Share

Bersiaplah Malam Ini

Bab 4

"Apa benar, orang yang membenci kita, lama kelamaan bisa jatuh cinta kepada kita?"

Tadi di kantin, Giandra terpaksa harus menutup mulutnya dan tak meminta tanggapan Karina. Ia tak nyaman keberadaan Irvan di sana. Meski tak suka tetapi bukan berarti ia bisa mengusirnya. Itu tempat umum dan siapa saja boleh mengunjunginya. Apalagi suasana di sana cukup ramai, ia tak mau memantik kerusuhan dengan mengomel saat Irvan sengaja merayu dan menggombal. Ia menahan padahal kupingnya panas dan gatal. Ia berusaha secepat mungkin menyelesaikan aktifitas makan dan segera pergi meninggalkan kantin.

"Maksud kamu, Pak Darren, ya?"

"Ih, sembarangan aja kalau ngomong." Cepat sekali Giandra menebas kalimatnya.

"Lalu?"

Tatapan itu penuh membidiknya. Karina bisa menebak jalan pikirannya karena Gian pernah bercerita sekilas tentang sikap sinis dan dingin si atasan. Hanya sepintas saja, tidak begitu detail.

"Bukan siapa-siapa. Aku hanya sekadar tanya doang. Apa ada kemungkinan seperti itu?"

Karina menggeser sedikit kursi ke arah meja Giandra yang kebetulan duduk bersebelahan. Jam istirahat akan usai sepuluh menit lagi, mereka masih punya waktu mengobrol atau berleha-leha sebelum harus fokus dengan beberapa desain mebel yang akan dikumpulkan dalam waktu dekat.

"Menurut penelitian dari London, sih, mengemukakan bukti bahwa batas antara perasaan benci dan cinta memang sangat tipis."

Gian mengosongkan ruang dalam otak agar bisa mencerna kalimat dari artikel tersebut. Dalam hati, wanita itu menaruh kagum kepada si jenius berkacamata yang sedang menatapnya intens. Meski ada beberapa bagian yang Gian begitu paham maksudnya.

"Jadi saranku, sebaiknya kita jangan terlalu benci atau terlalu cinta kepada seseorang. Karena apa? karena bisa jadi perasaan itu akan berubah dan berbalik tanpa kamu sadari."

Kalimat terakhir beriringan dengan jari telunjuk Karina mencolek hidung Giandra sembari tersenyum menggoda. Tanpa sadar, Gian membalas senyuman tipis. Otak dalam tempurung kepalanya sekilas mengingat sorot mata berani nan tajam milik Darren.

***

"Sorry, Gi. Kamu terpaksa harus tinggal di sini dulu. Mas Darren tidak ...."

Menjeda kalimatnya, Emma sedang memikirkan lisan yang pas agar menjaga perasaan adik madunya. Sembari meletakkan koper ke ruang tengah, otaknya terus mencari alasan yang cocok. Sore itu, sepulang kantor, Emma mengantarnya ke tempat tinggal baru.

"Tak mau tinggal bareng aku, ya?"

Perempuan bermata bulat itu mencoba menebak dan yakin tebakannya benar. Sikap penolakan Darren di malam pertama dan hari kedua sudah menjawab semuanya.

"Bukan, bukan itu. Mas Darren hanya tidak mau para tetangga atau kerabat tahu soal ini, pas mereka datang mengunjunginya, dan melihat kamu ada di sana. Dia belum siap menerima kenyataan kalau sudah menikahi kamu sebagai istri sirinya. Karena, hm ...."

Kentara sekali Emma dengan susah payah menjelaskan keinginan Darren sebenarnya. Yaitu tak ingin sering melihat dan tak mau satu atap dengan istri barunya.

"Iya, Bu. Aku paham, tidak perlu menjelaskan secara detail. Aku juga tidak begitu mengharapkan pengakuan status istri Pak Darren. Aku tahu batasanku yang hanya dibayar karena sebuah perjanjian di atas kertas."

"Kamu tahu, kan, dia sangat mencintaiku. Dia belum bisa berpaling. Dia tipe pria yang setia."

