Anton berdiri di depan ruko yang pintunya setengah terbuka. Angin malam meniup pelan, membuat suara gemerisik di antara daun-daun kering yang berserakan di trotoar. Jantungnya masih berdebar kencang setelah mendengar telepon itu. Rina—satu-satunya keluarga yang tersisa—diculik oleh orang-orang yang jelas tahu masa lalunya.
Luki berdiri di sebelah Anton, menyulut rokok dengan tangan yang tenang. "Jadi, apa rencananya?" tanyanya sambil mengembuskan asap ke udara. Anton menghela napas berat. "Kita mulai dari siapa yang paling mungkin nyulik Rina." Luki menyeringai kecil. "Pasti geng Rudi, kan? Dari dulu mereka nggak pernah bisa lepas dari bayangan lu." Anton menggeleng. "Kalau Rudi, mereka nggak bakal berani main kasar kayak gini. Mereka tahu kalau gua ngamuk, semuanya bakal habis. Ini pasti orang lain." Luki menatap Anton, memperhatikan kilatan marah di matanya. "Lu yakin masih bisa beraksi? Udah lama, Ton. Jangan sampai lu malah ngerusak warung kopi yang udah lu bangun." Anton menatap Luki tajam. "Kalau nyawa Rina yang jadi taruhannya, gua nggak bakal tinggal diam." Luki membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya. "Kalau gitu, kita mulai dari orang-orang lama. Kita cari tahu siapa yang punya dendam cukup dalam sampai berani nyentuh keluarga lu." Anton dan Luki masuk ke mobil tua Luki, sebuah sedan hitam yang penuh goresan di bagian pintu. Mesin mobil meraung pelan saat Luki menekan pedal gas, membawa mereka menuju pusat kota. Tujuan pertama mereka adalah sebuah bar kumuh di sudut jalan. Tempat itu adalah sarang para informan, tempat di mana semua gosip dan informasi tentang dunia bawah tanah berputar. Begitu masuk, suasana bar langsung berubah. Beberapa orang yang sedang duduk di meja langsung terdiam dan melirik Anton. Beberapa dari mereka bahkan berdiri dan perlahan bergerak ke arah pintu keluar. "Masih bikin orang takut, ya?" bisik Luki sambil menyeringai. Anton tidak menjawab. Matanya tertuju pada seorang pria tua yang duduk di sudut ruangan, seorang informan bernama Darman. Darman adalah mantan bandar narkoba yang sekarang hidup dari menjual informasi kepada pihak-pihak yang bersedia membayar mahal. Anton berjalan ke meja Darman dan duduk di hadapannya tanpa diundang. Darman menatap Anton dengan ekspresi datar, lalu menyeringai kecil. "Si Tangan Besi. Udah lama nggak lihat muka lu di sini." Anton menatap Darman tanpa ekspresi. "Siapa yang ambil Rina?" Darman menyeringai lebih lebar. "Langsung ke inti masalah, ya? Gua suka gaya lu, Ton. Tapi, informasi nggak gratis." Anton mengambil pisau lipat dari saku jaketnya dan menancapkannya di meja, hanya beberapa inci dari tangan Darman. "Gua nggak nanya soal harga." Darman menelan ludah, matanya melirik ke pisau yang bergetar di meja. "Oke, oke… Denger-denger, ada pemain baru di kota ini. Namanya Reza. Dulu dia anak buah Rudi, tapi sekarang dia punya pasukan sendiri. Kayaknya dia pengin nunjukin kalau dia bisa ngambil alih kota ini." Anton menyipitkan mata. "Reza?" Darman mengangguk. "Dan kayaknya dia nggak main-main. Kalau dia udah nyentuh keluarga lu, artinya dia mau ngajak perang." Anton menarik pisau dari meja dan menyelipkannya kembali ke sakunya. "Di mana dia sekarang?" Darman