Share

007 - Keputusan

“Axell, cari tau soal anaknya Pak Adiguna. Nanti malem semua data harus udah di meja gue,” ujar Aksa pada Axell melaui gawainya.

“Siap, Tuan.”

Dan setelah panggilan itu berakhir, Aksa mulai kembali berkutat pada berkas-berkas ditangannya hingga suara ketukan pintu diruangannya mengalihkan atensinya.

“Shaka, Bos.”

“Masuk.”

Usai membukan pintu ruangan itu, Shaka menunjukkan cengiran khas miliknya. Shaka memang terlalu slengean hingga terkadang Aksa merasa aneh dengan sikap tangan kanannya itu.

“Kepala Kejaksaan ngajak ketemu, katanya bakalan ada misi lagi.”

“Hmm … kapan?”

“Male m ini.”

“Oke, atur aja. Tapi, inget jangan terlalu nurut sama mereka,” tegas Aksa.

“Oke, Bos. Yaudah, keluar dulu,” jawab Shaka kemudian pergi setelah mendapatkan anggukan dari Aksa.

Setelah kepergian Shaka, Aksa mulai mencari berita terkini pemerintahan di internet. Setidaknya, ia harus mengantongi beberapa hal sebelum mempertimbangkan misinya kali ini.

….

“Bos, berangkat sekarang apa nantian aja?” tanya Shaka sembari menjalankan mobilnya.

Sekarang sudah pukul tujuh malam, sudah lewat tiga jam sejak waktu efektif kantor. Tapi, Aksa baru saja selesai dengan urusan kantornya.

“Cari makan dulu.”

Dan setelah permintaan itu, Shaka menjalankan mobil mereka untuk mencari tempat makan yang biasanya mereka datangi seusai jam kantor.

“Kayak biasanya, Bos? Biar Shaka pesenin sekalian,” tawar Shaka, dan Aksa hanya mengangguk lalu mendudukkan diirnya di kursi kosong yang biasanya ia tempati.

Tidak lama setelah ia duduk, matanya memicing, menatap wanita yang sedang berdiri di depan kasir.

Postur tubuh wanita itu tidak terlihat asing bagi Aksa, dan benar saja, ketika wanita itu menoleh, Aksa berhasil mengenali wajahnya.

Nasha.

Aksa mengamati gerak-gerik wanita itu, dia terlihat cukup tergesa-gesa sembari mengangkat panggilan di tangan kanannya.

Dan usai memberi beberapa lembar uang ratusan ribu pada kasir, wanita itu pergi meninggalkan restoran.

“Bos, ngelihatin apa?” tanya Shaka usai kembali dari tempatnya memesan makanan mereka.

“Nasha.”

Shaka mengernyitkan dahinya,  lalu mencoba mencari-cari keberadaan wanita itu.

Tapi … nihil. Shaka tidak melihat Nasha.

“Kelihatan buru-buru banget tadi,” celetuk Aksa.

“Oh iya, Ka. Lo kemaren waktu nyari data diri dia, ga ada soal pekerjaannya ya?” tanya Aksa.

Shaka mengangguk untuk menanggapinya, “Iya, nggak ada. Gue udah telusurin tapi ga nemu dia kerja apa. Antara dia emang pengangguran atau pekerjaan dia illegal, kayak kerja di Bar, mungkin.”

Aksa mengangguk-anggukan kepalanya dan mulai beralih pada makanan didepannya. Tidak terlalu penting juga untuk tau pekerjaan wanita itu, pikirnya.

Usai menghabiskan makanan mereka, Aksa dan Shaka pergi menuju markas tempatnya bertemu dengan orang-orang yang meminta bantuannya.

Markas itu terletak cukup jauh dari mansion miliknya. Markas yang berbeda dengan markas tempatnya bertemu dengan patner sebelumnya.

Jika kalian pikir markas seorang Aksa hanya ada satu di seluruh dunia, kalian salah.

Laki-laki itu punya lebih dari lima markas yang tersebar tidak hanya dalam satu negara.

“Mana orangnya?” tanya Aksa usai turun dari mobilnya.

“Kata Axell udah di dalem, Bos. Kayaknya bentar lagi kesini.”

Aksa berjalan  masuk dengan langkah tegas yang tiga ratus enam puluh derajat berbeda dengan kepribadiannya siang tadi.

Tatapannya tajam, menghilangkan lengkung senyum yang setiap kali muncul ketika Aksa tersenyum.

Dan tepat ketika Aksa masuk ke dalam ruangan itu, para mafioso Aksa yang semula duduk langsung berdiri, menyambut atasan mereka.

“Malam, Tuan,” ucap salah satu mafioso yang berdiri di samping pintu masuk ruangan itu.

Aksa mengangguk lalu melangkah ke arah laki-laki yang terduduk dengan penutup mata di bawah lampu temaram ruang itu.

