Bab 3
"Untuk apa kamu ke sini?"Bulan lalu sebelum pernikahan digelar, Darren dikejutkan dengan kehadiran Gian di perusahaan. Pasalnya, Emma belum memberitahukan kalau Gian akan bekerja selama dia berstatus istri sirinya."Aku, aku dapat panggilan dari Bu Emma untuk bekerja di sini. Apa aku salah alamat?" Giandra dengan kemeja ketat yang menampilkan lekuk tubuh dan rok selutut, menjadi ciri khas gaya pakaiannya."Untuk apa?"Tak sengaja, langkah Darren terhenti tatkala bertemu wanita itu di koridor saat ia baru saja sampai ke lantai empat menuju ke ruangannya. Mata elang itu memandang Giandra dan membenarkan paras yang sangat mirip dengan wanita masa lalunya. Tanpa sadar, ingatan penghianatan Jasmine, mantan tunangannya, mencuat kembali. Wajah itu hampir menghentikan jalur napas dan rasa sakit merayap ke dalam diri."Eh, maksud Bapak apa?"Waktu itu, wanita 165 centimeter itu tahu pria yang berdiri dengan jarak dua meter adalah pimpinan perusahaan sekaligus calon suaminya. Ia sudah diberi arahan Emma sebelumnya. Namun detik itu, ia tidak mengerti jalan pertanyaan Darren, juga bingung dengan kondisi yang terjadi. Apakah sang direktur itu belum tahu kalau Giandra akan bekerja di divisi desain?Tidak ada sahutan selain tatapan tajam dari pria berjas hitam. Pria itu mengunci pandangan hingga beberapa saat. Sampai kaki Gian pun pegal harus berdiri berlama-lama di alas sepatu ber-heel lima centimeter tersebut."Maaf, Pak. Apa kita saling kenal? Mengapa Bapak menatap saya seperti itu?"Pria bermata cokelat tersebut mengerjapkan mata dan menjadi salah tingkah mendengar pertanyaan yang tak ingin dijawabnya. Hanya ingin memastikan siapa sebenarnya wanita yang wajahnya mirip sekali dengan Jasmine, Darren pun melangkah maju dan menarik kasar lengan Gian."Untuk apa kamu datang lagi, Jasmine? Maumu apa?"Tegas dan penuh penekanan nada itu tidak membuat Giandra takut. Ia sudah terbiasa mendapatkan perlakuan kasar dari Hardi, malah lebih kasar dan lebih parah dari itu. Dorongan ke tembok, menjambak rambut dan menarik paksa tasnya, sudah pernah Hardi lakukan kepadanya."Jasmine? Sepertinya Bapak salah orang. Namaku Giandra. Giandra Zhafira."Perempuan itu memicingkan mata, berusaha menunjukkan wajah lugu dan suara setenang mungkin, ia tak mau terpancing emosi."Jangan pura-pura amnesia, Jasmine!" Cengkraman tangan itu semakin kuat dengan mata penuh mengintimidasi."Hai, melamun, ya?"Tepukan di pundak membuat ingatan akan pertemuan pertama dengan Darren pun terurai. Karina langsung duduk di samping dan meletakkan piring berisi nasi liwet di meja. Sambil senyum tipis, si wanita berambut pendek melempar pandang ke arah Giandra yang masih mengatur napas dan detakan jantung karena kaget.Sekilas sambungan peristiwa itu muncul lagi sambil Gian mengelus dada tanpa sadar. Untung waktu itu, Emma datang menyelamatkannya sehingga terlepas dari jeratan yang ia sendiri tak tahu ke mana arah permasalahan sesungguhnya. Jujur, ia tak mau terlibat terlalu jauh urusan rumah tangga mereka."Aku hanya mikir apa ada orang di dunia ini punya wajah yang mirip dengan kita?"Dia sengaja bertanya dengan suara pelan, tak mau percakapan itu didengar orang sekeliling yang juga sedang menikmati makan siang di kantin kantor itu. Lumayan ramai, topik pembicaraannya bisa menjadi pusat perhatian jika ketahuan sedang membahas tentang sang atasan."Kamu lagi bicarain siapa mirip siapa?"Yang ditanya malah bertanya balik, Giandra berdecak lalu menepuk kecil ke punggung tangan Karina pelan. Mata sipit Karina fokus tertuju pada wajah Gian. Ada sesuatu yang ingin ditanyakan sejak kemarin, tetapi dia lupa."Aku serius, Rin."Mata indah itu kembali fokus pada nasi liwet yang ada di hadapan. Jam istirahat adalah waktu yang ditunggu-tunggu lantaran pagi tadi Gian tak sempat sarapan. Bukannya dia tak mau makan, tetapi lebih memilih berhemat. Hanya meneguk segelas sereal instan tanpa harus mengeluarkan