Mereka saling tatap dan saling mengunci tatapannya, tak ada yang mau mengalah. Mereka semua adalah orang-orang hebat di bidangnya masing-masing, tapi sedetik kemudian mereka tertawa bersama. "Ha ... ha ... ha ...," mereka tertawa bersama, terlihat begitu bahagia. Bagaikan tak ada beban, lepas. Bebas. La Rossa menarik nafasnya berat, ia menghembuskannya dengan kasar. "hmmffpp," "Aku akan mentransfer uangnya. Lakukan apa pun yang ingin kamu lakukan, buat hidupmu bahagia dengan melakukan apa yang kamu senangi. Jangan lupa kabari Bandot Tua Jhonny setelah kamu sampai di Kalimantan dan temui dia," "Aku akan memberikan alamatnya, ingat! Jangan lupa temui sahabatmu itu," ancam La Rossa. "Iya ... iya! Cerewet," ketus Profesor Huang. "Terima kasih," ucap La Rossa sambil memeluk tubuh tua Profesor Huang. "Jangan terlalu di paksakan jika sudah tak mampu lagi, aku tak mau kehilangan lagi orang-orang yang aku sayangi," bisik La Ros
Gerakan pria bertopeng itu begitu cepat dan tiba-tiba, hal itu membuat La Rossa langsung terduduk di pangkuannya. Mata La Rossa membola penuh. Ia membeku dalam pangkuan pria bertopeng. Cukup lama ia untuk mengumpulkan kesadarannya. Jantung La Rossa berpacu cepat, ini kali pertamanya untuk La Rossa berinteraksi dengan seorang pria di luar dari tugasnya. La Rossa memalingkan wajahnya ketika ia menyadari bahwa dirinya tengah duduk di pangkuan pria bertopeng. Wajahnya sudah merah padam menahan rasa malu, ia mendorong dada pria bertopeng itu, namun sia-sia saja. "Dari mana kamu?!" tanya Pria Bertopeng penuh penekanan. "Bukan urusanmu!" ketus La Rossa tak kalah dingin. "Akan menjadi urusanku jika itu berkaitan denganmu!" tegas Pria Bertopeng. La Rossa terdiam, ia mencoba mencerna apa yang dikatakan oleh Pria Bertopeng itu. "Apa maksudmu?" rasa penasaran membuat Lla Rossa memilih untuk bertanya. Pria Bertopeng itu membuka topengnya, terlihat jelas sebelah wajahnya yang rusak. Matanya
La Rossa membeliakkan matanya tak percaya, ia benar-benar tak menyangka kalau Gilbert berani menciumnya. Lama Gilbert memagut bibir La Rossa, sementara itu jantung La Rossa berdegup kencang. Ini adalah ciuman pertamanya yang di renggut paksa oleh Gilbert tanpa seizinnya.La Rossa mendorong dada Gilbert, nafasnya tersengal-sengal. Gilbert melepaskan pagutannya. Ia menangkup wajah La Rossa dengan kedua tangannya, ia menatap mata La Rossa."Apa yang terjadi?" tanya Gilbert."Maksudmu?" La Rossa balik bertanya."Dua puluh tahun yang lalu?" sambung Gilbert, ia penasaran dengan tragedi yang menimpa La Rossa."Entahlah, aku pun tak tahu! Yang aku ingat hanyalah tato yang ada di punggung lengan orang itu," angan La Rossa melayang mengingat kejadian dua puluh tahun yang lalu.Tiba-tiba kepala La Rossa sakit. Ia menahan rasa sakit dikepalanya dengan meremas kuat rambutnya dengan kedua tangannya. La Rossa menjenggut rambutnya, wajahnya meringis m
Lamunan Gilbert buyar seketika. Ketika ia mendengar sebuah jeritan, La Rossa menjerit dalam tidurnya. Ia mengalami mimpi buruk lagi. Bajunya basah kuyup oleh keringat, wajahnya pucat pasi dengan bibir yang bergetar. Tubuhnya menggigil. Gilbert bangun seketika dan langsung menghampiri La Rossa, ia membangunkan La Rossa secara perlahan. Dengan tersentak kaget dan bangun seketika La Rossa langsung terduduk. Nafasnya memburu, dengan dahi yang berkeringat padahal AC-nya menyala. La Rossa menangis tersedu, dan Gilbert memeluknya. La Rossa menangis dalam dekapan Gilbert. Sudah sejak lama ia selalu mengalami mimpi buruk itu. "Menangislah agar jauh lebih tenang, aku akan selalu ada di sisimu selamanya," janji Gilbert. La Rossa menangis dalam pelukan Gilbert, selama ini tak ada yang tahu kesedihan dan perasaannya kecuali Jhonny yang selalu ada di sampingnya. La Rossa pandai menyimpan kesedihannya. Isak tangis La Rossa terdengar begitu menyayat hati, ia terisak hingga sesenggukan. Belum per
