La Rossa menatap lekat kedalam retina pria bertopeng itu, sorot matanya mengingatkan kepada seseorang yang La Rossa kenal tapi entah siapa?. Ia berusaha mengingat orang itu tapi La Rossa sama sekali tidak menemukan dalam memorinya.
La Rossa ingat jika sorot mata itu juga sama persis dengan milik Gilbert sang target yang gagal ia bunuh. Taoi Gilbert hanya memiliki satu bola mata, sementara pria bertopeng yaang ada dihadapannya memiliki dua bola mata. 'Apa mereka satu orang yang sama atau mereka dua orang yang berbeda namun memiliki sorot mata yang sama? Tapi rasanya tidak mungkin dua orang yang berbeda memiliki sorot mata yang begitu sama persis.' batin La Rossa dalam hatinya.Tatapan mata La Rossa bertemu dengan pria bertopeng, ia menampakkan sorot mata yang teduh dan menenangkan. Tapi sedetik kemudian ia merubah tampilannya dengan menampakan sorot mata yang dingin dan kejam. La Rossa merasa bingung dengan keadaan ini, bagaimana bisa ia merubah tampilan hanya dalam hitungan detik saja.La Rossa yang sudah berkecimpung didunia gelap baru menemui situasi seperti ini. Selama ia menjadi pembunuh bayaran belum pernah melihat seseorang yang seperti pria bertopeng, yang memiliki akting yang luar biasa bagus. La Rossa kembali membatin dalam hatinya, 'apa ia Gilbert? Tapi rasanya tak mungkin, Gilbert tak memiliki bola mata disebelah kanannya, sedangkan ia memiliki dua bola mata yang begitu sempurna.'Lucas yang melihat interaksi keduanya memutuskan untuk pergi dari kamar itu, ia merasa seperti hantu yang tak terlihat, karena diabaikan oleh kedua orang yang ada dihadapannya."Ehmm ...," Lucas berdehem "aku akan pergi sekarang, jika kamu membutuhkan sesuatu atau ada sesuatu hubungi saja Dokter Harun, aku juga mengutus Suster Rita untuk menjaga dan merawatmu," ucap Lucas pada La Rossa yang dijawab dengan anggukan kepala.Pria bertopeng itu membalikan badannya menghadap ke arah Lucas, ia menatap Lucas dan menganggukan kepalanya. Lucas hanya tersenyum kecut menanggapi sikap pria bertopeng itu."Tidak bisakah kamu mengucapkan terimakasih padaku karena sudah menyelamatkan orang yang ada didalam hatimu?" bisik Lucas didekat telinga pria bertopeng itu.Pria bertopeng itu tidak mengatakan apa pun, ia menampakan sorot mata yang dingin dan datar, ekspresi wajahnya tidak dapat Lucas lihat karena tertutup oleh topeng."Ya ... ya ... ya ..., aku tahu kamu enggan untuk mengatakan itu, tapi aku tahu kamu ," ucap Lucas lalu ia pun pergi meninggalkan pria bertopeng dan La Rossa berdua saja didalam kamar VVIP itu."Kemana ia akan pergi? Kenapa ia menitipkanku pada Dokter yang lain?" tanya La Rossa."Ia akan ke Amerika menemui keluarganya," jawab pria bertopeng singkat.Pria bertopeng itu menggeser kursi yang ada disamping ranjang, ia kemudian mendaratkan pantannya dikursi itu. Pria bertopeng itu menatap La Rossa tanpa bersuara."Kenapa kamu menatapku seperti itu?" tanya La Rosa."Tidak apa-apa," jawab pria bertopeng."Apa kamu yang sudah menyelamatkanku?" kembali La Rossa bertanya pada pria bertopeng itu.Pria bertopeng itu tidak mengatakan apa pun, ia malah mengalihkan pembicaraan."Apa lukamu masih terasa sakit?" tanya pria bertopeng dengan menampilkan sorot mata yang datar dan dingin, begitu pun nada suaranya."Huum, sedikit," jawab La Rossa."Apa yang terjadi? Kenapa ada racun dalam aliran darahmu?" tanya pria bertopeng."Aku juga tidak tahu, mungkin orang itu mengolesi pisau itu dengan racun sebelum menusukannya padaku," jawab La Rossa yang hanya menerka-nerka saja apa yang terjadi padanya."Jika itu orang lain mungkin ia sudah meninggal saat itu juga, tapi berbeda denganmu apa yang membuatmu bisa bertahan dari racun itu?" kembali pria bertopeng menanyakan prihal racun yang ada