Home / Thriller / Mafia Insyaf / Bab 1: Keluar dari Dunia Gelap

Share

Mafia Insyaf
Mafia Insyaf
Author: Bang Thor

Bab 1: Keluar dari Dunia Gelap

Author: Bang Thor
last update Last Updated: 2025-04-13 17:18:13

Suasana di gudang tua di pinggiran kota malam itu terasa lebih mencekam dari biasanya. Lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan samar di lantai beton yang dingin. Bau asap rokok bercampur dengan aroma bensin menyebar di udara, menambah berat suasana. Di tengah ruangan, Anton "Si Tangan Besi" duduk di kursi besi yang sudah berkarat. Tangannya menggenggam rokok yang hampir habis, sementara tatapannya kosong menatap lantai.

"Gua udah muak sama semua ini," gumam Anton pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Di hadapannya, tiga anak buahnya—Bono, Jaki, dan Reno—saling pandang dengan ragu. Mereka tahu betul kalau bos mereka jarang bicara soal perasaannya, apalagi menyatakan kebosanan terhadap dunia yang selama ini membuat namanya ditakuti di seluruh penjuru kota.

"Bos, serius nih?" Bono akhirnya angkat bicara, nada suaranya setengah tidak percaya. "Kita udah hampir nguasain separuh kota. Tinggal nunggu waktu sebelum geng si Rudi keok. Masa lu mau cabut sekarang?"

Anton menghembuskan asap rokoknya perlahan, lalu mematikan puntung rokok di asbak aluminium. Tatapannya tajam menatap Bono. "Lu pikir gua nggak capek? Setiap hari hidup di bawah bayang-bayang peluru? Bangun pagi nggak pernah tahu ini bakal jadi hari terakhir gua hidup atau nggak? Gua udah muak, Bon."

Jaki tertawa kecil. "Jadi... lu mau jadi orang baik sekarang? Buka warung kopi? Jadi tukang bakso, mungkin?"

Anton tersenyum tipis. "Mungkin aja. Buka warung kopi kayaknya enak."

"Terus, modalnya gimana? Emang bisa dari penghasilan kita di dunia gelap itu? Kalau uangnya haram mau dikelola kayak gimana juga, ya tetep haram." Timpal salah satu anak buahnya, panjang kali lebar.

Dengan tenang, Anton duduk di kursi barunya. Sudah memiliki modal dari tabungan lamanya, dari penghasilan yang halal. "Udah, kalian tenang aja..."

Ketiga anak buahnya terdiam, menatap Anton seolah dia sudah kehilangan akal sehat. Reno menggeleng-gelengkan kepala. "Bos, lu tahu nggak kalau orang kayak kita nggak bisa keluar begitu aja? Dunia kita ini nggak punya pintu keluar."

Anton berdiri. Tatapannya dingin dan penuh ketegasan. "Kalau nggak ada pintu keluar, gua bakal bikin sendiri."

Malam itu, Anton benar-benar merasa bahwa hidupnya harus berubah. Semua ini bermula dari kejadian dua minggu lalu. Saat itu, Anton dan anak buahnya sedang mengatur transaksi senjata di pelabuhan. Semuanya berjalan mulus, sampai tiba-tiba geng Rudi datang membawa pasukan bersenjata lengkap.

Peluru berdesing ke segala arah. Anton sempat berlindung di balik peti kayu, tapi satu peluru menembus bahunya. Rasa panas dan perih langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Darah mengalir deras, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Anton pikir itu adalah akhir hidupnya—tapi di tengah kesadarannya yang mulai menipis, dia melihat sosok pria tua berjubah putih berdiri di hadapannya.

"Ini bukan hidup yang seharusnya kau jalani," kata pria itu dengan suara dalam dan menenangkan. "Kalau kau ingin kesempatan kedua, tinggalkan dunia ini."

Saat Anton sadar di rumah sakit tiga hari kemudian, kata-kata pria itu masih terngiang di kepalanya. Itu bukan sekadar mimpi, Anton yakin. Itu adalah peringatan.

Sekarang, setelah keluar dari rumah sakit, Anton merasa inilah saatnya untuk berubah. Dunia mafia mungkin telah memberinya kekuasaan, uang, dan rasa hormat—tapi itu juga telah membuatnya kehilangan banyak hal. Teman-temannya mati satu per satu, orang-orang yang dia cintai menjauh, dan hidupnya selalu dihantui rasa cemas.

