La Rossa meninggalkan Rumah Sakit, ia menyelinap dengan mengambil pakaian seorang Dokter yang tergantung disebuah ruangan kosong milik salah seorang Dokter praktek di sana.
Ia pergi dengan menggunakan taxi yang kebetulan lewat di depan Rumah Sakit, ia meminta pada sang supir untuk mengantarkannya pada alamat yang ia sebutkan.
Mobil pun melanju mengantarkan La Rossa ke sebuah lingkungan komplek perumahan yang sederhana. Ia turun ketika mobil berhenti tepat disebuah rumah bercat kuning pucat dengan halaman rumah yang penuh dengan bunga mawar beraneka warna.
La Rossa meminta supir untuk menunggunya karena ia tidak memiliki uang sepeser pun.
"Pak tunggu sebentar ya," pinta La Rossa pada supit taxi itu.
"Ya neng," ucap supir itu setuju.
Lalu ia berjalan membuka pintu gerbang dan melangkahkan kakinya hingga sampai di depan pintu dan mengetuknya.
Pintu terbuka dan menampakkan sosok gadis cantik berhijab seusianya, ia menatap bingung La Rossa.
"Cari siapa Ka?" tanya gadis itu.
"Cari Anisa," jawab La Rossa singkat.
"Cari saya?" tanya Anisa merasa heran, karena orang yang ada di hadapannya tidak ia kenal.
"Iya, kamu lupa denganku?" tanya La Rossa.
Anisa menatap lekat ke arah La Rossa, samar-samar ia mulai mengingat wajah gadis di depannya yang sangat mirip dengan sahabat kecilnya dulu.
"Rossalinda?" tanya Anisa.
"Iya," jawab singkat La Rossa.
Anisa tanpa menunggu lama ia langsung memeluk La Rossa erat, air matanya menetes membasahi pipinya.
"Kamu kemana saja selama ini Ros?" tanya Anisa sambil melepaskan pelukannya.
"Bisa pinjamin aku uang?" tanya La Rossa berterus terang.
"Uang?" tanya Anisa heran.
"Untuk membayar Taxi," jawab La Rossa datar.
Semenjak masuk kedalam kelompok pembunuh bayarab ia tidak bisa tersenyum, senyuman yang ia tampilkan hanya senyum palsu untuk menjerat targetnya, selebihnya ia akan kembali ke La Rossa yang kaku dan dingin.
Anisa merogoh saku bajunya, ia menyerahkan uang seratus ribuan sebanyak lima lembar, La Rossa mengambilnya dan menyerahkan semua kepada supir Taxi.
"Neng kebanyakan, ongkosnya hanya seratus ribu," ucap sang supir sambil menyerahkan sisa uangnya.
La Rossa mengambil uang itu dan kembali menemui Anisa. Dan Anisa mengajak La Rossa masuk ke dalam. Setelah mereka berdua duduk dikursi ruangan tengah, La Rossa langsung menanyakan khabar orang tua Anisa.
"Bagaimana khabar Bibi dan Paman?" tanya La Rossa.
Mendengar pertanyaan La Rossa, Anisa langsung menundukan kepalanya, ia terisak menangis, bahunya berguncang.
La Rossa yang melihat Anisa menangis hanya menatapnya saja, ia tidak berusaha untuk menghiburnya karena ia tidak tahu caranya.
"Ada apa dengan mereka?" kembali La Rossa bertanya ketika melihat Anisa sudah reda menangisnya.
"Mereka sudah meninggal," jawab Anisa sedih, ia menyeka air matanya dengan punggung tangannya.
"Sakit?" tanya La Rossa datar.
"Entahlah? Mereka meninggal secara tak wajar. Mama meninggal keracunan dan Papa meninggal dalam sebuah kecelakaan saat akan menyeberang jalan," ucap Anisa sedih.
La Rossa terdiam, sorot matanya menampakkan kemarahan yang luar biasa, lalu kembali dingin hanya dalam hitungan detik. Anisa yang melihatnya terkejut kaget.
La Rossa yang ia kenal dulu kini telah berubah, tidak ada untaian senyuman dalam bibirnya seperti dulu saat mereka bersama, sorot matanya yang selalu berbinar kini dingin dan mampu membekukan hati orang yang menatapnya, apalagi saat Anisa menatap matanya ketika marah, ada kengerian dalam hatinya.