didalam tunuh La Rossa."Aku juga tidak tahu," jawab La Rossa jujur apa adanya.Ia sendiri juga merasa heran bagaimana bisa ia mampu melawan racun yang ada dalam tubuhnya dan hampir memenuhi aliran darahnya. La Rossa terus berpikir kedua alisnya saling bertautan."Apa karena itu?" lirih La Rossa ragu."Karena apa?" tanya pria bertopeng penasaran.La Rossa kaget ternyata pendengaran pria bertopeng itu begitu tajam. Padahal ia hanya berkata dengan sangat lirih saja, namun sanggup didengar oleh pria bertopeng itu."Tidak ada," jawab La Rossa."Katakan saja," desak pria bertopeng itu."Sungguh aku tidak tahu, itu hanya pradugaku saja," jawab La Rossa.Pria bertopeng itu nampak kecewa dengan jawaban yang La Rossa berikan, ia berharap La Rossa akan menceritakan semua padanya, tapi La Rossa masih berusaha menutupi semua darinya.Pria bertopeng itu ingin La Rossa menaruh rasa percaya padanya, ia ingin menjadi orang yang terus berada dekat dengannya. Tapi rupanya La Rossa masih butuh waktu untuk itu.Melihat La Rossa memejamkan matanya, pria bertopeng itu menarik selimut La Rossa dan membenahinya. Ia menatap lekat wajah La Rossa lalu tersenyum samar. Ia menemani La Rossa hingga tertidur pulas lalu beranjak pergi meninggalkan La Rossa sendirian dalam kamar VVIP itu.Keesokan harinya, La Rossa terbangun ia mengucek kedua matanya dan mengedarkan pandangannya kesegala arah, ia mencari pria bertopeng tapi tidak menemukan dalam ruangan itu, yang ia temukan justru sosok seorang perawat yang tengah meringkuk diatas sofa yang ada dalam kamar VVIP itu.La Rossa berusaha bangun dan turun dari ranjang brangkar, karena tubuhnya yang masih sangat lemah ia pun terjatuh dan suara gedebum itu telah membangunkan perawat yang sedang tidur."Nona! Maafkan saya yang telah lalai menjaga Nona," ucap perawat yang memiliki nama Rita Permata Sari yang namanya ia sematkan didada atas sebelah kanan. Ia berlari ke arah La Rossa dan membantunya untuk berdiri."Bantu aku ke kamar mandi," pinta La Rossa.Rita memapah La Rossa menuju ke kamar mandi, dan La Rossa memintanya untuk menunggunya diluar. Lalu La Rossa keluar setelah ia menunaikan panggilan alamnya.Rita kembali memapah La Rossa dan membantunya naik keatas brangkar, La Rossa tidak mau berbaring ia ingin duduk saja. Rita pun membantu La Rossa duduk dengan memberikan sandaran bantal yang ia tumpuk dibelakang punggungnya agar La Rossa merasa nyaman."Apa sudah merasa nyaman Nona?" tanya Rita pada La Rossa."Ya cukup," jawab La Rossa."Sudah berapa lama kamu menjadi perawat?" tanya La Rossa."Baru lima tahun Nona," jawab Rita.Suara perut La Rossa berbunyi kerucuk sebagai tanda kalau cacing-cacing yang ada didalam perutnya sudah bernyanyi minta diisi."Apa Nona lapar?" tanya Rita. La Rossa menganggukan kepalanya.Rita pergi keluar meninggalkan La Rossa sendirian untuk mengambil makanan, saat itulah La Rossa mencabut jarum infus yang tersemat dipunggung tangannya dan darah segar pun muncrat menodai sprai putih. Darah segar mengucur dari punggung tangan La Rossa, ia merobek selimut yang sedang ia kenakan dan menggunakannya untuk membalut lukanya.La Rossa turun dari ranjang, ia berjalan keluar meninggalkan kamar VVIP Rumah Sakit.La Rossa meninggalkan Rumah Sakit, ia menyelinap dengan mengambil pakaian seorang Dokter yang tergantung disebuah ruangan kosong milik salah seorang Dokter praktek di sana. Ia pergi dengan menggunakan taxi yang kebetulan lewat di depan Rumah Sakit, ia meminta pada sang supir untuk mengantarkannya pada alamat yang ia sebutkan. Mobil pun melanju mengantarkan La Rossa ke sebuah lingkungan komplek perumahan yang sederhana. Ia turun ketika mobil berhenti tepat disebuah rumah bercat kuning pucat dengan halaman rumah yang penuh dengan bunga mawar beraneka warna. La Rossa meminta supir untuk menunggunya karena ia tidak memiliki uang sepeser pun. "Pak tunggu sebentar ya," pinta La Rossa pada supit taxi itu. "Ya neng," ucap supir itu setuju. Lalu ia berjalan membuka pintu gerbang dan melangkahkan kakinya hingga sampai di depan pintu dan mengetuknya. Pintu terbuka dan menampakkan sosok gadis cantik berhijab seusianya, ia menatap bingung La Rossa. "Cari siapa Ka?" tanya gadis itu. "Cari
