POV Vidia
Bagaimana pun caranya harus aku yang menang kali ini! batinku sambil melotot pada Ardina.
Ferdila menarik napas panjang, kemudian mengembuskan kasar. Aku melingkarkan tangan di lengannya agar dia luluh. Jika Keyra tidak bisa masuk rumah ini, sulit untuk memperhatikan gerak-gerik Ardina apalagi perempuan itu kembali dalam keadaan berbeda.
Bahkan bisa dikata 180°. Dia semakin cerdas, tangkas bahkan bisa dibilang kasar. Tidak ada lagi Ardina yang lugu dan aku penasaran sebenarnya kemarin dia pergi ke mana?
"Aku setuju jika kita punya supir pribadi sekalipun laki-laki. Dia bisa mengantar kamu atau Ardina ke luar. Jadi, aku tidak usah khawatir. Namun, orang itu harus bisa dipercaya tidak akan melepaskan hasrat bersama kalian."
Keputusan Ferdila membuat hatiku panas seketika. Namun, ada sisi lain yang membahagiakan. Aku bisa merekam perbuatan mereka jika saja Ardina bermain bersama lelaki yang akan menjadi supir itu.
Baiklah, kita ik
"Masak yang bener! Aku mau ke luar dulu!" Ardina berlalu setelah mengucapkan kalimat itu dengan langkah angkuhnya. Dia benar-benar berubah sekarang bahkan aku saja hampir mengalah jika tidak memikirkan harta."Ke mana?!" teriakku, tetapi tidak mendapat jawaban. Aku mengendap-endap untuk ke sekian kalinya seperti pencuri saja. Dia naik mobil diantar Naren dan pasti jauh. Jika dekat bisa saja jalan kaki atau naik motor.Aku merogoh kantong daster dan mengeluarkan ponsel. Setelah itu melakukan panggilan."Ada apa, Vid?""Ke sini buruan! Jangan lama-lama, kebetulan Ardina keluar!""Oke, Sayang."Panggilan telepon terputus, aku segera membersihkan diri untuk siap-siap tanpa perlu membereskan minyak yang tumpah tadi. Itu bukan salahku dan Ardina sendirilah yang seharusnya melakukan itu.Sekitar dua puluh menit berlalu, Falen sudah berada dalam kamarku. Kami melangkah beriringan ke luar sambil terus membahas tentang Ardina. Kedua alis
POV ArdinaDi meja makan kami berempat duduk saling berhadapan dengan Ferdila di sisiku. Sebenarnya Naren enggan masuk, tetapi suami tercinta menganggapnya adik sendiri. Untung saja masih ada satu kamar kosong jadi Naren tinggal di sini juga.Aku tahu Vidia menambahkan banyak garam saat masak tadi, tetapi untuk membuatnya kena marah tetap aku makan jadi akan sama-sama puas.Baru satu sendok dan belum mengunyah aku sudah menyemburkan makanan ke wajah Vidia yang membuatnya sontak berdiri. Tidak lupa melempar sendok padanya dengan wajah ketus.Ferdila ikut berdiri sementara Naren hanya diam menyaksikan."Ada apa, Sayang? Kenapa tiba-tiba marah begitu?" Ferdila berkata lembut. Tangannya memegang bahu yang aku tepis dengan kasar kemudian menatap sinis ke arah Vidia. Trik ini pula untuk menghindari tidur seranjang dengan Ferdila.Vidia menggrebek meja makan. Naren sedikit terperanjat, tetapi hanya bisa diam sambil menikmati makan. Berarti ha
Aku hanya diam menantikan kata-kata yang akan disampaikan Vidia. Ferdila melipat kedua tangan di depan dada sementara perempuan itu terlihat mengatur napas."Cepat katakan, Vid!" titah Ferdila."Apa kamu tidak ingat waktu kita mendapati Ardina sedang berpeluh dengan lelaki asing?"Ferdila spontan menolehku, tetapi hanya sekilas. "Lalu kenapa?""Aku lebih baik darinya, Fer. Buktinya tidak sampai melakukan itu sementara mereka semalaman berdua di rumah.""Tapi kalau saja kami tidak datang, kamu pasti sudah berhasil memaksa Naren, 'kan?"Mata Vidia membulat, napasnya kian memburu. Sebenarnya aku tahu alasan kenapa dia seperti itu. Murni bukan karena takut dicerai, tetapi sepertinya diam lebih baik saat ini.Perempuan berambut pirang itu tersenyum sekilas. "Seharusnya Ardina yang diceraikan karena sudah selingkuh darimu, Fer. Bahkan tidur dengan Falen!""Tapi, kamu juga mengkhianatiku dengan menikahi Vidia bahkan kalian melakukan h
