Share

Bab 6B Tawaran Emma

Kata orang, kasih ibu sepanjang masa. Cinta seorang ibu kepada anak melebihi segala sesuatu yang ada di dunia. Kasih sayang ibu sangat sempurna dan sejahat apa pun anak menyakitinya, beliau tak akan pernah bisa membencinya. Seorang ibu rela melakukan apa aja meskipun nyawa taruhannya. Semua petuah itu berlaku untuk ibu.

Diam-diam, ibu menggadaikan sertifikat rumah dan uangnya dipakai untuk menebus denda agar putranya bisa bebas dari hukuman penjara. Setidaknya itulah yang dikatakan Hardi pada perempuan renta tersebut . Namun, karena keluguan yang dimiliki ibu, lagi-lagi Hardi membohonginya. Pria jahat itu kabur dari penjara setelah mengambil semua uang. Entah bagaimana caranya, seusai ibu mengunjungi dan menyerah uang puluhan juta, Hardi menarik langkah seribu dari penjara. Kini, Hardi menjadi buronan polisi.

Ah, miris sekali kehidupan wanita yang melahirkan anak seperti Hardi. Sebulan kemudian dua pria yang berprofesi sebagai kreditur mendatangi rumah dan menemui ibu. Mereka menagih cicilan di bulan keenam yang harus dibayar.

"Maaf, Pak. Bukannya saya tidak mau bayar, tetapi saat ini saya belum punya uang. Apa bisa diberi keringanan lagi?"

"Maaf, Bu. Sejak cicilan pertama kami sudah memberi keringanan untuk dibayar di bulan kedua. Tapi nyatanya belum ada itikad baik dari ibu untuk membayar sepersen pun kepada pihak kami. Ini sudah bulan keenam, Bu. Apa yang harus kami katakan kepada pimpinan jika kami memberi keringanan lagi kepada Ibu?"

"Tapi, Pak. Bulan ini saya janji akan membayarnya. Karena Minggu ini saya lagi ada banyak orderan kue. Jadi saya rasa sanggup membayar cicilan itu."

"Maaf, Bu. Kami hanya menjalankan tugas saja. Jika siang ini kami tidak mendapatkan uang, kami terpaksa segel rumah ini dan silakan Ibu meninggalkan rumah hari ini juga."

"Saya mohon jangan usir kami, Pak. Mau tinggal di mana kita jika kami pergi dari sini? Saya mohon belas kasihan kalian."

"Ibu?"

Giandra yang baru pulang dari pasar, sedikit terkejut melihat ibu yang sedang berlutut di hadapan kedua pria yang berseragam rapi.

"Maaf, ada apa, ya?" tanyanya dengan sopan setelah meletakkan barang belanjaan di meja teras, lalu mendekati dan membantu ibu untuk berdiri.

"Rumah ini akan kami sita karena sejak pinjaman itu kami belum mendapatkan uang cicilan dari kalian."

"Sita? Pinjaman?" tanya Giandra lirih dengan rona bingung dan tak mendapat sahutan apa pun dari mereka.

Dia sama sekali tak tahu akar permasalahan. Kepalanya menoleh menatap ibu dan meminta jawaban tetapi wanita berambut putih tersebut menuduk, menyembunyikan air matanya.

"Baiklah, kami kasih keringanan satu hari lagi. Besok kami akan datang kembali menagihnya. Jika belum ada pembayaran dari kalian, dengan sangat maaf, kami terpaksa menyita rumah dan mohon kalian kosongkan tempat ini. Permisi."

Kedua pria tersebut menjauh meninggalkan seribu tanya di dada Giandra. Setelah punggung kedua orang itu menghilang dari pandangan, Giandra memapah ibu ke dalam rumah. Dia harus tahu apa yang terjadi sebenarnya.

"Apa? Ibu gadai sertifikat untuk membebaskan Bang Hardi?"

Lemas sudah seluruh otot beserta sendi dalam tubuh, Giandra tak sanggup berdiri dan terduduk di lantai dengan jantung yang seolah berhenti berdetak.

"Maafkan, Ibu, Gi. Hardi juga anak Ibu. Ibu tak tega melihat dia mendekap di penjara seumur hidupnya. Dia harus mendapat kebebasan selayaknya orang pada umumnya. Lagipula kata Hardi, dia khilaf." Suara ibu bergetar bercampur rasa ketakutan dan kesedihan.

