Share

004 - S(h)ee

“Tuan Aksara, semua tawanan sudah berhasil di eksekusi,” ujar Axell Candradinata, salah satu orang kepercayaan Aksa selain Shaka.

Aksa yang mendengar itu berdecak pelan. “Gue udah bilang, gausah kaku-kaku banget. Lo sama Shaka bisa manggil gue pakek nama, bukannya gue udah ngomong ya?” ujarnya menatap tepat pada obsidian milih Axell.

Namun, Axell tetaplah Axell. Dia tetap pada pendiriannya, bahkan tatapan tajam yang baru saja Aksa beri padanya tidak membuatnya gentar sedikit saja.

“Saya juga sudah bilang pada Tuan, jika saya lebih nyaman seperti ini,” ujarnya datar.

Terdengar dengusan pelan dari Aksa sebelum ia kembali berucap, “Mana dokumentasinya? Gue mau lihat.”

Axell berjalan pelan ke arah meja kerja Aksa. Dia menyerahkan beberapa lembar foto yang ia taruh dalam amplop putih di saku celana miliknya. Dan dengan satu tarikan, Aksa membuka amplop putih itu.

Bibirnya tersungging penuh kemenangan. Foto-foto yang berisi gambar mengenaskan dari tawanannya berhasil memberi euphoria tersendiri bagi Aksa. Darah yang berceceran juga beberapa tangan yang putus dari badannya membuat Aksa diam-diam memuji kemampuan mafiosonya.

“Good job. Padahal gue pengen ikut ngeksekusi, tapi lengan gue masih ngilu,” ujar Aksa, menatap Axell sembari menaikkan sebelah alisnya.

“Mayat mereka masih ada kalau bos mau eksekusi sekarang,” celetuk Axell tiba-tiba.

Aksa yang mendengar itu terkekeh ringan, “Ngga ada keseruannya dong, Xell. Terus, gimana dalangnya?”

“Kita udah dapetin beberapa data dan akan segera diselidiki sama mafioso yang lain,” jawab Axell.

Aksa hanya mengangguk kemudian kembali berkata, “By the way, bilangin seluruh anggota mafioso kita. Kita adain party malem ini di Bar XXX.”

“Ya.” Axell memutar badannya hendak berjalan keluar tepat setelah jawaban itu terlontar dari mulutnya.

Dan tepat sebelum Axell melenggang keluar, suara Aksa kembali terdengar, “Lo kalau ada apa-apa bilang. Gue anggep lo sebagai orang kepercayaan gue. Jadi, ngga usah sungkan.” Lalu pintu ruangan itu tertutup dengan Axell yang sudah hilang di balik pintu itu.

Aksa tidak mengambil pusing atas sikap dingin yang Axell tunjukkan. Dia terlampau tahu, jika Axell hanya berusaha mengubur seluruh luka masa kecilnya dengan sikap dinginnya. Axell adalah salah satu orang kepercayaan yang sudah bersama dirinya sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di dunia mafia.

Axell yang dulu lugu di mata Aksa, kini menjelma menjadi sosok pria berdarah dingin yang mampu membunuh siapa saja hanya dalam satu kedipan mata. Membuat hati Aksa diam-diam berdenyut sakit, karena menyadari dialah yang menyeret pria itu masuk ke dalam dunia gelapnya.

Aksa semakin tenggelam dalam pikirannya. Hingga tidak sadar jika kepalanya mulai jatuh bertumpu pada meja dan kesadarannya pun menghilang, terbawa dalam mimpi panjang.

Tok Tok Tok

Tidak sampai satu jam tertidur, pintu di kamar Aksa sudah di ketuk. Aksa mengerjap-ngerjapkan matanya ketika mendengar ketukan pintu yang semakin lama malah semakin sering. Dia mendengus pelan karena tahu Shakalah yang ada di balik pintu.

“Masuk,” titah Aksa dengan suara serak khas bangun tidur.

Pintu terbuka dan menampilkan cengiran khas milik Shaka. “Hehe. Abis tidur, Bos?” tanya Shaka basa-basi. Aksa sama sekali tidak menanggapinya. Dia memilih memijit kepalanya yang berdenyut nyeri.

“Gini … tadi si Axell bilang kalau mau ngadain party. Nah, anak-anak udah pada jalan ke klub. Bos nggak ikut?” Shaka bertanya sembari berjalan mendekat ke arah Aksa yang memijat pelipisnya. “Kenapa? Pusing?” sambung Shaka.

“Iya, dikit. Gue ikut. Setirin ya.”

Shaka mengangguk, namun dia tidak beranjak. Aksa yang menyadari itu menatapnya dengan pandangan bertanya. “Soal eksekusi tawanan, perlu kita kirim dokumentasinya ke kepala kepolisian apa gausah?”