Dirumah Sakit tempat La Rossa dirawat perawat itu datang dengan membawa nampan yang berisi makanan, ia mengetuk pintu kamar tapi tidak ada jawaban. Ia kembali mengetuk pintu itu hingga tiga kali tapi tetap tidak ada jawaban.Lalu ia mendorong pintu kamar itu, betapa terkejutnya ketika tidak mendapati La Rossa di sana. Ia meletakan nampan secara sembarang. Lalu Rita mendekat ke ranjang brangkar tempat La Rossa di rawat ia mendapati selang infus yang menggantung dengan meneteskan cairannya dan ada bercak darah di seperai putih itu.Perawat itu lalu mengambil HP-nya dan ia mulai menelepon Lucas. Orang yang telah mengutusnya untuk menjaga La Rossa. Akibat keteledorannya La Rossa kabur dari RS tempatnya dirawat."Halo, Pak. Orang yang dirawat di kamar 305 ruang VVIP hilang," ucap Rita sang perawat dengan suara bergetar ketakutan."Bagaimana bisa? Bukankah ia sedang sakit dan baru sadar dari komanya?" tanya Lucas penasaran."Aku tidak tahu, setelah aku kembali dari luar ia sudah tidak ada d
Pria bertopeng itu meninggalkan kamar VVIP. Ia pergi ke suatu tempat yang letaknya berada diujung gedung bangunan inti. Bangunan itu terlihat kumuh dan tidak layak ditempati.Pria bertopeng itu membuka pintu bangunan tua, suara kriet! terdengar, menandakan bahwa pintu jarang dibuka. Pria bertopeng masuk ke dalam gedung tua itu.Siapa yang menyangka kalau ternyata di dalam ruangan itu terlihat begitu bersih dan tertata rapi, semua perabotan yang ada di dalamnya juga nampak baru dan mewah. Pria bertopeng itu membuka topeng yang selama ini menutupi wajahnya.Ia mengelus lembut pipinya yang memiliki bekas luka yang memanjang dan lebar hampir menutupi sebagian wajahnya, siapapun yang melihat akan ketakutan karena terlihat seperti monster.Dan kemudian ia juga membuka lapisan yang menutupi matanya, ternyata mata itu hanya bola mata palsu yang dirancang menyerupai sebelah matanya yang utuh."Sudah saatnya aku menampakkan diri ke dunia nyata yang selama ini membuatku menderita," gumamnya liri
Pria bertopeng masuk ke kamarnya dengan memanjat tembok balkon kamar, ia lalu masuk melalui jendela kamar. Pria bertopeng itu mengubah penampilannya menjadi orang yang lemah dan begitu menyedihkan. Ia duduk di kursi roda dan wajah monsternya memasang sebuah wajah yang penuh kesedihan. "Tuan anda sudah kembali?" tanya Jonathan, yang selama ini menjadi orang kepercayaannya. "Hmm ...," jawab singkat pria bertopeng yang ternyata ia adalah Gilbert. Gilbert pria lumpuh berwajah monster, ia kini sedang berpura-pura menjadi orang yang lemah demi mengelabuhi orang yang selalu menginginkan kematiannya. "Apa Paman Alfredo sudah datang?" tanya Gilbert. "Belum Tuan, mungkin sebentar lagi," jawab Jonathan sopan. "Bantu aku ke balkon," pinta Gilbert pada Jonathan. Jonathan mendorong kursi roda milik Gilbert ke balkon, ia kemudian mengunci kursi roda itu. Gilbert melihat ke luar dengan mengedarkan pandangannya, motor yang ia gunakan sudah tidak terparkir di halaman. Pintu depan gerbang terb
Gilbert berdiri melihat ke arah luar, tatapannya penuh. Ia melihat iring-iringan Alfredo meninggalkan rumahnya. Jonathan masuk ke dalam dan melihat Gilbert sedang melihat keluar lewat jendala kaca kamarnya. "Tuan," sapa Jonathan. "Sudah aku katakan berulangkali jangan panggil aku Tuan jika kita sedang berdua saja," tegur Gilbert pada Jonathan. "Tapi ...," ucap Jonathan. "Sudah jangan beralasan! Ada apa?" ucap Gilbert dengan pandanga tetap mengarah keluar, kedua tangannya ia masukan ke dalam saku celananya. "Semuanya sudah siap Tuan, maaf maksudku Gilbert," ucap Jonathan gugup. Jonathan mengenal Gilbert, ia tahu bagaimana karakternya. Sudah sejak lama Jonathan bekerja dengan Gilbert. "Kemas semua barang-barang yang aku butuhkan, kita berangkat malam ini," pinta Gilbert pada Jonathan. "Semua sudah siap, kita hanya menunggu waktu saja," jawab Jonathan. "Bagus!" ucap Gilbert dengan sorot mata yang tajam, membuat siapa saja yang melihatnya bergidik ngeri. Malam pun tiba Gilbert b
