Share

Bab 6A B*jingan Kau, Bang!

Bab 6A

Ponsel yang diletakkan di meja balkon berdering saat ia belum puas menyaksikan keindahan malam yang dilihat dari balkon lantai lima belas. Wanita yang sudah siap dengan pakaian dinas malam nan hitam itu meraih benda yang minta disahuti. Nama Jihan tertera di sana.

Ponsel yang diletakkan di meja balkon berdering saat ia belum puas mengenang kisah lalu tentang pria brengsek tersebut. Gara-gara hal itu pula, mood untuk menyaksikan keindahan malam yang dilihat dari balkon lantai lima belas, pun lenyap. Wanita yang sudah siap dengan pakaian dinas malam nan hitam itu meraih benda yang minta disahuti. Nama Jihan tertera di sana.

Sebisa mungkin Gian tampak biasa, meski dadanya sempat berdebar karena dikira Emma yang menelepon atau Darren yang sudah berdiri di depan pintu unitnya.

"Kamu, kok, belum tidur, Han?"

"Ini baru selesai belajar, Kak. Tadi pagi sampai siang bantu Ibu bikin kue pesanan Emak Ijah. Lumayan, buat hajatan besok katanya."

Bibir Gian melengkung mendengar suara lembut Jihan. Rasa kangen menghampiri dada, sudah satu bulan lebih tidak pulang ke Karawang karena salah satu syarat dari perjanjian tersebut. Ia tak boleh sembarangan pulang ke kotanya dan Gian harus mematuhinya.

"Ibu tidak boleh kecapean, kamu tahu, kan?" timpal Gian mengingatkan.

"Iya, aku tahu, Kak. Makanya nih, aku bantuin. Sekarang Ibu sudah tidur. Aku juga nggak mau kejadian yang lalu terjadi lagi."

"Masih muntah-muntah?"

"Seminggu ini terpantau aman. Kata bidan, Ibu hanya masuk angin dan kelelahan."

Di kampung, mereka memang terbiasa menggunakan jasa bidan setempat untuk berobat. Selain murah, jarak rumah ke rumah sakit sangatlah jauh. Mereka tak punya kendaraan. Menurutnya, sewa mobil merupakan beban biaya tambahan buat mereka.

"Kontrol diabet ibu juga, Han. Obatnya masih ada, kan? Jangan bolong-bolong minumnya. Aku tak mau dengar karena mau hemat, ibu jadi tak mau rutin minum obat itu. Bilang sama ibu, masalah biaya obat, Kakak sudah siapin. Jadi, ibu tetap harus konsumsi sesuai anjuran dokter. Jangan dikorting hanya setengah dosis minumnya. Paham, Han?"

"Ya, Kak."

Meski tak melihat wajahnya, Gian tahu Jihan sedang mengangguk pelan. Gadis itu memang lembut hati dan penurut. Itu sebabnya dia menyayanginya meski mereka bukan saudara kandung.

"Kemarin ada dua orang datang ke rumah menanyakan tentang Kakak."

"Siapa?"

"Aku sulit menandai wajahnya karena mereka mengenakan masker. Alasannya flu, jadi mereka takut kita ketularan." Jihan menjelaskan.

"Laki-laki atau perempuan?"

"Dua laki-laki, Kak. Mereka menanyakan keberadaan Kakak. Mereka juga tanya, apa Kakak keluarga kandung kami?"

"Terus?"

"Ya, Ibu bilang Kakak anak kandung Ibu. Terus, ibu tidak memberitahu mereka keberadaan Kakak. Ibu hanya bilang kalau Kakak tidak ada di rumah. Itu saja. Karena saat mereka mau bertanya lebih, Ibu sudah menyudahi karena mau sibuk mengerjakan pesanan."

Giandra bergeming sekaligus penasaran apa motif mereka mencari tahu tentang dirinya. Selama delapan tahun tinggal bersama keluarga baru itu, belum ada yang mengusik hidup selain masalah Hardi. Ah, jika ingat pria itu, kepalanya kembali berdenyut nyeri lantaran kekesalan muncul lagi mencapai ke ubun-ubun.

Hardi.

Ke mana dia melarikan diri? Tahukah Abang itu jika dirinya kini sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang oleh aparat kepolisian sebagai pelaku kriminal.

Dia harus bertanggungjawab dengan apa yang sudah dia lakukan malam itu.

"Dasar bajin*an kau, Bang. Apa yang kau lakukan sudah kelewat batas. Aku tak mau membantumu. Biar saja kau membusuk di penjara."

Malam itu, habis sudah kesabaran Gian melihat kelakuan abangnya yang tak bisa diampuni. Dia terkena kasus pembunuhan tak berencana bersama kedua temannya saat selesai bersenang-senang malam itu. Suami dari wanita yang menemaninya datang dan menghajarnya sebab dikira Hardi adalah pebinor. Perseteruan mereka diakhiri dengan adu otot dan tak sengaja Hardi mengambil pecahan kaca dan membunuh lelaki tersebut.

"Bu, tolong aku, Bu! Aku tidak sengaja. Aku khilaf."

"Kau bukan khilaf, kau mabuk waktu itu, kan? Itulah karma yang harus kau terima. Jangan usik ibu dan kami. Pergilah menyerah diri, polisi sudah mengejar dan pasti akan mendapatkanmu sekalipun kau berniat melarikan diri."

"Tidak, Bu. Tolong aku! Bantu aku. Bayar saja dendanya, aku akan keluar dari penjara lebih cepat. Aku tak mau di penjara, Bu."

Komen (5)
goodnovel comment avatar
D'naya
Abangnya bikin geregetan nih
goodnovel comment avatar
D Lista
kasian gian
goodnovel comment avatar
Silver Girl
Abang tak punya hati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status