Anton memutuskan untuk memulai semuanya dari nol. Dia membeli sebuah ruko kecil di sudut kota yang sudah lama kosong. Tempat itu dulunya adalah toko kelontong, tapi sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Dengan bantuan beberapa orang kepercayaannya, Anton mulai merenovasi tempat itu. Cat dinding yang terkelupas diganti dengan warna krem yang lembut. Meja dan kursi kayu ditata rapi di sudut ruangan. Aroma kopi mulai menyebar ketika Anton mencoba mesin kopi yang baru dibelinya.

"Mulai hari ini, kita ubah jalan hidup kita. Ke jalan yang lebih lurus, lebih aman, dan yang paling penting, lebih halal." Ucap Anton dengan bangga kepada para anak buahnya.

Suatu pagi, ketika Anton sedang mengepel lantai, pintu ruko terbuka. Luki, seorang detektif dari kepolisian, masuk dengan tatapan curiga. Luki adalah musuh lama Anton—atau lebih tepatnya, rival yang selalu gagal menangkapnya.

"Si Tangan Besi buka warung kopi?" Luki menyandarkan dirinya di ambang pintu, tangannya disilangkan di dada. "Ini rencana baru buat nyamar, ya?"

Anton menatap Luki sekilas lalu melanjutkan pekerjaannya. "Gua udah pensiun, Luk. Cuma mau cari hidup yang tenang."

Luki tertawa sinis. "Orang kayak lu nggak bisa hidup tenang. Cepat atau lambat, masa lalu bakal nyeret lu balik."

Anton berhenti mengepel. Tatapannya dingin. "Kita lihat aja."

Selama beberapa minggu pertama, semuanya berjalan lancar. Warung kopi Anton mulai ramai. Orang-orang datang bukan hanya karena rasa kopinya yang enak, tapi juga karena ingin melihat apakah benar seorang mantan mafia bisa berubah jadi warga sipil biasa. Di Warkopnya tersedia berbagai varian, ada kopi espresso, latte, dan juga varian lainnya.

Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Akan cepat berganti dengan ketegangan.

Suatu malam, ketika Anton sedang merapikan meja, telepon di konter berbunyi. Anton mengangkatnya, dan suara di ujung sana langsung membuat darahnya membeku.

"Bos Anton," suara itu berat dan dingin. "Kau pikir bisa keluar semudah itu?"

Anton terdiam. Jantungnya berdebar.

"Keponakanmu, Rina, ada di tangan kami sekarang. Kalau kau mau dia selamat, kau tahu harus melakukan apa." Suara penelpon itu tidak terdengar asing di telinga Anton, sudah lama ia mengenalnya.

Telepon terputus. Anton menggenggam gagang telepon erat-erat, matanya berkilat marah. Dalam hitungan detik, insting lamanya kembali muncul.

Pintu warung kopi terbuka, dan Luki berdiri di ambang pintu dengan tatapan serius. "Masalah?"

Anton menatap Luki tajam. "Mereka bawa keponakan gua."

Luki menghela napas panjang. "Gua bilang juga apa. Dunia lu nggak bakal ngelepas lu semudah itu."

Anton mengambil jaket kulit hitamnya dari gantungan. "Kalau mereka pikir gua bakal tinggal diam, mereka salah besar."

Luki menyeringai. "Gua ikut."

Anton menatap Luki sejenak, lalu mengangguk. "Kalau lu bikin kekacauan, gua bakal nyalahin lu."

"Kalau lu bikin kekacauan, gua bakal nangkep lu," balas Luki dengan senyum kecil. Luki ingin menguji kesungguhan Anton untuk keluar dari dari gelap ini.