Pov Author Matahari sudah kembali memancarkan sinarnya yang keemasan. Semua penghuni rumah sudah bangun dan masing-masing hendak melakukan aktivitasnya. Rabu ini stok makanan di dapur sudah menipis dan itu mengharuskan salah satu dari mereka untuk pergi belanja. Perempuan yang dipanggil Ardina tersenyum saat melirik ke jam dinding, kaki jenjangnya mulai melangkah menuju kamar utama dan mengetuk perlahan. Suaranya terkesan datar karena perempuan itu memang terkenal dengan sikap dinginnya. Daun pintu mulai terbuka pada ketukan ke tiga. Dua perempuan itu saling menatap tajam. "Ke pasar belanja! Stok di dapur sudah hampir habis, nanti kamu diantar Naren!" titah Ardina sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Gak mau, aku sibuk!" jawab Vidia hendak menutup pintu, tetapi Ardina mencegahnya. Pintu kembali terbuka lebar disertai anggukan Vidia dengan pasrah. Sebenarnya bukan pasrah, tetapi dia malas berdebat dengan Ardina. Perempuan b
Sekumpulan preman tadi sudah berdiri di hadapan Ardina. Mereka menyerahkan semua barang curian itu, kemudian pulang dengan membawa amplop cokelat berisi uang. Perempuan itu melangkah masuk kamar sambil tertawa kecil.Semua barang dimasukkan dalam lemari agar tidak ketahuan. Tidak lama setelah itu terdengar suara berisik dari luar, dia mengintip dan melihat Vidia, Naren dan tiga orang lainnya yang langsung pulang begitu mobil terparkir di pelataran rumah."Mana belanjaannya?""Gak usah nanya!" teriak Vidia dengan maskara yang mulai belepotan. Ardina menahan tawa, beruntung tadi sudah menyuruh orang lain belanja di pasar. Dasar bodoh!"Lah, kenapa?""Dia kecopetan, Nya. Waktu ke pasar tadi kami sempat ditahan sama perampok. Tas juga perhiasanya Nyonya Vidia dibawa kabur. Jadinya gak sempat belanja." Naren yang menjelaskan. Jelas sekali di mata lelaki itu ada binar kebahagiaan.Ardina tersenyum. "Sudah, tak apa. Tadi juga perasaanku
POV ARDINAPukul dua siang selesai makan bersama Vidia, aku langsung ke luar mengambil pakaian yang sudah kering tadi. Tidak ada Naren karena dia ditelepon Ferdila menemaninya ke luar. Mobil lelaki itu sudah diisi angin tadi.Satu per satu jemuran aku masukkan dalam keranjang biru muda kecuali pakaian Vidia. Sangat tidak cocok jika aku mengambil sekalian. Cuaca sudah mulai mendung, setelah tidak ada pakaianku yang tertinggal buru-buru kaki melangkah masuk dan duduk di depan televisi.Vidia yang melihatku mendekat dengan santainya. Aku tidak menoleh seakan sendirian di rumah. Sungguh sebenarnya tidak suka berurusan dengan manusia menyusahkan seperti dia hanya saja ini demi ... seseorang."Nanti malam sepertinya akan mengejutkanmu."Aku tidak menjawab, tangan sibuk melakukan aktivitas."Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja, Din.""Bantuan apa?""Nanti malam misalnya kamu ada kesusahan gitu."Kembali aku tidak menjawab. Ras
Tok, tok, tok!Kami semua memandang ke pintu. Aku langsung berdiri untuk membuka pintu. Seorang lelaki dengan pakaian kemeja menyerahkan sebuah bingkisan cokelat padaku, setelah itu pergi begitu saja. Aku langsung masuk menemui mereka seraya berkata, "Ada paket atas nama Ferdila.""Paket?""Iya, paket. Gak ada nama pengirimnya." Aku menyerahkan pada lelaki yang sedang kebingungan itu."Buka aja, Sayang!" titahku sambil menjatuhkan bobot di sampingnya seperti tadi.Ferdila menurut, dia langsung membuka tanpa bertanya lagi. Aku bahagia dalam hati sambil melihat kotak itu. Perlahan selesai dan menampilkan kejutan paling indah yang tidak akan pernah dilupakan.Dengan tangan gemetar, Ferdila meraih gambar itu sambil menatap pada Vidia. "Seharusnya sadar diri. Sudah punya suami, tapi masih main dengan laki-laki lain." Vidia terperanjat mendengar kalimat lelaki itu barusan. "Seharusnya kata-kata itu paling cocok ditujukan untukmu, Vidia
POV VIDIAAku Vidia Maida. Selama ini hidupku sudah terlalu tenang sehingga harus mencari masalah untuk menemukan warna lain kehidupan.Namun, Ardina sungguh mengganggu pikiran. Dia hadir dengan tampilan sangat berbeda dan lihat saja aku pasti bisa mengungkap rahasia perempuan itu.Teringat saat Ferila menyusul masuk kamar untuk meminta penjelasan tadi. Aku marah karena tidak ingin ditanya, tetapi lelaki itu hendak melayangkan tangan."Ini semua salah perempuan itu!" teriakku."Apa salah Ardina? Selama ini kamu memang benar merusak keharmonisan rumah tangga kami." Ferdila ikut teriak.Aku sedikit menyesal melepas pelet itu. Jika saja masih terpakai, pasti Ferdila masih dibutakan oleh cinta. Namun, ini resiko lelaki di hadapanku tidak benar jatuh cinta."Kau tahu, Fer? Perempuan yang sejak tadi duduk di sampingmu itu bukan Ardina!""Ngomong apa kamu, Vid? Jangan mencoba lari dari masalahmu sendiri."Aku tertawa kecil kemu