Dirumah Sakit tempat La Rossa dirawat perawat itu datang dengan membawa nampan yang berisi makanan, ia mengetuk pintu kamar tapi tidak ada jawaban. Ia kembali mengetuk pintu itu hingga tiga kali tapi tetap tidak ada jawaban.Lalu ia mendorong pintu kamar itu, betapa terkejutnya ketika tidak mendapati La Rossa di sana. Ia meletakan nampan secara sembarang. Lalu Rita mendekat ke ranjang brangkar tempat La Rossa di rawat ia mendapati selang infus yang menggantung dengan meneteskan cairannya dan ada bercak darah di seperai putih itu.Perawat itu lalu mengambil HP-nya dan ia mulai menelepon Lucas. Orang yang telah mengutusnya untuk menjaga La Rossa. Akibat keteledorannya La Rossa kabur dari RS tempatnya dirawat."Halo, Pak. Orang yang dirawat di kamar 305 ruang VVIP hilang," ucap Rita sang perawat dengan suara bergetar ketakutan."Bagaimana bisa? Bukankah ia sedang sakit dan baru sadar dari komanya?" tanya Lucas penasaran."Aku tidak tahu, setelah aku kembali dari luar ia sudah tidak ada d
Pria bertopeng itu meninggalkan kamar VVIP. Ia pergi ke suatu tempat yang letaknya berada diujung gedung bangunan inti. Bangunan itu terlihat kumuh dan tidak layak ditempati.Pria bertopeng itu membuka pintu bangunan tua, suara kriet! terdengar, menandakan bahwa pintu jarang dibuka. Pria bertopeng masuk ke dalam gedung tua itu.Siapa yang menyangka kalau ternyata di dalam ruangan itu terlihat begitu bersih dan tertata rapi, semua perabotan yang ada di dalamnya juga nampak baru dan mewah. Pria bertopeng itu membuka topeng yang selama ini menutupi wajahnya.Ia mengelus lembut pipinya yang memiliki bekas luka yang memanjang dan lebar hampir menutupi sebagian wajahnya, siapapun yang melihat akan ketakutan karena terlihat seperti monster.Dan kemudian ia juga membuka lapisan yang menutupi matanya, ternyata mata itu hanya bola mata palsu yang dirancang menyerupai sebelah matanya yang utuh."Sudah saatnya aku menampakkan diri ke dunia nyata yang selama ini membuatku menderita," gumamnya liri
Pria bertopeng masuk ke kamarnya dengan memanjat tembok balkon kamar, ia lalu masuk melalui jendela kamar. Pria bertopeng itu mengubah penampilannya menjadi orang yang lemah dan begitu menyedihkan. Ia duduk di kursi roda dan wajah monsternya memasang sebuah wajah yang penuh kesedihan. "Tuan anda sudah kembali?" tanya Jonathan, yang selama ini menjadi orang kepercayaannya. "Hmm ...," jawab singkat pria bertopeng yang ternyata ia adalah Gilbert. Gilbert pria lumpuh berwajah monster, ia kini sedang berpura-pura menjadi orang yang lemah demi mengelabuhi orang yang selalu menginginkan kematiannya. "Apa Paman Alfredo sudah datang?" tanya Gilbert. "Belum Tuan, mungkin sebentar lagi," jawab Jonathan sopan. "Bantu aku ke balkon," pinta Gilbert pada Jonathan. Jonathan mendorong kursi roda milik Gilbert ke balkon, ia kemudian mengunci kursi roda itu. Gilbert melihat ke luar dengan mengedarkan pandangannya, motor yang ia gunakan sudah tidak terparkir di halaman. Pintu depan gerbang terb