“Gausah. Mereka emang nyuruh kita. Tapi, kalian semua harus inget. Kita nggak berada dalam kendali mereka. Jadi, ga perlu laporan segala,” ujar Aksa kemudian berdiri dari duduknya.

“Lo siapin mobil deh, Ka. Gue mau ke atas dulu buat siap-siap.”

Shaka mengangkat tangan kanannya, memberi gestur hormat sembari menunjukkan cengiran di bibirnya. “Siap, bos!” ujarnya dengan nada dibuat-buat. Ia kemudian berlari keluar meninggalkan Aksa yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya ketika melihat tingkah kekanakan Shaka.

Tidak sampai tiga puluh menit, Aksa sudah siap dengan balutan kaos v-neck rendah yang menampilkan sebagian dada bidangnya. Kakinya terbalut celana lepis hitam yang membungkus otot-otot dikakinya.

Aksa menatap tampilannya di cermin, poni rambut yang ia tata ke atas membuatnya terlihat berkali-kali lebih mempesona. Tepat sebelum berjalan keluar, dia mengambil jaket kulit berwarna hitam yang tergantung di lemari dan memakainya. Hal itu berhasil menambah kesan mahal dan maskulin di tubuh tegapnya.

“Widih … ganteng banget, Bos,” celetuk Shaka ketika melihat Aksa turun dari lantai atas. “Ck.” Itu adalah tanggapan yang Aksa berikan. Shaka terkekeh kemudian membuka pintu depan dari mansion milik Aksa.

“By the way, Bos nanti gamau nyari cewek gitu? One night stand kayaknya lumayan ga sih, Bos?” ujar Shaka setelah Aksa masuk dan mendudukkan dirinya di samping kursi kemudi.

“Jalan deh. Gausah banyak bacot,” sarkas Aksa.

Shaka terbahak setelah mendengaran ujaran sarkas yang baru saja Aksa lontarkan. Namun, dia bergegas menjalankan mobilnya ke arah klub malam yang mereka tuju.

Mereka menempuh perjalan hanya dalam waktu kurang dari setengah jam. Aksa turun dari mobil pagani miliknya yang terlihat mencolok diantara mobil-mobil lain di parkiran klub malam yang mereka datangi.

Baru dua langkah yang Aksa ambil, namun suara dentuman musik sudah menyapa indra pendengarannya. Sudut bibir Aksa tertarik ke atas, ketika melihat presensi mafiosonya bercampur dengan lautan manusia yang sedang asik berjoget ria di lantai dansa.

Dia berjalan lurus ke arah meja bartender diikuti oleh Shaka dibelakangnya. Dan tidak sampai lima menit, Aksa menghentikan langkahnya ketika matanya secara tidak sengaja menangkap keberadaan Axell yang sedang duduk dengan wanita berpakaian kurang bahan yang berada di pangkuan pria itu.

Alis Aksa terlihat mengernyit, dia tidak bisa menahan keterkejutannya. Dan Shaka yang memang berjalan tanpa melihat ke arah depan, seketika menubruk punggung lebar milik Aksa yang memang berhenti secara tiba-tiba.

“Eh … sorry, hehe. Nggak lihat kalau Bos berhenti,” ujarnya dengan cengiran khas tanpa rasa bersalah.

Aksa tidak menggubrisnya dan memilih melanjutkan langkahnya ke arah meja bartender tanpa mencoba mencari lebih tahu tentang aktivitas yang akan Axell lakukan dengan wanita itu.

“Vodka,” ujar Aksa kepada bartender yang berdiri didepannya. Meski hanya satu kata yang Aksa keluarkan, bartender itu langsung paham dan bergerak cepat untuk meracik minuman yang Aksa pesan.

“Kenapa tadi berhenti mendadak, Bos?” tanya Shaka setelah memesan segelas wine karena ia masih harus mengantarkan Aksa pulang dengan selamat.

Belum sempat Aksa menjawab pertanyaan yang Shaka lontarkan, seorang wanita tiba-tiba ambruk dipunggungnya. Raut wajah Aksa memang tidak berubah, tapi diam-diam ia mulai menarik keluar sebuah pistol yang sedari tadi berada di saku celananya.

Berbeda dengan Aksa, Shaka langsung berdiri mengeluarkan senjatanya dan hampir saja menembak wanita itu, jika saja Aksa tidak memberinya isyarat untuk berhenti setelah pria itu mendengar suara lirih dari wanita yang masih menubrukkan dirinya di punggung lebar milik Aksa.

“Shhhtt … dasar pria gila.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status