Anton berjalan keluar, diikuti Luki. Malam itu, Anton tahu satu hal pasti—jalan keluar dari dunia gelap tidak akan semudah yang ia bayangkan. Tapi kali ini, dia tidak akan berjuang untuk kekuasaan atau uang. Dia berjuang untuk orang yang ia cintai. Dan untuk itu, dia rela menghadapi apa pun.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mafia Insyaf    Bab 31: Bayangan di Balik Nama

    Anton terbangun di tempat asing. Cahaya putih redup menggantung di langit-langit, berkelip pelan. Ruangan itu kosong, kecuali ranjang lipat, wastafel kecil, dan cermin retak. Bau antiseptik tajam menusuk hidung.Dia bergerak perlahan. Setiap tarikan napas membuat rusuknya berteriak. Luka-luka di tubuhnya sudah dibersihkan dan diperban. Tapi bukan itu yang membuatnya gelisah—melainkan kenyataan bahwa seseorang telah menyelamatkannya, tapi tidak membawanya pulang ke markas.Pintu terbuka. Sosok mungil masuk, mengenakan hoodie hitam dan masker. Langkahnya ringan, nyaris tanpa suara.“Lo sadar lebih cepat dari dugaan,” suara perempuan. Familiar.Anton memicingkan mata. “Rina?”Perempuan itu membuka maskernya. Bukan Rina. Tapi mirip.“Nama gue Ayra,” katanya. “Gue kerja buat mereka. Tapi sekarang... gue gak yakin gue masih tahu siapa mereka.”Anton bangkit duduk, meringis menahan sakit. “Mereka siapa?”Ayra menatapnya lama. “Bayangan. Jaringan yang lo kira lo lawan dari luar... padahal lo

  • Mafia Insyaf     Bab 30: Retakan di Tengah Lingkaran

    Markas bawah tanah malam itu sunyi. Terlalu sunyi. Biasanya Luki suka menyetel lagu rock klasik sambil bersih-bersih senjata, Yuda ribut soal algoritma pengamanan, dan Rina ngoceh sambil mengetik cepat. Tapi malam ini, semuanya diam. Bahkan suara kipas tua di pojok terdengar lebih keras dari biasanya. Anton duduk di depan papan strategi. Peta kota terbentang di dinding, dipenuhi pin warna dan catatan tempel. Tapi pandangannya kosong. Tangannya memegang pulpen, tapi tak menulis apa pun. Dia hanya duduk. Memikirkan ulang semuanya. " Tahu sesuatu, Om?" Rina akhirnya angkat suara. Suaranya pelan, tapi terasa menusuk. Anton menoleh, matanya tajam. Tapi bukan marah. Lebih ke... kecewa. "Om baru dapet info. Ada yang bocorin lokasi kita minggu lalu. Bukan sembarang bocoran. Ini kerjaan orang dalam. Orang yang ngerti pola gerak kita. Pola komunikasi kita." Yuda langsung berdiri. "Lu nuduh salah satu dari kita?" Anton menggeleng. "Gua gak nuduh. Gua nyari bukti. Tapi sekarang... gua

  • Mafia Insyaf    Bab 29: Kursi Panas dan Bayangan Keempat

    Gedung Reformasi Kota kembali sepi keesokan harinya, tapi Anton tahu ketenangan seperti itu beracun. Tak ada yang benar-benar tenang setelah rapat kemarin. Dan tak ada yang benar-benar bersih setelah bersalaman. Dia duduk di ruang markas baru, ruang bawah tanah toko elektronik milik kenalan lama Yuda. Tempat itu sempit, tapi aman. Tak ada kamera, tak ada sinyal bocor, dan yang lebih penting: tak ada rapat. Rina duduk di seberangnya, memutar ulang rekaman suara Direktur Audit kemarin. “...Sama seperti sekarang,” ulangnya pelan. “Kalimat terakhirnya sebelum keluar. Om yakin dia bukan cuma provokator?” Anton menggeleng. “Dia terlalu tenang buat sekadar provokator. Dia bukan cuma tahu sistem… dia bagian dari sistem paling dalam.” Yuda membuka peta jaringan lembaga. “Gua telusuri nama dia—Bayu Arwin. Dulunya komisaris di tiga proyek kota, tapi datanya bersih. Terlalu bersih. Semua fotonya identik. Semua wawancaranya kosong.” Luki bersandar di dinding. “Lu tahu siapa yang datanya t