sejumlah kroscek untuk mengisi lambungnya. Lapar? Tentu saja, tetapi dia sudah biasa menahannya.Sembari mengunyah, wanita yang bernama lengkap Karina Safira membetulkan kacamata hingga membuatnya lebih nyaman. Gadis itu memang jenius, maka dari itu Gian suka bertanya banyak hal kepadanya. Semua akan dijawab sesuai dengan apa yang pernah ia baca baik dari situs online atau buku cetak."Gini ya, menurut Gugel, memang ada fenomena tujuh manusia yang punya tampang mirip di dunia. Tapi fakta itu masih belum bisa dibuktikan juga."Panjang lebar dia menjelaskan dengan mata mendetail wajah sahabatnya sedangkan Gian dengan sabar mencerna tiap kata-kata tersebut. Ia butuh tahu hal itu, sebab ucapan Darren sungguh mengusik pikirannya. Jasmine. Nama yang cukup familier tetapi siapa wanita itu, ia belum bisa mengingatnya. Mengapa pria itu memanggilnya dengan sebutan Jasmine? Apakah dia mirip dengan Jasmine?"Dari penjelasan Karina, berarti memang ada kemungkinan aku dan Jasmine itu mempunyai wajah yang mirip. Tapi di mana Jasmine itu berada sekarang? Aku tidak mungkin punya kembaran dengan Jasmine, kan? Ibu tidak pernah bercerita tentang hal ini." Gian berbicara dalam hati."Boleh gabung?"Suara bass menerobos ke gendang telinga yang berhasil membuat kedua kepala wanita itu terangkat. Lalu, Kirana mengangguk pelan sedangkan Gian lanjut memasukkan makanan ke mulut, merasa bomat dengan pria yang langsung menarik kursi dan duduk di depannya."Anak desain?" tanyanya sok akrab dengan bola mata menatap lekat wanita yang masih cuek dengan kehadirannya. Butuh beberapa detik merasa dirinya ditanya, Gian pun mengangguk pelan."Baru, ya? Baru lihat soalnya," timpalnya kala melihat respons perempuan itu."Iya, baru sebulan." Kali ini Gian mengangkat suara, masih fokus dengan sendok dan garpu di tangannya. Perhatian penuh kepada lambung yang sudah meronta, minta diisi."Oh, pantas saja baru lihat. Soalnya aku banyak di lapangan, jadi jarang ke kantor. Oh, ya, kenalkan aku Irvan."Setelah lelaki itu menyebut namanya, Gian mendongak kepala dan tersenyum tipis demi menghargai sesama pekerja. Wanita itu tak tahu jelas apa posisi Irvan di kantor sebab ia pun belum pernah melihat sebelumnya."Oh, ya, jika ada perlu apa-apa, boleh bertanya sama aku. Aku siap membantu."Jiwa buaya darat Irvan pun mulai melambai-lambai, tersenyum penuh arti. Lagi, Gian hanya menanggapi dengan mengulum senyuman datar."Hm, jadi cuma Giandra doang yang dibantu, aku nggak?"Giliran Karina yang melayangkan unjuk rasa. Jujur, itu bukan protes sesungguhnya, ia hanya berdalih ketika membaca ekspresi tak nyaman dari sahabatnya."Ish, bukan gitu. Kita, kan, sudah saling kenal dan aku yakin kamu pasti tidak sungkan sama aku. Kalau dia mungkin akan segan. Btw, Gian siapa namanya? Kita belum kenalan, kan?"Lagi, pria itu ingin memastikan namanya, bertanya lagi dan berharap wanita tersebut mau menanggapinya. Hasrat ingin tahu pun meronta-ronta, ia mau berkenalan lebih dekat dengannya."Giandra, Pak."Kini dia menambahkan embel 'pak' di belakangnya untuk menambah kesan formal, memberi jarak. Setelah Irvan mengetahui namanya dengan jelas, ia pun menarik kedua sudut bibir dan melanjutkan jurus buaya berikutnya."Btw, kita harus saling kontak nih, sebab aku bagian marketing yang banyak bertemu dengan calon pembeli. Terkadang mereka suka request konsep seperti apa yang mereka inginkan. Kamu sebagai perancangnya bisa dapat inspirasi dan diskusi dengan aku kelak. Aku pasti akan siap membantumu, Cantik."Sementara mereka terlibat obrolan ringan, di sudut ruang VIP yang tertutup ada sepasang insan yang sedang mengamati mereka. Ruangan itu khusus digunakan para petinggi perusahaan untuk menikmati makan siang.Di balik dinding kaca berwarna gelap Emma melihat dengan jelas bagaimana cara Darren menatap tanpa berkedip ke arah luar sana. Kilatan api dari sepasang mata merahnya, pun kepalan erat tangan yang ada