Gilbert berdiri melihat ke arah luar, tatapannya penuh. Ia melihat iring-iringan Alfredo meninggalkan rumahnya. Jonathan masuk ke dalam dan melihat Gilbert sedang melihat keluar lewat jendala kaca kamarnya. "Tuan," sapa Jonathan. "Sudah aku katakan berulangkali jangan panggil aku Tuan jika kita sedang berdua saja," tegur Gilbert pada Jonathan. "Tapi ...," ucap Jonathan. "Sudah jangan beralasan! Ada apa?" ucap Gilbert dengan pandanga tetap mengarah keluar, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. "Semuanya sudah siap Tuan, maaf maksudku Gilbert," ucap Jonathan gugup. Jonathan mengenal Gilbert, ia tahu bagaimana karakternya. Sudah sejak lama Jonathan bekerja dengan Gilbert. "Kemas semua barang-barang yang aku butuhkan, kita berangkat malam ini," pinta Gilbert pada Jonathan. "Semua sudah siap, kita hanya menunggu waktu saja," jawab Jonathan. "Bagus!" ucap Gilbert dengan sorot mata yang tajam, membuat siapa saja yang melihatnya bergidik ngeri. Malam pun tiba Gilbert b
Alfredo keluar dari ruang kerjanya, senyumannya terus terukir di bibirnya. Ia berjalan menaiki tangga satu demi satu, langkahnya begitu ringan. Beban yang selama ini akhirnya terlepas juga.Kematian Gilbert adalah kebahagian terbesarnya setelah ia menunggu sekian lama, Alfredo menyenandungkan lagu sebagai ungkapan kebahagiaannya."Selamat jalan keponakan tersayangku, akhirnya kamu menyusul kedua orang tuamu ke neraka," gumam Alfredo."Akhirnya aku bisa menikmati semua ini dengan tenang, kamu pasti merindukan kakak tiriku alias Ayahmu dan ingin segera berkumpul dengan mereka, tenang saja aku akan mengurus pemakan termegah yang pernah ada," ucap Alfredo sambil tersenyum.Ia memasuk kamar tidurnya, sudah lama ia tidak pernah menikmati tidur di ranjang empuk bersama istri sexynya. Ia mengganti bajunya dan mulai merangkak naik ke atas ranjang. Ia mendekap tubuh istrinya yang hanya mengenakan baju tidur yang tipis menerawang.Ia mulai meraba, menggerayangi tubuh istrinya yang sudah sejak la
Alfredo tampak panik, wajahnya pucat. Darimana para direksi itu mendapatkan berita kematian Gilbert sang pewaris tunggal kerajaan bisnis milik ayahnya yang kini dipegang oleh Alfredo sebagai wali sahnya. Alfredo berdiri dan langsung pergi meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang sudah terhidang. Sisca mengikuti langkah suaminya dari belakang, ia mensejajarkan dirinya dengan Abraham. Sisca membisikkan sesuatu ke telinga Abraham yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala oleh Abraham. "Kita ke kantor sekarang!" perintah Alfredo tidak senang. Baru saja semalam ia tertawa bahagia karena penghalang terbesarnya selama ini sudah meninggal, tapi dipagi buta begini ia menerima berita yang membuat perutnya mual dan ingin muntah akibat kesal. Baginya jam 08.00 pagi masih pagi buta, ia bergegas masuk ke dalam mobil mewahnya. Semua fasilitas mewah yang ia miliki adalah milik Gilbert, keponakannya. "Katakan pada Siren untuk menyiapkan semuanya!" perintah Alfredo pada
Alfredo dan Abraham keluar dari ruangan tempat Alfredo bekerja, mereka menyusuri lorong dan melewati beberapa ruangan. Siren berjalan dibelakangnya mereka, ia berjalan tanpa ekspresi. Sorot mata yang tajam dan kejam terpancar, ia tidak terlihat seperti seorang sekertaris melainkan lebih terlihat seperti pembunuh yang kejam. Alfredo memasuki sebuah ruangan di sana sudah menunggu para dewan direksi dan pemegang saham, mereka menunggu dengan raut wajah cemas. Berita kematian Gilbert menyebabkan harga saham perusahaan turun secara drastis, itu sungguh membuat takut para pemegang saham. "Selamat pagi semuanya," sapa Alfredo pada semua orang yang hadir di sana. "Pagi," jawab mereka hambir serentak. Alfredo langsung duduk di kursi kebanggannya, sudah 20 tahun ia menikmati kedudukan sebagai CEO sekaligus wali dari pemegang saham terbesar milik Gilbert. "Rapat pemegang saham dan direksi kita mulai," ucap Alfredo serius. Siren maju kedepan dan ia membagikan sebuah kertas yang berisi lapo