Brak! Sebuah suara dentuman keras telah mengejutkan mereka berdua. Gilbert dan La Rossa saling pandang. La Rossa bersiap siaga dengan mengambil pistol dan senjata tajam dari dalam ranselnya. Gilbert segera mengenakan kembali topeng peraknya. Ada lima orang bertubuh kekar menerobos masuk ke dalam kamar hotel La Rossa, mereka adalah anak buah dari Komrad. Mereka semua membawa senjata tajam. "Di sini rupanya kamu? Wanita laknat!" "Sudah jangan basa basi kita langsung habisi saja," "Sebaiknya memang begitu," Mereka tanpa menunggu langsung menyerang La Rossa dan Gilbert. Serangan mereka begitu brutal, La Rossa menangkis setiap serangan dari mereka dengan cepat dan gesit. Senjata tajam yang mereka gunakan sesekali mengenai proferti yang ada di dalam kamar hotel. Tempat yang sempit tidak menghalangi gerakan La Rossa dan Gilbert. Perpaduan yang begitu epik antara La Rossa dan Gilbert. Mereka berkolaborasi dalam menyerang dan menangkis serangan dari anak buah Komrad. sungguh sebuah pem
La Rossa masuk ke dalam kamar, ia mengedarkan pandangannya menelisik isi kamar itu. Dan ternyata kamarnya bersih, bahkan tidak terlihat seperti kamar yang lama tak dihuni.“Siapa yang menempati kamar ini?” batin La Rossa.Ia lalu berkeliling sembari menyentuh setiap perabotan yang ada di dalamnya. “Tak ada debu, benar-benar bersih,” gumam La Rossa.Ia duduk di pinggiran ranjang, matanya terus berkeliling. Pandangan mata La Rossa terkunci pada sebuah foto usang berbingkai kayu berwarna hitam yang terpampang di atas nakas yang ada di samping ranjang.Ia bangkit dan berjalan mendekati nakas, mengambil foto itu dan mengamatinya dengan penuh saksama. Ia mengerutkan keningnya, wajahnya terasa familiar. Tapi, ia tak pernah melihatnya.Ia terus mengamati foto itu. Seorang wanita yang cantik dengan mata biru dan hidung mancung persis seperti milik Gilbert. “Ah! Ya Gilbert, ia mirip Gilbert,” gumam La Rossa.“Mata dan hid
Keesokan harinya La Rossa bangun ketika ada yang menyentuh pundaknya. Ia tersentak kaget dengan gerakan yang sangat cepat, ia menangkap tangan itu dan memelintirnya.Tinjunya melayang menghantam perutnya. BUGH! “Ah ...!” pekik dan teriaknya.“Gilbert?!” La Rossa menatap wajah Gilbert yang tengah meringis menahan sakit di perutnya.La Rossa menggaruk tengkuk kepalanya canggung, ia tak terbiasa ada orang lain di dekatnya. Bahkan Jhonny saja sangat jarang, bahkan hampir tak pernah membangunkan dengan menyentuh atau mengguncangnya.“M-maaf ...,” La Rossa dengan suara lirih meminta maaf.“Tak apa. Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” Gilbert tersenyum manis pada La Rossa. "Jauh lebih baik," La Rossa turun dari tempat tidurnya. "Aku menunggumu untuk sarapan bersama," Gilbert lalu keluar dari kamar. La Rossa membersihkan dirinya dan berganti pakaian, setelah rapi ia keluar dari kamar menuju ke ruang makan. Semalam ia belum sempat melihat-lihat seluruh ruangan dalam rumah ini. Lebih tepatnya temp
La Rossa memandang Gilbert dengan tatapan penuh menyelidik. Rasa tak percaya kalau Gilbert memiliki kekuatan begitu besar. Bagaimana mungkin, bukankah Gilbert selama ini tak pernah keluar dari mansionnya? Lalu mulai kapan Gilbert menyusun dan membangun kekuatannya? Pertanyaan demi pertanyaan muncul di benak La Rossa.Gilbert merasakan tatapan menyelidik dari La Rossa. Tapi, ia berpura-pura tak mengetahuinya. Gilbert kembali menawari La Rossa untuk ikut bersamanya."Ikutlah bersamaku Ros!" pinta Gilbert."Tidak! Aku tidak bisa, maafkan aku," La Rossa kembali menolak tawaran dari Gilbert."Baiklah. Aku tak akan memaksamu. Tapi, tunggulah sampai aku kembali, baru kamu menyelidiki kematian kedua orang tuamu," Gilbert mengalah dan tak memaksa La Rossa untuk ikut bersamanya."Tapi ...,""Aku mohon!""Baiklah!"Akhirnya La Rossa yang mengalah. La Rossa beranjak dari tempat duduknya meninggalkan Gilbert dan teman-temannya. Ia kembali k