  • Mafia Insyaf    Bab 28: Ular di Ruang Rapat

    Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata

  • Mafia Insyaf    Bab 27: Dari Jaket Kulit ke Jas Armani

    Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l

  • Mafia Insyaf    Bab 26: Lapangan Bawah, Janji yang Akan Dipenuhi

    Lapangan Bawah bukan tempat istimewa. Dulu bekas stadion kecil yang dibongkar setengah jadi untuk proyek reklamasi yang tak pernah selesai. Kini hanya tanah lempung lebar, dikelilingi tiang-tiang beton yang runcing, ditumbuhi rumput liar dan sepi dari kehidupan. Dan malam ini, tanah mati itu akan jadi saksi dua nama besar yang akhirnya muncul dari bayangan. Anton berdiri di pinggir lapangan. Pakaian serba hitam, jaket tempur lamanya kembali dipakai, pistol diselipkan, tapi tak terlihat. Ia datang sendirian, tanpa Luki, Yuda, atau Rina. Sesuai aturan yang ia buat sendiri. Satu lawan satu. Tanpa bala bantuan. Tanpa trik. Hanya satu amplop data di tangan kirinya. Dan selembar gambar crayon dari Gendis di kantong dalam jaketnya. Langit malam mendung. Udara diam. Bahkan jangkrik pun seolah takut berbunyi. Tepat pukul 00.00, mobil hitam tua meluncur pelan ke pinggir lapangan. Satu orang keluar. Jas abu gelap. Sarung tangan hitam. Langkahnya tenang, seolah ini pertemuan bisnis bia

  • Mafia Insyaf    Bab 25: Gadis Kecil dan Sebuah Pertanyaan Besar

    Pagi hari, sebelum matahari benar-benar naik, Anton keluar sendirian dari gudang tua. Dia butuh udara. Butuh jeda dari strategi, senjata, dan kata-kata penuh beban.Langkahnya membawanya ke sebuah warung kecil yang tampaknya belum buka. Tapi di depannya, duduk seorang gadis kecil. Rambutnya dikepang dua, pipinya bulat, dan tangannya memegang roti sobek dengan cocolan cokelat di ujungnya.Anton melambat. Gadis itu menatapnya tanpa takut, justru dengan ekspresi penasaran dan… geli?“Om serem banget, kayak habis keluar dari film penjahat,” katanya polos.Anton mengangkat alis. “Om penjahat?”Gadis itu mengangguk sambil mengunyah. “Iya. Tapi kayaknya penjahat yang gak jahat-jahat amat. Soalnya masih bawa kopi.”Anton melihat ke tangan kanannya—dia memang tak sadar masih bawa termos kecil yang dibawanya dari markas.“Siapa nama kamu?” tanya Anton, nada suaranya melunak.---Anton berdiri sejenak di depan warung yang masih setengah tertutup itu, memandangi pintu kayu yang baru saja ditingga

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas. Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam. Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?” Anton mengangguk. “Pagi.” “Pagi yang Om rancang buat perang?” tanyanya datar. Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang Om rancang untuk penutup.” Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?” “Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.” Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?” Anton menatapnya sejenak. “Enggak.” --- Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik. “Untuk ‘R’,

  • Mafia Insyaf    Bab 24: Panggilan Terbuka untuk Sang Raja Bayangan

    Pagi menyelinap perlahan dari balik kabut perbukitan. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi Anton sudah berdiri di atap gudang tua, mengenakan jaket lamanya—yang tak pernah ia pakai sejak tragedi pertama dalam hidupnya. Jaket itu berbau tanah, darah, dan dendam yang belum lunas.Di tangan kirinya, selembar amplop cokelat tua. Di tangannya yang lain, secangkir kopi hitam.Rina muncul di belakangnya, mengenakan hoodie lusuh dan mata yang kurang tidur. “Kopi?”Anton mengangguk. “Pagi.”“Pagi yang kamu rancang untuk perang?” tanyanya datar.Anton tersenyum tipis. “Enggak. Pagi yang gua rancang untuk penutup.”Rina menatap amplop di tangan Anton. “Apa itu?”“Bukti. Rencana mereka. Semua data yang kita curi.”Rina menyipitkan mata. “Mau dikirim ke media?”Anton menatapnya sejenak. “Enggak.”---Satu jam kemudian, Anton berdiri di depan kamera. Rina menyalakan perekam, sementara Yuda memastikan sinyal siarannya memotong saluran utama TV lokal selama 90 detik.“Untuk ‘R’, dan semua yang mera

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status