Meski dunia Giandra serasa runtuh, dia masih bisa menjelaskan kepada wanita yang sudah dianggap sebagai ibunya sendiri.

"Semua orang yang sudah dijatuhkan hukuman pasti akan berdalih menyatakan dirinya khilaf. Perbuatannya itu bisa dihindarkan jika tadi dia tidak berzina. Bermain dengan wanita yang sudah bersuami, lalu membunuh sengaja atau tidak sengaja, tentu harus mendapatkan hukuman yang setimpal."

Wanita renta itu tahu kesalahan yang tak bisa dimaafkan begitu saja. Hanya saja, slogan kasih ibu sepanjang masa masih melekat kuat di dada. Dia tak sanggup menolak permohonan saat putranya mengiba meminta uang. Terpaksa, harta satu-satunya peninggalan nenek pun dikorbankan.

***

Malam semakin larut, jarum jam dinding sudah menunjukkan angka sebelas kurang. Mata Giandra belum bisa terpejam, hati dilanda kegundahan yang amat terdalam. Ke mana uang lima puluh juta akan dia dapatkan dalam semalam? Tabungan yang sudah terkumpul di bank tidak cukup untuk membayar cicilan enam bulan beserta bunganya.

"Besok kami akan datang kembali menagihnya. Jika belum ada pembayaran dari kalian, dengan sangat maaf, kami terpaksa menyita rumah dan mohon kalian kosongkan tempat ini."

Deretan aksara itu kembali terngiang, mengusik dan mendebarkan jantungnya. Apa yang harus dilakukan jika benar besok orang itu datang kembali? Di mana akan dibawa ibu dan Jihan, adik perempuannya? Mereka sama sekali tidak punya saudara atau teman yang bisa dimintai bantuan. Rumah itu harus dipertahankan, entah bagaimana caranya. Kendatipun jauh dari kata mewah, setidaknya rumah yang sekarang ditempati dapat melindungi dari terik matahari dan hujan.

Belum lagi biaya daftar tes masuk kuliah Jihan bulan depan? Impian gadis delapan belas tahun itu adalah ingin menjadi arsitek terkenal. Kemampuan otak dan keterampilan menggambarnya bisa diacungkan jempol. Sayang rasanya jika Giandra menepis harapan gadis tersebut. Sang kakak sudah berjanji akan berusaha mencari dana untuk mewujudkan mimpinya.

"Urusan biaya biarkan Kakak yang pikirkan. Tetapi urusan ujian masuknya, Jihan harus rajin belajar agar lulus di jurusan itu."

Senyuman Jihan seolah mengisi semangat, Giandra sudah menyiapkan baterai tenaga yang penuh, berusaha bekerja dan menabung. Beruntung, dia bergabung dengan Event Organizer milik Jacky yang selalu menggunakan jasanya menjadi pembawa acara di event apa pun. Pernikahan, ulang tahun, dan reunian.

Terkadang jika tidak ada kerjaan dari pria itu, Gian pun rela mengambil posisi sebagai SPG produk di salah satu mall terbesar di Jakarta. Lumayan, seharian berdiri bisa mendapat ratusan ribu. Kemolekan wajah dan tubuh yang ramping menjadi modal utamanya bisa mendapatkan pekerjaan sampingan itu. Apa pun akan dilakukan, asalkan pekerjaan itu halal.

Saat menatap benda langit berwarna jingga di balik jendela, hatinya terasa sejuk seketika. Seolah benda itu mentransfer hawa dingin yang menentramkan pikiran. Sel saraf dalam otaknya pun mengingat kartu nama Emma yang dia simpan dalam laci meja belajar Jihan.

"Aku hanya pinjam rahimmu sampai anak itu lahir. Setelah itu, kamu bebas."

"Maaf, aku tidak bisa menerima tawaranmu."

"Bawa kartu ini dan hubungi aku kembali jika kamu berubah pikiran."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Intan Resa
seru sekali
goodnovel comment avatar
D Lista
semangat gian
goodnovel comment avatar
Ardhya Rahma
Gian jd korban Hardi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status