidak usah bertanya seperti itu

  • Madu Wasiat Adik Iparku   Bab 72: Maaf Mas, Aku Muak.

    ***Aku tak main-main soal ucapanku yang ingin mengadukan perbuatan mas Rafa. Sehari setelah perdebatan kecil kami, aku tak segan memberinya peringatan sekali lagi. Hanya saja dia tetap tidak peduli. Dirinya masih keras kepala ingin mempertahankanku dan pernikahan kami.Lalu hari ini rencanaku sudah benar-benar bulat ingin pergi.“Bu, kita mau ke mana?” tanya Naura. Iya, kini aku tengah sibuk memasukan semua pakaian ke dalam koper.“Pergi Nak, sudah saatnya kita tinggalkan rumah ini,” jawabku tegas. Naura terdiam. Dia menunduk dalam saat aku menoleh padanya. Mungkinkah hatinya sedih karena pada akhirnya aku dan ayahnya akan berpisah? Mendadak rasa bersalah menyelimuti hati kecilku. Namun, aku tak bisa mengalah kali ini.“Maafkan Ibu ya Nau,” ucapku sembari memeluknya. Naura lagi-lagi diam. Aku menarik napas dalam-dalam. “Ibu antar ke rumah tante Sabrina ya Nau.” Aku raih tangannya sambil tersenyum, berharap senyum ini dapat menenangkan hatinya yang gelisah.Naura akhirnya mengangguk p

  • Madu Wasiat Adik Iparku   Bab 71: Tertawa Jahat

    ***“Aku tetap tidak mengizinkan, Zahra!” ujar mas Rafa keras kepala. “Sebaiknya kamu masuk ke kamarmu sekarang.” Dia memalingkan wajahnya setelah mengatakan itu. Aku menggeleng tak percaya, dirinya masih saja tak ingin melepaskanku setelah apa yang dia lakukan. “Mas!” Rasanya aku sudah tak tahan lagi.Namun, terpaksa aku menghentikan perdebatan ini saat Naura terdengar memaksa Rani untuk keluar dari kamar kami. Kutarik napas dalam, lalu aku embuskan secara perlahan. Kubawa langkahku pergi dari ruang tamu, akan tetapi bukan berarti aku setuju untuk tetap mempertahankan rumah tangga kami.“Ibu!” panggil Naura saat aku membuka pintu. Mata gadis kecilku itu terlihat memerah, menahan tangis. Kupeluk dia dengan erat. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya. Terpaksa kepala ini mengangguk agar dia tak khawatir.Aku alihkan pandanganku kepada Rani. Kulihat gadis itu menggigit bibirnya. “Aku nggak apa-apa, Ran. Terima kasih ya sudah menjaga Naura untukku,” ucapku tulus. Rani mengangguk singkat.“Sekar

  • Madu Wasiat Adik Iparku   Bab 70: Aku Mau Pisah Rumah!

    ***Sesuai yang ibunya mas Rafa katakan, beliau membawaku ke rumah sakit setelah itu. Tak lupa aku menelpon Sabrina agar dia datang menemani. Namun, ternyata dia tak datang sendirian. Ada Arlan dan Ari bersamanya.“Ini udah keterlaluan banget sih, Ra! Beraninya Rafa mukulian kamu sampai berdarah-darah!” ujar Sabrina marah. Dia tampak tak peduli meskipun ibu mertuaku juga ada di ruangan yang sama dengan kami.“Sab,” tegurku merasa tak tega melihat ekspresi bersalah di wajah Ibu. Mungkin dia sekarang sadar anak yang dia bela sanggup memukuli seorang wanita.Sabrina melirik malas ke arah ibu. “Maaf Bu, tapi sebagai satu-satunya sahabat Zahra dan satu-satunya keluarga baginya, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan laporin masalah ini ke pihak berwajib!” tegasnya.Aku meringis. “Sudah Sabrina, cukup. Masalah ini kita bicarakan nanti saja,” pintaku memohon pengertiannya.Namun, aku lihat Ibu menggelengkan kepalanya. “Zahra benar kamu mau pisah dari Rafa?” tanyanya dengan mata yang berkaca-k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status