tertawa kecil. "Lu pikir gua bakal kasih tahu semudah itu?" Anton mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Darman tepat di matanya. "Lu tahu gua nggak suka nanya dua kali, kan?" Darman terdiam sejenak, lalu menghela napas. "Gudang tua di kawasan industri. Dia biasa nongkrong di sana sama anak buahnya." Anton berdiri tanpa berkata-kata dan berbalik menuju pintu keluar. Luki mengikuti dari belakang. Saat mereka sudah di dalam mobil, Luki menyalakan mesin. "Gua nggak tahu, Ton. Lu yakin ini keputusan yang tepat?" Anton menatap ke depan, wajahnya dingin dan tegas. "Kalau gua nggak selamatin Rina sekarang, mereka bakal pikir gua udah lemah." Mobil melaju cepat ke kawasan industri. Saat mereka tiba, kawasan itu sepi dan gelap. Lampu jalan yang redup hanya menerangi sebagian kecil dari jalanan yang basah karena hujan sore tadi. Anton dan Luki keluar dari mobil dan bergerak pelan menuju gudang tua yang disebut Darman. Anton mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Di dalam, ada sekitar lima orang bersenjata berjaga di sekitar ruangan. Di tengah ruangan, Anton melihat Rina duduk di kursi dengan tangan terikat. Wajahnya tampak pucat, tapi matanya masih menyala penuh keberanian. "Lu siap?" tanya Luki pelan. Anton mengangguk. "Selalu." Luki menarik pistol dari balik jaketnya. Anton melakukan hal yang sama. "Gua masuk dari kanan, lu ambil dari kiri," bisik Anton. Luki tersenyum kecil. "Udah kayak dulu lagi, ya?" Anton tidak menjawab. Dia mendorong pintu dan langsung bergerak cepat ke dalam ruangan. Dua penjaga terkejut, tapi Anton sudah bergerak lebih cepat. Satu pukulan keras menghantam rahang penjaga pertama, membuatnya ambruk seketika. Penjaga kedua sempat mengarahkan pistol, tapi Anton merebut senjatanya dan menghantam kepalanya dengan gagang pistol. Luki sudah lebih dulu menembak dua orang lainnya di kaki, membuat mereka jatuh dan berteriak kesakitan. Dalam hitungan detik, hanya tersisa satu orang—Reza. Reza berdiri di ujung ruangan, tangan di saku, wajahnya tersenyum sinis. "Anton, akhirnya kita ketemu juga." Anton menatap Reza dengan dingin. "Lepasin Rina, sekarang." Reza tertawa pelan. "Kalau nggak?" Anton menarik pelatuk pistol dan menembak lutut Reza tanpa peringatan. Reza jatuh berteriak, memegangi lututnya yang berdarah. "Dasar bajingan!" teriak Reza. Anton berjalan mendekat dan menekan moncong pistol ke kepala Reza. "Terakhir kali gua tanya. Kenapa lu nyulik Rina?" Reza terengah-engah. "Gua… Gua cuma pengin lu balik ke permainan ini, Ton. Kalau lu balik, kota ini bakal hidup lagi. Dunia kita nggak bisa jalan tanpa lu." Anton menghela napas, lalu menurunkan pistolnya. "Lu salah besar." Anton berbalik dan berjalan ke arah Rina. Dia melepaskan ikatan di tangan keponakannya. "Rina nggak papa?" Rina mengangguk pelan, meski matanya masih berkaca-kaca. "Om Anton…" Anton tersenyum kecil. "Ayo pulang." Saat mereka berjalan keluar, Luki menatap Anton dengan tatapan penuh arti. "Jadi, sekarang gimana?" Anton menatap Luki sebentar, lalu berkata pelan, "Kalau mereka pikir gua bakal balik, mereka salah. Tapi kalau mereka nyentuh keluarga gua lagi… mereka bakal tahu siapa Anton sebenarnya." Luki tersenyum tipis. "Kayaknya ini baru permulaan." Anton