Share

Magang Di Pelukan CEO
Magang Di Pelukan CEO
Author: Erna Azura

Anak Magang

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-06-02 06:28:51

“Magang … di mana, Mi?”

Aurelie memandangi sang mami dengan ekspresi setengah percaya, setengah syok.

Tangannya masih memegang sendok sup, tapi isi mulutnya sudah hambar sejak mendengar nama itu keluar dari mulut ibunya.

“Di Neuverse Technologies. Perusahaan teknologi milik keluarga dokter Zara,” jawab dokter Nadira Amarante tenang, seolah baru menawarkan liburan ke Bali, bukan magang di markas besar konglomerat yang CEO-nya dikenal sebagai pria paling tidak bisa diprediksi se-Jakarta.

Aurelie menahan napas. “Yang… yang CEO-nya itu? Yang—”

“Ya, Shaquelle Prince Folke.” Sang mami memotong tanpa menatap Aurelie.

“Anak dari tante Kejora-adik iparnya dokter Zara-bungsu keluarga Gunadhya yang menikah dengan Konglomerat Jerman. Kata dokter Zara, Shaquelle itu jenius. Lulusan doktoral dari Jerman juga, sama kayak almarhum papi kamu.”

Tentu saja dia tahu siapa Shaquelle. Seluruh feed media sosial kampusnya sempat dipenuhi berita munculnya sang pewaris muda dari Jerman.

Semua cewek membicarakan pria itu seperti dia perpaduan Elon Musk, Lee Min Ho, dan iblis tampan dalam drama Korea.

Tapi yang tidak semua orang tahu—atau pilih pura-pura tidak tahu—adalah reputasinya yang… chaotic. CEO satu itu dikenal slengean, terlalu tampan untuk jadi bos dan terlalu tajir untuk disalahkan.

“Mi, aku bisa cari tempat magang sendiri. Udah banyak kok yang nerima,” kata Aurelie, mencoba terdengar sopan, tapi intonasinya jelas: tolak sekarang atau aku kabur ke gunung.

Tapi mami Nadira hanya menatap anaknya sambil menyuap nasi ke mulut. “Dokter Zara yang menyarankan. Dia juga udah bilang sama keponakannya itu. Enggak enak lah kalau ditolak.”

Aurelie menunduk. Di rumah, dia boleh keras kepala. Tapi kalau sudah menyangkut dokter Zara—sosok yang berjasa besar dalam hidup ibunya—dia tahu diri.

Sialan.

Sangat sial.

“Kamu akan langsung diterima, Rel … harusnya kamu bersyukur, teman-teman kamu pasti susah dapet tempat magang yang bagus … siapa tahu setelah lulus nanti kamu bisa kerja di sana dan minta ditempatkan di Jerman … bukannya kamu selalu ingin tinggal di Jerman, di tempat kelahiran mendiang papi kamu?”

Aurelie tampak sedang berpikir.

“Ya udah, terima aja … lagian ‘kan belum tentu ketemu sama CEO-nya setiap hari.” Suara dari hatinya menenangkan.

Aurelie mengembuskan nafas panjang. “Aurel bisa dibully sama teman-teman, Mi … mereka ingin magang di perusahaan itu juga.” Bibir Aurel mengerucut.

“Tuh ‘kaaan … Mami bilang apa, kamu seharusnya bersyukur … mereka ingin magang di sana tapi enggak ada kesempatan, sedangkan kamu bisa langsung masuk.”

“Iya iya, Aurel bersyukur ini, Mi ….”

Aurelie bangkit dari kursi meja makan, dia telah selesai makan malam.

“Eh … mau ke mana?” Mami Nadira menghentikan langkah Aurel yang hendak meninggalkan ruang makan.

“Mau ke kamar ….”

“Cuci dulu piringnya, anak gadis harus rajin kerjain pekerjaan rumah biar suaminya nanti makin sayang.”

Aurelie merotasi bola matanya. “Alasan apa itu, Mi.” Tapi Aurelie kembali juga ke meja makan membereskan alat makannya.

“Loh iya ‘kan? Papi kamu dulu jatuh cinta sama Mami karena meski Mami dokter tapi multi tasking, bisa mengerjakan pekerjaan rumah juga, masak, ngurus anak.” Nadira menyimpan piring bekas makannya di atas piring yang dibawa sang putri.

“Mi, ‘kan kita ada asisten rumah tangga, lagian Aurel mau nikah sama pria sukses yang bisa bayarin asisten rumah tangga.” Aurelie bersungut-sungut sembari mencuci piring.

“Ah kamu nimpalin aja … jangan lupa matiin lampunya ya nanti.” Nadira pergi dengan langkah santai menuju kamarnya di lantai dua.

***

Dua hari kemudian, Aurelie berdiri di depan gedung pencakar langit berlapis kaca hitam dengan logo Neuverse Technologies terpampang megah.