“Buka penutup matanya.” Suara tegas milik Aksa berhasil mengintimidasi seluruh orang yang ada di dalam sana, termasuk kepala kejaksaan, seseorang yang sedang terduduk dengan matanya yang tertutup itu.

Pria itu mengedip-ngedipkan matanya, mencoba membiasakan penglihatannya dengan cahaya ruangan itu.

“Bisa langsung ke intinya, Tuan,” tembak Aksa tepat sasaran.

Meski sempat gelagapan, pria itu berhasil mengendalikan ekspresinya seperti semula.

“Kali ini, ada sekelompok penyelundup emas. Mereka mengambil emas dengan cara illegal tanpa izin dari pemerintah. Dan sekali lagi, melalui laut, mereka mengedarkan emas itu ke negara-negara tetangga tanpa sepengetahuan pemerintah,” jelasnya sembari menatap mata Aksa dengan tatapan yang sama tajamnya.

“Emas? Hmm …” Aksa bergumam sembari menopang dagunya, seolah-olah sedang berpikir dengan posisi itu.

“Tapi, bukankah pemerintah sendiri sering memperjual belikan emas negara ini?” sarkasnya sembari menunjukkan senyum miring miliknya.

Kepala kejaksaan sempat terkejut dengan apa yang baru saja katakan, tapi sekali lagi, pria itu berhasil mengendalikan dirinya.

“Apa maksud anda, Tuan Aksa?” tanya pria itu.

“Tidak pelu berlagak bodoh, Tuan. Saya tau, negara ini sering memperjualbelikan tambang emas pada orang-orang luar dengan harga melangit dan mengabaikan masyarakat yang sebenarnya bisa mengolah emas itu sendiri.”

Pria itu terdiam usai mendengar kalimat yang baru saja Aksa ucap.

“Cih … kalian menyuruh saya untuk memburu para penyelundup emas, padahal penyelundup ulung itu justru dari pihak kalian?”

Aksa berdiri, mengambil beberapa langkah ke depan hingga sampai di hadapan pria itu.

Dia menatapnya dengan tatapan tajam, mencoba mencari celah takut yang mungkin ditunjukkan oleh kepala kejaksaan.

Tapi, nihil. Aksa tidak menemukannya.

“Apa maksud anda, Tuan? Kita sedang membicarakan para penyelundup dan Tuan Aksa justru membelokkan arah pembicaraan ini ke pemerintah?” ucapnya sembari menatap tepat pada mata Aksa.

Aksa mengernyit, dia tidak menemukan celah dari mata pria itu. Entah karena kepala kejaksaan yang memang sudah handal menipu atau memang dia tidak terlibat dengan apapun yang baru saja Aksa ucap.

“Apa keuntungannya?” tanya Aksa pada akhirnya. Posisinya masih sama, berada di hadapan kepala kejaksaan dengan tatapan yang juga masih sama tajamnya.

“Tentu saja, privilege untuk Anda dan para mafioso Anda.”

Sudut bibir Aksa terangkat, tersenyum miring dan menatap menghina pada kepala kejaksaan, “Kami tidak butuh privilege, Tuan. Kami bahkan lebih berkuasa dari kalian, bukan?”

Kepala kejaksaan terdiam. Dia memang sudah terbiasa dengan sikap sarkastik milik Aksa. Namun, tetap saja, dia akan terkejut pada saat-saat tertentu.

“Akan saya pertimbangkan,” putus Aksa tanpa menghiraukan kepala kejaksaan dan mulai melangkah ke arah pintu keluar ruangan itu.

“Anda harus melakukannya, Tuan Aksa. Tidak perlu pertimbangan karena tindakan itu tindakan yang me-”

Dor!

Belum selesai ucapannya, suara tembakan dari timah panas itu berhasil membuat kepala kejaksaan menutup matanya dan meringis ngilu.

Hampir saja.

Hanya kurang satu centimeter saja, tembakan itu bisa mengenai lengan kepala kejaksaan.

“Dengar, Tuan. Yang memutuskan disini adalah saya. Jangan memperbudak saya dan mafioso saya seolah-olah kami adalah budak pemerintah.”

“Tidak. Kami bahkan bisa menghancurkan pemerintah hanya dengan satu kedipan mata. Jadi, jika saya sudah mengatakan A maka A adalah keputusannya.”

Kalimat-kalimat yang baru saja Aksa beri, berhasil mengoyak keberanian kepala kejaksaan.

Pria yang semula bermuka tebal itu, kini matanya sedikit bergetar. Raut wajahnya masih sama dinginnya dengan Aksa. Tapi, tatapan pria itu tidak bisa berbohong.

Dia … takut.

Napena

Jangan lupa tinggalin jejak ya... hope u enjoy itttt. siyuuu

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status