menatap ke langit malam yang kelam. "Kalau itu artinya gua harus berjuang lagi, gua nggak akan ragu." Anton dan Luki berjalan keluar dari gudang dengan langkah mantap. Di belakang mereka, suara rintihan Reza dan anak buahnya masih terdengar samar, bercampur dengan suara angin malam yang menggigit. Rina menggenggam tangan Anton erat, seolah takut jika Anton akan melepaskannya begitu saja. Ketika mereka sampai di mobil, Anton membuka pintu belakang dan mempersilakan Rina masuk. Dia menatap keponakannya dengan lembut, sesuatu yang jarang terlihat dari wajah seorang mantan ketua mafia. Rina menatap Anton dengan sorot mata bingung. "Om… kalau om udah nggak mau balik ke dunia itu, kenapa om tetap berani kayak tadi?" Anton terdiam sejenak, menyalakan mesin mobil. "Karena Om nggak bisa biarin orang nyakitin orang yang Om sayang." Rina menatap Anton, matanya berkaca-kaca. "Tapi kalau ini bikin om terjebak lagi di dunia lama…" Anton menatap Rina dari kaca spion. "Om udah lepas dari dunia itu, Rin. Tapi kalau mereka pikir Om bakal diam waktu keluarga Om diganggu, mereka salah besar." Luki yang duduk di kursi depan terkekeh pelan. "Kayaknya orang-orang mulai lupa siapa Anton sebenarnya." Anton menyeringai samar. "Kalau mereka udah lupa, mungkin gua harus ngingetin mereka." Mobil melaju pelan meninggalkan kawasan industri. Di sepanjang jalan, Anton menatap kosong ke arah jalanan gelap yang diterangi lampu jalan yang redup. Pikirannya masih dipenuhi gambaran wajah Reza dan kata-katanya. Kota ini nggak bisa jalan tanpa lu… Anton tahu, kata-kata itu ada benarnya. Selama bertahun-tahun, keseimbangan dunia hitam di kota ini bertahan karena kehadirannya. Dia yang menentukan siapa yang naik dan siapa yang jatuh. Dengan Anton keluar dari permainan, kekosongan kekuasaan itu menciptakan celah yang sekarang mulai diisi oleh orang-orang ambisius seperti Reza. "Tapi gua nggak bisa balik," gumam Anton pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. Luki melirik Anton dari sudut mata. "Nggak perlu balik. Tapi lu tahu kalau mereka bakal terus gangguin lu kalau lu nggak kasih peringatan, kan?" Anton terdiam. Dia tahu Luki benar. Selama orang-orang di dunia bawah menganggap Anton lemah, mereka akan terus mencoba menekan dan memancingnya kembali ke permainan lama. Reza hanya awal dari masalah yang lebih besar. Jika Anton tidak bertindak sekarang, maka akan ada Reza-Reza lain yang bermunculan. Anton menghentikan mobil di depan warung kopinya. Dia berbalik menatap Rina. "Kamu istirahat dulu di dalam. Om urus sisanya." Rina menatap Anton ragu-ragu. "Om nggak bakal balik ke dunia itu, kan?" Anton tersenyum kecil, meski sorot matanya dingin. "Om nggak bakal balik. Tapi kadang, kita harus bikin orang-orang tahu kalau mereka udah melangkah terlalu jauh." Setelah Rina masuk ke dalam, Anton berdiri di depan warung kopi, memandang ke arah jalan yang gelap. Luki menyusul, berdiri di sebelah Anton. "Jadi, apa langkah selanjutnya?" tanya Luki. Anton menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Asapnya melayang pelan ke udara malam. "Gua kasih peringatan. Biar mereka tahu Anton masih berdiri di atas semua ini." Luki menyeringai kecil. "Kayaknya bakal jadi malam yang