di atas meja. Dengan lembut, Emma menyentuh punggung tangannya."Mas, are you ok? Apa kamu merasa terganggu kalau Irvan mendekati Gian?"Bab 4"Apa benar, orang yang membenci kita, lama kelamaan bisa jatuh cinta kepada kita?"Tadi di kantin, Giandra terpaksa harus menutup mulutnya dan tak meminta tanggapan Karina. Ia tak nyaman keberadaan Irvan di sana. Meski tak suka tetapi bukan berarti ia bisa mengusirnya. Itu tempat umum dan siapa saja boleh mengunjunginya. Apalagi suasana di sana cukup ramai, ia tak mau memantik kerusuhan dengan mengomel saat Irvan sengaja merayu dan menggombal. Ia menahan padahal kupingnya panas dan gatal. Ia berusaha secepat mungkin menyelesaikan aktifitas makan dan segera pergi meninggalkan kantin."Maksud kamu, Pak Darren, ya?""Ih, sembarangan aja kalau ngomong." Cepat sekali Giandra menebas kalimatnya. "Lalu?" Tatapan itu penuh membidiknya. Karina bisa menebak jalan pikirannya karena Gian pernah bercerita sekilas tentang sikap sinis dan dingin si atasan. Hanya sepintas saja, tidak begitu detail."Bukan siapa-siapa. Aku hanya sekadar tanya doang. Apa ada kemungkinan seperti itu?"Karina men
Bab 5"Mana uangnya, Bu!"Baru menginjakkan kaki di teras, Giandra mendengar suara keras Hardi di dalam rumah. Buru-buru dia masuk untuk melindungi ibu dari sikap sang abang yang selalu memerasnya."Ibu tak punya uang lagi, Nak. Semuanya sudah kamu ambil kemarin.""Ibu, kan, jualan kue tadi pagi, masa nggak terjual satu pun. Pasti ada, kan? Mana uang hasil jualan itu?"Hardi yang berdiri tak jauh dari ibu, sedang duduk mulai memasang mata melotot. Dia seakan-akan tak peduli dengan wajah sendu dari orang yang telah melahirkannya."Uang itu buat modal bahan kue besok, Nak." Ibu masih mencoba memberi alasan yang masuk akal. Dia berharap anak sulungnya mengerti dan tidak mengambil tabungan terakhir yang bisa digunakan untuk menyambung empat nyawa dalam keluarga itu."Halah, modal terus yang Ibu bilang. Memangnya tak ada untungnya dari penjualan hari ini?""Ada, Nak. Tapi itu untuk beli beras jatah seminggu." Suaranya terdengar bergetar, menyimpan rasa ketakutan yang berlebih."Untuk apa
Bab 6APonsel yang diletakkan di meja balkon berdering saat ia belum puas menyaksikan keindahan malam yang dilihat dari balkon lantai lima belas. Wanita yang sudah siap dengan pakaian dinas malam nan hitam itu meraih benda yang minta disahuti. Nama Jihan tertera di sana.Ponsel yang diletakkan di meja balkon berdering saat ia belum puas mengenang kisah lalu tentang pria brengsek tersebut. Gara-gara hal itu pula, mood untuk menyaksikan keindahan malam yang dilihat dari balkon lantai lima belas, pun lenyap. Wanita yang sudah siap dengan pakaian dinas malam nan hitam itu meraih benda yang minta disahuti. Nama Jihan tertera di sana.Sebisa mungkin Gian tampak biasa, meski dadanya sempat berdebar karena dikira Emma yang menelepon atau Darren yang sudah berdiri di depan pintu unitnya."Kamu, kok, belum tidur, Han?""Ini baru selesai belajar, Kak. Tadi pagi sampai siang bantu Ibu bikin kue pesanan Emak Ijah. Lumayan, buat hajatan besok kata
Kata orang, kasih ibu sepanjang masa. Cinta seorang ibu kepada anak melebihi segala sesuatu yang ada di dunia. Kasih sayang ibu sangat sempurna dan sejahat apa pun anak menyakitinya, beliau tak akan pernah bisa membencinya. Seorang ibu rela melakukan apa aja meskipun nyawa taruhannya. Semua petuah itu berlaku untuk ibu.Diam-diam, ibu menggadaikan sertifikat rumah dan uangnya dipakai untuk menebus denda agar putranya bisa bebas dari hukuman penjara. Setidaknya itulah yang dikatakan Hardi pada perempuan renta tersebut . Namun, karena keluguan yang dimiliki ibu, lagi-lagi Hardi membohonginya. Pria jahat itu kabur dari penjara setelah mengambil semua uang. Entah bagaimana caranya, seusai ibu mengunjungi dan menyerah uang puluhan juta, Hardi menarik langkah seribu dari penjara. Kini, Hardi menjadi buronan polisi.Ah, miris sekali kehidupan wanita yang melahirkan anak seperti Hardi. Sebulan kemudian dua pria yang berprofesi sebagai kreditur mendatangi rumah dan menemui
