Share

002 - Tangan Kanan Aksa

Aksa tertembak usai salah satu dari mereka memukulnya. Dan dua orang itu kini kabur, berlari cepat, berusaha menghindari tembakan-tembakan dari mafioso Aksa yang kini mengejar mereka berdua.

Axell yang masih ada di sana berjalan cepat ke arah Aksa, namun dia kalah cepat dengan suara Aksa yang tiba-tiba memerintahnya.

“Bawa sisanya ke markas. Kita eksekusi besok dan kejar tawanan yang kabur.”

Dan dengan perintah itu, Axell dan anggota mafioso yang lain berpencar, meninggalkan Aksa yang masih berdesis pelan sembari menyeret keluar kakinya untuk keluar dari gedung itu.

“Ssttt …” Aksa terus berdesis karena rasa nyeri yang berdenyut di lengan kirinya. 

Dia menghentikan langkahnya di balik tembok tinggi, sebelah utara dari gedung tua itu. Tangannya bergerak cepat mengambil selembar kain yang terlilit di pinggangnya. Dia melilitkan kain hitam itu di sekitar lengan kiri miliknya untuk menghentikan pendarahan.

Srakk!

Pergerakan tangan Aksa langsung terhenti, ia membuka telinganya lebar-lebar dan langsung menyelipkan lilitan kain yang belum selesai ia lilitkan. Tangan kanannya bergerak pelan mengambil pistol revolver yang tergeletak di samping tubuhnya. Matanya bergerak awas, mengamati gelap gulita yang berada di sekelilingnya.

Aksa semakin merapatkan tubuhnya di balik tembok tinggi dari gedung tua tempatnya dan mafiosonya menjalankan misi malam ini. Derap langkah kaki yang Aksa dengar tadi, semakin mendekat di sebelah kanan gedung. Dan dengan secepat kilat, Aksa menodongkan senjatanya pada laki-laki dengan pakaian serba hitam yang muncul melewati batas tembok di antara mereka.

Tangannya sudah sangat siap untuk menarik pelatuk dari pistol kesayangannya.

“Dua empat dua empat,” bisik laki-laki dengan pakaian serba hitam itu sembari mengangkat kedua tangannya. Laki-laki itu membuka sebelah matanya untuk mengintip senjata revolver yang masih berada didahinya. 

Dia menghela napas ringan sebelum kembali berucap, “Bos … kode dua empat, ini Shaka.”

Aksa memicingkan matanya kemudian menyeret turun senjata miliknya untuk ia bawa kembali ke samping tubuhnya. “Gimana yang lain?” tanyanya sembari kembali membenarkan lilitan di lengan kirinya yang belum usai.

“Yang ada di ruang tengah udah berhasil di eksekusi semua, tapi dua orang yang kabur tadi masih belum ketangkep,” ujar Shaka sembari terus menatap pergerakan tangan Aksa yang berusaha melilitkan kain hitam di lengan kiri milik laki-laki itu.

“Kenapa bos? Kena tembak?” tanya Shaka 

Shaka terus menatap Aksa yang sedari tadi sibuk dengan lilitan di tangan kirinya itu. Alisnya mengernyit ketika menyadari luka tembak itu terlihat cukup dalam dan pendarahannya tidak akan berhenti jika hanya dililiti kain seperti itu.

“Bos, mau dipanggilin Dokter Devan aja?”

Aksa mengernyitkan dahinya dalam, ketika merasakan nyeri luar biasa pada lengan kirinya. Namun, kepalanya menggeleng tegas, “Nggak usah, mending lo bantu yang lain daripada diem doang di sini,” sarkas Aksa.

Shaka yang mendengar itu hanya terkikik geli kemudian berbalik meninggalkan Aksa yang masih saja berusaha menghentikan pendarahan di lengan kirinya.

Mata Shaka menatap awas. Dia memasang telinganya tajam-tajam mencoba mendengar suara yang timbul dari balik pohon yang terlihat dalam jangkauan matanya.

Kakinya melangkah pelan, mencoba mendekat ke arah pohon yang sedari tadi ia tatap.

Dor!