panjang." Anton mengembuskan asap rokok, matanya menyipit tajam. "Kalau mereka mau main keras, gua bakal tunjukin keras itu kayak gimana." Malam itu, Anton tahu kalau kedamaiannya sudah berakhir. Dunia lama tidak akan pernah membiarkannya pergi begitu saja. Tapi kali ini, Anton tidak akan bertarung untuk kekuasaan atau harga diri—dia akan bertarung demi keluarga. Dan jika ada yang cukup bodoh untuk mencoba menghancurkan itu, Anton siap menghajar mereka tanpa ampun.Pagi belum benar-benar terang saat mobil Anton berhenti di depan rumah tua dekat sungai. Bangunannya reot, berlumut, dengan cat terkelupas dan pagar kayu yang hampir roboh. Tapi sesuatu di tempat itu terasa… terlalu tenang. Luki turun duluan, memeriksa sekitar. “Nggak ada kamera, nggak ada gerakan. Tapi tempat kayak gini biasanya nyimpen sesuatu. Atau seseorang.” Yudha turun sambil membawa alat pendeteksi logam dan pelacak sinyal kecil. “Kalau ada jebakan, biasanya nggak jauh dari ruang utama. Mereka suka sembunyiin sesuatu yang kelihatan gampang tapi dijaga mati-matian.” Anton berdiri di depan pintu, tangannya sudah menyentuh gagang. Tapi belum membuka. Ia diam, seperti mendengarkan rumah itu sendiri bernapas. Rina mendekat pelan, berdiri di sampingnya. “Om, kita yakin ini bukan jebakan?” “Nggak yakin,” jawab Anton. “Tapi kita harus tetep masuk dan jangan lupa tetep waspada.” --- Begitu pintu terbuka, bau kayu lembap dan cat tua langsung menyeruak. Langit-langit rendah,
Anton duduk di depan radio tua yang masih mereka simpan sejak markas pertama. Suara statis mendominasi frekuensi. Tak ada laporan. Tak ada kabar. Satu per satu, saluran komunikasi dengan para informan menghilang. Rina masuk ke ruangan sambil membawa tablet. Wajahnya pucat, tapi tetap berusaha tenang. "Om, tiga akun yang biasa kita pakai buat koordinasi... semuanya dikunci. Dan yang lebih aneh, satu jam sebelum itu, salah satu saksi kita ngirim pesan terakhir: 'Mereka udah masuk'. Setelah itu hilang." Anton menatap layar. "Berarti mereka pakai sistem Silencio buat bungkam semua suara sebelum kita bisa bicara." Luki masuk tergesa-gesa, membawa map cetak dari kantor pengacara independen. "Ini lebih gila dari yang kita kira. Dua jurnalis investigasi yang bantu kita... hilang. Satu katanya kabur ke luar negeri, satu lagi 'mengundurkan diri' mendadak. Kayak semua orang dapet memo buat mundur." Yudha mengangguk. "Ada tekanan dari atas. Bukan cuma Kota Gelap. Tapi sisa dari jaringan
Di tengah malam yang dingin, gudang markas kembali terisi oleh bunyi lembaran kertas yang dibuka, desisan mesin scanner, dan aroma kopi pahit yang sudah tidak sempat dinikmati. Koper yang mereka bawa dari perbukitan kini terbuka di tengah meja. Anton menatap isinya: berkas-berkas yang berumur lebih dari satu dekade, penuh cap merah, tanda tangan samar, dan bahasa kode lama yang hanya dimengerti segelintir orang. Rina membuka satu lembar dokumen yang agak rapuh. “Ini... data penyusunan struktur internal kelompok. Ada yang namanya sama dengan anggota dewan sekarang.” Yuda menambahkan, “Dan ini, catatan transfer senjata dari jalur militer bayangan. Artinya, sistem ini gak cuma masuk ke sipil. Mereka udah nyusup ke pertahanan sejak dulu.” Luki, yang dari tadi diam, membuka foto lama dari tumpukan. Wajah dalam foto itu membuatnya menahan napas. Ia menyodorkannya ke Anton. “Lu liat siapa di situ?” Anton memelototi foto itu. Di sana, berdiri seorang pria berjas putih, tersenyum le