"Beruntung Bu Emma punya suami seperti dia."

"Kamu jangan terlalu sering memujinya. Aku tidak mau kamu punya hati kepada suamiku. Tugasmu hanya menerima benih lalu melahirkannya dalam keadaan sehat. Hanya itu, aku harap kamu tidak menghianatiku kelak."

Wanita itu pun berlalu tanpa menunggu jawaban Giandra. Langkah kakinya berhenti di depan kamar dan masuk ke sana.

"Ini kamarmu."

Giandra pun mengekori dan mengedar pandangan ke seluruh ruangan yang serba cokelat muda dan putih. Bersih dan harum. Perabotan terbuat dari kayu mahal nan artistik. Kasur berukuran king lengkap dengan selimut cokelat senada dengan kain seprai.

"Kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa hubungi aku. Japri saja. Satu hal yang harus kamu prioritaskan selama tinggal di sini yaitu tolong jaga kebersihan apartemen. Mas Darren tidak suka kotor. Dulu, ini tempat tinggalnya sebelum kita menikah. Dia tinggal sendiri tapi bisa menjaganya hingga masih bersih dan rapi seperti ini."

Giandra mengangguk paham dan terus mengikuti langkahnya dari belakang. Emma menunjukkan letak dapur, kamar mandi sampai balkon yang letaknya di kamar. Namun, ada satu tempat yang tidak dipublikasikan Emma.

"Itu kamar apa, Bu?" tanya Gian setelah Emma hanya melewati ruangan itu.

"Itu, itu diabaikan saja. Aku juga tidak tahu persis apa isi di dalam sana. Mas Darren tidak mengizinkan siapapun membuka pintu dan kuncinya pun aku tak tahu letaknya ke mana."

Meski katanya tidak diizinkan, entah mengapa justru Giandra semakin tertantang untuk mengetahui ada rahasia apa di balik kamar itu. Jiwa kepo dalam hati mulai meronta-ronta.

"Aku harus tahu rahasia apa yang tersimpan di balik pintu itu." Gian bergumam dalam hati.

***

"Gian, bersiaplah. Suamiku sudah menuju ke apartemen. Gunakan pakaian dinas dan parfum yang aku belikan kemarin. Bersikaplah manis dan lembut agar malam ini berhasil. Jika semuanya sesuai rencana, kamu bisa bebas dengan cepat. Jangan mengecewakan aku."

Angka dialog di ponsel menunjukkan delapan lima belas tatkala pesan di aplikasi hijau dari Emma diterimanya dengan setengah hati. Jujur, ia belum siap dan rela menyerahkan kehormatannya untuk pria yang tidak dicintai, kendatipun berstatus suami. Bimbang merajai hati.

Bagaimana kalau pria itu benar-benar datang? Apa yang harus dilakukan? Dia belum pernah melakukannya meski dia sering mendengar cerita atau curhatan hati teman sosialita maupun teman kerja di EO. Ini akan menjadi pengalaman pertama yang ia sendiri tak begitu mengharapkannya.

Terkadang, ia berpikir. Istri siri dan istri simpanan, di mana letak perbedaannya? Tetap tersingkir dari kehidupan yang sesungguhnya. Tetap menjadi yang kedua, bukan? Selalu menjadi bahan olokan atau sindirian orang, bukan begitu? Miris, dia sama sekali belum pernah kepikiran akan menyandang sebagai duri dalam daging rumah tangga orang.

Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sertifikat rumah juga sudah ada di tangan ibu, biaya kuliah setahun juga sudah masuk ke rekeningnya. Hanya sisa pembayaran selanjutnya akan diterima jika ia berhasil melahirkan bayi dari Darren.

Jam sepuluh malam, langit semakin menghitam. Ratu malam bergantung di sana cukup menenangkan hati yang gundah. Pemandangan malam yang sangat ia sukai sejak dulu, membawanya terlempar ke masa lalu.

"Mana uangnya, Bu!"

Comments (5)
goodnovel comment avatar
D'naya
Makin seru nih
goodnovel comment avatar
D Lista
giandra menurut sama emma
goodnovel comment avatar
Silver Girl
semangat Gian
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status