Dan benar, ketika Shaka mendekat, salah satu dari tawanan yang kabur tadi mencoba untuk kabur lagi. Namun, tangan Shaka jauh lebih cepat menarik pelatuk pistol dibandingkan dengan pergerakan bajingan itu.

Shaka berhasil menembak betis kiri bajingan itu hingga membuatnya tersungkur dan menimbulkan suara yang cukup keras.

Cukup keras untuk menarik perhatian para mafioso Aksa yang sedang berpencar di sekitar tempat itu.

"Bawa bajingan ini ke markas. Dan cari bajingan satunya, jangan di eksekusi dulu.” Suara tegas dan lantang milik Shaka langsung membuat para mafioso bergegas, menyeret laki-laki yang tertembak dan yang lainnya berpencar untuk mencari keberadaan satu bajingan lainnya.

Shaka membawa langkahnya untuk kembali ke tempat ia bertemu dengan Aksa tadinya. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. 

Dengan secepat kilat, Shaka berlari ke arah mobilnya. Dia menarik pedal gas dan mengendarai mobil itu dengan kecepatan 100 km/jam. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah tidak mungkin Aksa bisa sampai mansion dengan selamat jika menyetir dalam kondisinya yang seperti tadi.

Dan benar, sekitar 300 meter didepannya, Aksa bisa melihat mobil bugatti yang ia yakini adalah milih Aksa. Shaka menambah kecepatan mobilnya.

Dia menoleh ke kiri ketika sudah berada di samping mobil Aksa. Dan benar seperti apa yang ia duga, Aksa sudah tidak sadarkan diri dengan mobil yang terus berjalan cukup cepat.

Maka, tidak ada jalan lain. Shaka menarik sekali lagi pedal gasnya dan melaju lebih cepat dari Aksa.

Tepat di pertigaan, dia memutar balik mobilnya mengarah tepat di hadapan mobil Aksa.

Brakk!

Dan kecelakaan pun terjadi.

Untungnya, benturan itu tidak terlalu keras hingga Shaka masih tetap sadarkan diri. Dia sedang melepas seatbelt-nya dengan cepat. Membuka pintu mobil dan berlari ke arah mobil Aksa yang ringset di depan mobilnya.

“Bos!”

Gagal. Teriakannya sama sekali tidak membuahkan hasil. Dia mencoba membuka pintu mobil kemudi dan untung saja itu tidak terkunci.

Setelah mengecek denyut nadi Aksa yang masih berdetak, Shaka bergegas menggendong Aksa di balik punggungnya meski sedikit kesulitan.

Dia segera menyambar gawai disakunya dan mendial nomor seseorang di sana.

“Hello, Shaka. What’s up, bro?” suara laki-laki terdengar di seberang sana usai panggilan itu tersambung.

“Bos Aksa kena luka tembak. Dokter Devan bisa ke mansion sekarang?”

“OK.”

Singkat dan padat.

Semua berlalu begitu cepat, Shaka yang segera menaiki mobil dari mafioso yang ia suruh untuk menjemputnya dan mengantar keduanya ke mansion milik Aksa.

Dokter Devan bergegas menjahit luka tembak di lengan kiri Aksa yang memakan waktu hingga satu jam lamanya.

Dan dua jam usai operasi dadakan itu, Aksa tersadar.

Dia mengerjap-ngerjapkan matanya pelan dan mengangkat tangan kanannya untuk memijit pelipisnya yang terasa sakit.

“Eh … udah sadar Bos?” Itu adalah suara Shaka yang masuk ke dalam ruangan Aksa dengan nampan makanan ditangannya.

“Gimana semalem?”

“Dua orang yang kabur udah ke tangkep semua dan masih ada di markas. Belum di eksekusi karena nunggu intruksi dari Bos.”

Aksa hanya mengangguk untuk menanggapi jawaban dari Shaka. Kepalanya masih sangat pusing.

“Bos,” panggil Shaka.

“Kenapa?”

“Kepala Kepolisian minta buat ketemu, malem ini.”

Aksa mengernyitkan dahinya usai mendengar penuturan Shaka. Ada urusan apa kepala kepolisian mengajaknya untuk bertemu, pikirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status