"Kak!"Suara itu menarik paksa sepotong peristiwa beberapa bulan lalu. Ternyata Jihan masih saja menunggu respons di balik telepon. Entah, akhir-akhir ini Giandra terlihat sering melamun, seolah masalah tidak pernah berhenti mengejarnya."Kak, apa Bang Jacky ...."Kesadaran Gian dipaksa menuju ke alam kenyataan karena suara lembut Jihan. Wajah Hardi pun terurai seketika. Wanita itu menggosok matanya berusaha membuang sisa bayangan wajah Hardi yang ada di pelupuk mata."Kenapa dengan Jacky?""Apa kalian sering bersama saat di Jakarta?" Terdengar sedikit ragu nada bicaranya, Gian tersenyum seolah mengerti maksud adik perempuan tersebut. "Hm, tidak terlalu, Han. Kakak di sini, kan, kerja di perusahaan dari Senin sampai Jumat. Kalau nge-MC bareng Jacky ambil hari Sabtu atau Minggu. Itu pun nggak tidak minggu ada jadwalnya. Ya, tapi kebetulan untuk minggu ini Kakak memang full ngisi acara."Hening beberapa det
Di tempat lain"Kenapa kamu menghianatiku, Jasmine? Apa salahku? Apa kekuranganku? Ke mana kamu sekarang? Apa kamu sudah menikah dengan pria itu? Aku ...."Rasanya tak sanggup Darren melanjutkan deretan kalimat yang selalu menyulutkan amarah sekaligus kesedihan yang amat terdalam. Sudah berkali-kali, dia mencoba membuang nama dan wajah wanita masa lalu dalam hidupnya, tetapi selalu gagal. Bayangan Jasmine seolah seperti hantu yang terus menari di tempurung kepala dan mengakar di hati."Bro, kamu sudah menemukan Jasmine? Itu dia, kan? Karyawan baru di bagian divisi desain?"Entah sejak kapan, Fito datang dan langsung duduk di depannya. Mereka memang ada janji di kafe untuk membahas perencanaan mendistribusikan produk ke negara kangguru."Entahlah, yang kulihat wajah memang mirip, tapi nama dan gelagatnya beda. Aku belum yakin itu dia."Perhatiannya tiba-tiba tertuju pada layar 14 inch yang menampilkan foto gadis dua puluh tahun
Sudah berkali-kali Fito mengingatkannya. Darren belum move on meski sudah ada Emma yang mengisi hidupnya. Cinta? Iya, Darren mencintai istrinya itu. Sebesar apa? Tentu tidak sebanding untuk Jasmine karena kata orang cinta pertama itu memang cinta yang sulit dilupakan. Lantaran bayangan wanita itu telah meninggalkan jejak pada area sensorik otak Darren.Helaan napas Darren terdengar kasar, tangannya menutup layar yang ada di depan. Suasana hati tiba-tiba kacau detik itu. Pernikahan siri dengan Giandra kemarin pagi membuatnya harus berada di dekatnya kembali. Apalagi keinginan Emma yang di luar nalar, segera menghamili istri muda tersebut. Bagaimana mungkin?"Tapi peristiwa itu masih cukup misteri, menurutku." Setelah menyeruput teh hijau panas, Fito melanjutkan opininya. Seketika rasa hangat menjalar tenggorokan sampai ke lambung. Aroma khas teh tersebut memanjakan hidung sehingga otaknya mudah berpikir jernih. Lalu, dia menatap lawan bicara tanpa berkedip
"Kamu tidak perlu melakukan hal itu, Emma. Aku tidak suka dengan caramu."Selesai menikmati makan malam, sepasang suami istri sedang berbincang di meja. Pembahasan yang sama kerap menjadi perseteruan ringan di antara mereka."Aku harus melakukannya. Aku tidak mau dipandang sebelah mata oleh mamamu.""Beliau tidak pernah mempermasalahkannya."Tentu Darren tak pernah tahu apa yang menjadi keinginan terbesar ibu mertua Emma selama ini. Jika wanita senja itu yang kini bermukim di London tiba ke Indonesia, hal pertama yang ditanyakan selalu masalah cucu. Kalimat yang diucapkan terdengar biasa, tetapi nadanya penuh penekanan. "Siapa bilang, Mas? Dia selalu bertanya tentang kapan kehamilanku. Mana mungkin aku memberitahukannya kalau aku mandul. Rahimku kecil yang sudah divonis dokter kalau seumur hidupku tak akan ada janin yang bisa hidup di organ itu. Aku tidak mau ....""Sstt, tenang, Emma. Aku tidak pernah menyalahkanmu. A