Share

Si Pengecut Hardi

Bab 5

"Mana uangnya, Bu!"

Baru menginjakkan kaki di teras, Giandra mendengar suara keras Hardi di dalam rumah. Buru-buru dia masuk untuk melindungi ibu dari sikap sang abang yang selalu memerasnya.

"Ibu tak punya uang lagi, Nak. Semuanya sudah kamu ambil kemarin."

"Ibu, kan, jualan kue tadi pagi, masa nggak terjual satu pun. Pasti ada, kan? Mana uang hasil jualan itu?"

Hardi yang berdiri tak jauh dari ibu, sedang duduk mulai memasang mata melotot. Dia seakan-akan tak peduli dengan wajah sendu dari orang yang telah melahirkannya.

"Uang itu buat modal bahan kue besok, Nak."

Ibu masih mencoba memberi alasan yang masuk akal. Dia berharap anak sulungnya mengerti dan tidak mengambil tabungan terakhir yang bisa digunakan untuk menyambung empat nyawa dalam keluarga itu.

"Halah, modal terus yang Ibu bilang. Memangnya tak ada untungnya dari penjualan hari ini?"

"Ada, Nak. Tapi itu untuk beli beras jatah seminggu." Suaranya terdengar bergetar, menyimpan rasa ketakutan yang berlebih.

"Untuk apa makan beras, Bu? Utangku lebih penting dari beras." Hardi terus berteriak, nyaris membuat jantung ibu copot dan kadar asam uratnya meningkat.

"Bang, apa-apaan kau ini, teriak-teriak di depan Ibu?"

Giandra muncul di depan pintu, menyaksikan langsung bagaimana Hardi menepis tangan ibu yang ingin menyentuhnya. Mata merah yang melotot, bau alkohol yang menyengat dari mulut, aroma asap rokok dari baju. Semua bercampur berasal dari Hardi, pria yang sering memalak uangnya.

"Hahay, pulang juga akhirnya Adikku yang tercantik, termanis dan terbaik. Kebetulan sekali. Aku minta uang!"

Tangan dekil itu terjulur ke arahnya dengan senyuman seringai bengis. Pria keriting itu tahu Giandra baru pulang dari Jakarta. Kerja dua hari di sana pasti bawa pulang uang untuk menghidupi keluarganya. Terkadang inilah yang menjadi alasan, mengapa Hardi tak mau mencari pekerjaan meski dia adalah anak tertua dalam keluarga. Ada Giandra yang selalu banting tulang dan menghasilkan uang satu sampai tiga juta sebagai pengisi acara, model atau SPG di salah satu mall.

"Uang, uang terus. Kerja kalau kau mau uang!"

Giandra yang sudah terbiasa dengan sikap kasar Hardi malam itu, pun terlihat masa bodoh. Dia muak melihat sifat malas si abang yang membuatnya kebiasaan meminta dan bergantung kepadanya. Wanita itu masuk, mendekati dan membantu ibu berdiri lalu hendak memapahnya ke kamar.

"Nggak usah menggurui aku. Sini, minta uangnya!"

Pria gondrong keriting itu menarik paksa tas selempang merah milik Gian hingga tubuh wanita itu nyaris terjungkal jika terus mempertahankan tasnya. Dengan cepat, tangan Hardi membuka dan mengambil uang merah yang ada di dalam dompet.

"Dua juta? Banyak juga uangmu, Darling. Tapi sayangnya, kok, pelit amat dengan sodara sendiri."

Wajahnya sumringah ketika mata mendapati banyak lembar yang bisa dipakai untuk membayar utang sejuta dan sisanya bisa dihamburkan sampai malam berikutnya.

"Hardi, siniin uang itu! Itu buat biaya listrik, kebutuhan dapur sebulan dan uang kuliah Jihan. Jangan kau ambil untuk bermain judi dan mabuk-mabukan lagi. Jika kau mau uang, kerja! Jangan cuma bisa minta dan mencuri aja kerjaanmu."

Wanita berambut lurus itu berusaha merebut kembali uangnya. Dia tak peduli dengan tas dan dompet yang sudah dilempar Hardi ke lantai. Uang, uang itu lebih penting, hasil dia bekerja dua hari.

"Hei, jangan bacot kau! Jangan memberi aku perintah. Oh, iya, lagipula kau cuma bisa dapat dua juta doang sudah belagu amat, sih?"

Lelaki yang memiliki postur tubuh lebih tinggi dari Giandra pun menaikkan tangan, hingga perempuan itu tak bisa meraih uang yang ada di genggamannya. Tanpa sungkan, Hardi pun mendorong Gian dengan bahunya. Lagi, perempuan itu hampir terjatuh jika tidak ditahan Jihan yang tiba-tiba keluar dari kamar.

"Kakak tidak apa-apa?"