Markas sementara kembali jadi tempat Anton dan timnya menata ulang rencana. Peta baru dibentangkan, nama-nama baru mulai muncul di dinding, dan wajah yang dulu samar kini semakin terang. Tapi yang paling membuat Anton gelisah bukan siapa yang mereka lihat—melainkan siapa yang belum muncul. “Lu yakin dia bagian dari lingkaran dalam?” tanya Yuda sambil menunjuk foto Direktur Audit yang mereka temui di rapat. Anton mengangguk. “Dia bukan bawahan. Dia pengatur alur. Gak semua pelaku harus kelihatan kotor.” Rina mengetik cepat di laptop, menelusuri data keuangan sang direktur. “Gak ada rekening mencurigakan. Tapi... dia punya satu keanehan.” “Apa?” tanya Luki yang sedang mengutak-atik senjata kecil di tangannya. Rina memutar layar. “Setiap bulan, ada transfer tetap ke sebuah yayasan pendidikan di luar kota. Tapi yayasan itu udah gak aktif sejak lima tahun lalu.” Anton menatap layar. “Alamat?” “Bandung. Tapi lebih tepatnya... di pinggiran. Daerah terpencil.” Yuda mengangkat alis. “Lu
Gedung Reformasi Kota berdiri menjulang di tengah kawasan elit. Dinding kacanya berkilau, interiornya dingin, penuh catatan-catatan rapi dan formalitas basa-basi yang menyamarkan satu hal: kekuasaan yang sedang bermain diam-diam. Hari itu, Anton hadir bukan sebagai pemburu, tapi sebagai bagian dari sistem yang ia incar. Diundang dalam rapat evaluasi komisi keamanan kota, bersama jajaran eksekutif, mantan pejabat militer, dan perwakilan dari sektor bisnis. Ia mengenakan jas yang sama seperti di forum—Armani, potongan sempurna, dasi biru gelap. Tapi kali ini, tak ada senyum di wajahnya. Di dalam ruangan kaca di lantai 23, para peserta mulai duduk. Nama-nama besar dari institusi yang dulu tak bisa disentuh: kepala dinas, CEO kontraktor pemerintah, tokoh publik yang katanya netral. Anton masuk terakhir, membawa map kecil dan satu pulpen hitam. Semua menoleh. Beberapa tersenyum sopan. Beberapa hanya mengangguk singkat. Tapi sorot mata mereka cukup jelas: tak nyaman, tak percaya, ata
Pagi itu, seluruh kota bicara soal satu hal: pertemuan dua bayangan di Lapangan Bawah. Tak ada rekaman, tak ada siaran resmi, tapi berita menyebar seperti kebakaran di musim kemarau. Beberapa bilang mereka melihat dua sosok berdiri diam berhadapan. Ada yang bersumpah mendengar tembakan—walau tidak pernah terbukti. Yang pasti, organisasi Kota Gelap mendadak sunyi. Aset mereka lumpuh. Petinggi-petingginya menghilang seperti ditelan bumi. Dan Anton… berubah. --- Tiga hari setelah pertemuan itu, sebuah gedung megah di pusat kota menggelar forum reformasi kriminalitas urban. Di lobi, para pejabat dan pengusaha berlalu-lalang dengan setelan mahal, suara sepatu kulit bergema di lantai marmer, dan tawa basa-basi memenuhi ruangan. Tapi perhatian mereka langsung terpecah ketika seseorang memasuki aula utama. Tinggi, berwibawa, berjalan dengan langkah mantap. Jas hitam potongan rapi. Dasi biru gelap. Sepatu pantofel mengkilap. Rambut disisir licin ke belakang. Tidak ada pistol. Tidak ada l