Alfredo keluar dari ruang kerjanya, senyumannya terus terukir di bibirnya. Ia berjalan menaiki tangga satu demi satu, langkahnya begitu ringan. Beban yang selama ini akhirnya terlepas juga.Kematian Gilbert adalah kebahagian terbesarnya setelah ia menunggu sekian lama, Alfredo menyenandungkan lagu sebagai ungkapan kebahagiaannya."Selamat jalan keponakan tersayangku, akhirnya kamu menyusul kedua orang tuamu ke neraka," gumam Alfredo."Akhirnya aku bisa menikmati semua ini dengan tenang, kamu pasti merindukan kakak tiriku alias Ayahmu dan ingin segera berkumpul dengan mereka, tenang saja aku akan mengurus pemakan termegah yang pernah ada," ucap Alfredo sambil tersenyum.Ia memasuk kamar tidurnya, sudah lama ia tidak pernah menikmati tidur di ranjang empuk bersama istri sexynya. Ia mengganti bajunya dan mulai merangkak naik ke atas ranjang. Ia mendekap tubuh istrinya yang hanya mengenakan baju tidur yang tipis menerawang.Ia mulai meraba, menggerayangi tubuh istrinya yang sudah sejak la
Alfredo tampak panik, wajahnya pucat. Darimana para direksi itu mendapatkan berita kematian Gilbert sang pewaris tunggal kerajaan bisnis milik ayahnya yang kini dipegang oleh Alfredo sebagai wali sahnya. Alfredo berdiri dan langsung pergi meninggalkan meja makan tanpa menyentuh sedikit pun makanan yang sudah terhidang. Sisca mengikuti langkah suaminya dari belakang, ia mensejajarkan dirinya dengan Abraham. Sisca membisikkan sesuatu ke telinga Abraham yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala oleh Abraham. "Kita ke kantor sekarang!" perintah Alfredo tidak senang. Baru saja semalam ia tertawa bahagia karena penghalang terbesarnya selama ini sudah meninggal, tapi dipagi buta begini ia menerima berita yang membuat perutnya mual dan ingin muntah akibat kesal. Baginya jam 08.00 pagi masih pagi buta, ia bergegas masuk ke dalam mobil mewahnya. Semua fasilitas mewah yang ia miliki adalah milik Gilbert, keponakannya. "Katakan pada Siren untuk menyiapkan semuanya!" perintah Alfredo pada
Alfredo dan Abraham keluar dari ruangan tempat Alfredo bekerja, mereka menyusuri lorong dan melewati beberapa ruangan. Siren berjalan dibelakangnya mereka, ia berjalan tanpa ekspresi. Sorot mata yang tajam dan kejam terpancar, ia tidak terlihat seperti seorang sekertaris melainkan lebih terlihat seperti pembunuh yang kejam. Alfredo memasuki sebuah ruangan di sana sudah menunggu para dewan direksi dan pemegang saham, mereka menunggu dengan raut wajah cemas. Berita kematian Gilbert menyebabkan harga saham perusahaan turun secara drastis, itu sungguh membuat takut para pemegang saham. "Selamat pagi semuanya," sapa Alfredo pada semua orang yang hadir di sana. "Pagi," jawab mereka hambir serentak. Alfredo langsung duduk di kursi kebanggannya, sudah 20 tahun ia menikmati kedudukan sebagai CEO sekaligus wali dari pemegang saham terbesar milik Gilbert. "Rapat pemegang saham dan direksi kita mulai," ucap Alfredo serius. Siren maju kedepan dan ia membagikan sebuah kertas yang berisi lapo
Abraham terpanah melihat sorot tajam mata Siren yang tidak seperti biasanya, Abraham tidak percaya pada penglihatannya. Ia memalingkan wajahnya karena merasa ngeri saat menatap sorot mata tajam Siren bak sebuah tatapan yang siap menerkam musuhnya dan menghujaninya dengan ribuan anak panah yang siap menancap di sekujur tubuhnya. Membayangkan itu semua Abraham sampai bergidik, ia tidak pernah menyangka jika Siren mampu menampilkan sorot mata yang semengerikan itu. Namun begitu Abraham kembali menatap mata Siren, sorot mata tajam itu telah sirna. Kini mata Siren menampakan sebuah tatapan yang menenangkan dan begitu teduh seperti biasanya. Abraham sampai terheran-heran dengan perubahan yang begitu cepat itu. "Apa aku salah lihat?" batin Abraham. "Tapi mana mungkin. aku melihatnya dengan begitu jelas. Bahkan sangat jelas, tapi perubahan itu terjadi hanya dalam hitungan detik saja. Kemampuan macam apa yang ia miliki?" kembali Abraham membatin. "Sudahlah! Mungkin aku yang benar-benar sa