Giandra menggeleng. Ibu yang sudah mengeluarkan air mata tak bisa berbuat banyak. Tenaganya telah melemah dengan usia yang sudah tak muda lagi. Hardi memindai tubuh dan wajah kedua adik perempuan yang saling menggenggam tangan dengan mata menyipit.

"Kalau aku lihat-lihat tubuh dan wajah kalian berdua lumayan cantik dan indah. Kalian punya potensi untuk mendapatkan uang sepuluh juta perbulan jika kalian mau."

Gian mencoba menahan letupan amarah yang mungkin sebentar lagi akan meledak dengan menghela napas dalam. Beruntung, usapan tangan ibu ke punggungnya mampu menurunkan level kemarahannya. Ingin rasanya kepalan tangan itu melayang ke wajah Hardi, tetapi ditahan Jihan.

"Kalian bisa jual tubuh kalian di klub biasa aku nongkrongin. Kalau mau, aku bisa kenalkan kalian dengan atasanku. Mereka pasti akan langsung menerima kalian dengan tangan terbuka. Dan, kau, Jihan. Janganlah bermimpi sekolah tinggi-tinggi. Mendingan jadi simpanan bos aja. Apalagi kau masih muda, aku yakin kau pasti laku."

Suara terbahak pun terdengar sambil tangan kotor itu mengibaskan uang ke wajahnya sendiri. Harum lembaran itu dihidu dalam-dalam. Kepuasan dan kesenangan menyerkap hatinya. Tak sia-sia malam itu, Hardi pulang setelah seminggu tak menginjakkan kaki di rumah. Uang dalam genggamannya bisa dihabiskan untuk membayar utang kekalahan bermain judi dan sebagian buat bersenang-senang dengan kupu-kupu malam.

"Dasar Anj*Ng! Siapa yang mau melakukan kerja haram seperti itu? Manusia tak tahu diuntung! Sudah syukur kau dibesarkan dengan baik oleh Ibu. Jadi begini balasan yang kau berikan untuk keluarga ini?"

Gian semakin tak bisa mengontrol diri, hampir kehabisan kuota kesabaran kala pria itu mulai merendahkan martabat mereka sebagai perempuan. Wanita itu berani memukul tubuh Hardi dengan tangannya sekuat tenaga.

"Hei, kau jangan sok-sok menjadi pahlawan. Kau juga bukan adik kandungku. Kau sama sekali tak berhak untuk mengurusi hidupku. Enyah saja kau!"

Pria itu kembali mendorong Giandra sehingga terjatuh dan kepalanya terbentur dinding. Refleks Jihan menghampiri dan menanyakan keadaannya. Wanita delapan belas tahun itu tidak mempunyai keberanian yang sama dengan Gian untuk melawan abangnya. Dia takut dengan tatapan dan seringai jahat di wajah pria berkulit sawo matang tersebut.

"Mati saja kau! Lalu berkunjunglah ke neraka. Ibu tak sudi menolongmu. Dasar kau anak durhaka!"

Gian masih sempat mengumpatnya meski kepala yang mencium tembok tadi terasa berdenyut. Dia bahkan tak mau berhenti memakinya ketika ibu sudah menyuruh mereka untuk berhenti berdebat. Suara teriakan mereka pasti kedengaran sampai ke rumah tetangga. Malu, ibu sudah jengah menghadapi pertanyaan para tetangga besok.

"Yang sabar, ya, Nak. Maafkan Hardi. Ini semua kesalahan Ibu dan Bapak yang salah mendidiknya sejak kecil. Kami hampir tidak mempedulikannya karena sibuk mencari uang untuk sesuap nasi. Maafkan, Hardi!"

Dengan berurai air mata, ibu memohon pada Giandra yang sedang duduk, menahan denyut kepalanya. Jihan bukan tak tahu sakit yang dirasakan wanita itu, pun segera mengambil obat dari tas selempang merah dan segelas air.

Sementara pria itu sudah menyeret langkah keluar rumah. Tidak usah tebak di mana akan ia pergi, mereka sudah hapal betul tempat yang akan dikunjungi.

"Minum ini, Kak!"

Setelah meneguk obat nyeri, Giandra pun mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya. Dia tak ingin ibu terlalu memanjakannya. Hardi adalah anak sulung dan laki-laki, pula. Harusnya dia bisa menjadi tulang punggung keluarga karena selain tubuh bapak yang sudah renta, bapak juga sudah tidak mau mencari uang untuk menghidupi keluarga.

"Bapak mau bersenang-senang di hari tua." Itulah katanya sebelum beliau meninggalkan mereka dua tahun yang lalu.

"Bu, Bang Hardi tidak bisa diginiin terus. Kita harus tegas agar dia kapok dan segera bertobat. Tidak minta uang terus. Harusnya dia bekerja karena Tuhan memberinya akal dan anggota tubuh yang sempurna."

Komen (4)
goodnovel comment avatar
D'naya
Semangat Giandra
goodnovel comment avatar
D Lista
semangat gian
goodnovel comment avatar
Silver Girl
makin seru, nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status