Dari luar, bangunannya elegan dan futuristik.

Dari dalam, mungkin neraka korporat sedang menunggu.

“Kamu bisa, Aurelie,” gumamnya pelan. “Hanya magang. Tiga bulan. Lulus. Selesai.”

Jadi sebenarnya Aurelie bukan hanya malas bertemu CEO problematik dan tidak ingin di bully teman-temannya karena bisa magang di sini melalui jalur orang dalam tapi karena Aurelie juga malas bertemu orang baru yang selalu menguras energinya.

Dan detik ketika dia melangkah ke lobby, Aurelie langsung sadar: dia sudah masuk ke dunia yang sama sekali berbeda.

Dunia dasi mahal, sepatu mengkilap, tatapan tajam, dan—sayangnya—CEO yang aura intimidasinya terasa dari lift paling ujung.

Kemudian nasibnya berubah sejak hari itu.

Karena tepat saat ia akan duduk di ruang tunggu staf magang, suara berat dan cuek menyapa di belakangnya.

“Jadi ini yang katanya terlalu pintar untuk jadi sekadar intern?”

Aurelie menoleh.

Pria itu berdiri bersandar di dinding. Setelan abu-abu elegan. Wajah setengah senyum seperti tahu semua dosa orang.

Rambut acak terawat. Dan mata… oh, mata itu. Seolah bisa melihat isi pikiranmu dan menertawakannya pelan-pelan.

Shaquelle Prince Folke.

CEO Neuverse Technologies cabang Asia Pasifik.

Pria itu mengulurkan tangan. “Welcome to the hell, Aurelie Alana Heindrichs. You’re gonna love it here.”

Dan dia tersenyum. Senyum seorang pria yang sangat yakin: permainan baru saja dimulai.

Aurelie menatap tangan yang terulur ke arahnya, lalu menatap pemilik tangan itu. Wajahnya mungkin terlalu tampan untuk ukuran manusia normal, tapi ada senyum sombong di sana. Bukan senyum ramah. Lebih mirip tantangan.

Ia tidak menjabat tangan itu membuat tangan Shaquelle menggantung di udara dan sadar tidak mendapat sambutan, Shaquelle memasukannya kembali ke dalam saku celana.

Beberapa anak magang yang ada di sana menjadikan mereka tontonan gratis.

“Kalau ini neraka, aku harap cuma magang. Jadi aku bisa cepat-cepat lulus dan keluar,” jawab Aurelie tenang.

Shaquelle terkekeh pendek. “Luar biasa. Cewek magang pertama yang ngasih balasan. Biasanya mereka langsung gugup atau naksir.”

“Ada kemungkinan aku hanya gugup. Tapi naksir? Enggak, makasih…,” ucap Aurelie, lalu berbalik duduk di ruang tunggu, membuka tablet dan mulai membaca briefing program magangnya.

Shaquelle mengangkat alis. “Kamu tahu aku siapa?” Dia mengikuti Aurelie lantas duduk di depannya.

“Shaquelle Prince Folke. CEO cabang Asia Pasifik Neuverse Technologies. Lulusan doktor IT dari Berlin, anak konglomerat, dan menurut rumor, playboy kampus yang lulus cepat karena menuruni kejeniusan dari papanya… semua sampai heran karena selain belajar, kerjaan Bapak itu pacaran.”

Mata Shaquelle membulat kecil, lalu tertawa pelan. “Wow. Research kamu akurat. Tapi sayang, data kamu kurang satu: aku enggak pacaran. Aku bersosialisasi. Intens.” Shaquelle menaik turunkan kedua alisnya.

“Sayangnya, aku bukan fans sosialisasi Bapak.”

“Belum … jangan bilang bukan, nanti juga kamu ngefans sama aku.”

Aurelie menatap tajam. “Enggak akan pernah.”

Shaquelle terdiam sejenak. Matanya memerhatikan gadis itu dari ujung rambut hingga sepatu.

Tak ada riasan berlebihan, hanya bedak tipis dan lip balm. Rambut diikat rapi. Pakaian kerja sederhana, tapi elegan. Wajahnya tenang, tatapannya lurus, dan yang paling mencolok: tidak terintimidasi.

Jarang sekali seseorang bisa berdiri di depannya tanpa gugup—apalagi seorang intern.

“Kenapa kamu mau magang di sini?” tanya Shaquelle lagi.

“Karena disarankan oleh dokter Zara. Mamiku dokter di rumah sakit beliau,” jawab Aurelie tanpa emosi.

“Jadi bukan karena keinginan sendiri?”

Aurelie menggeleng pelan.

“Pagi Pak,” sapa Dani dari bagian HRD.

“Pagi ….” Shaquelle membalas.

“Ijin Pak mau manggil anak-anak intern, Pak.”

“Oh … Silahkan.”

Dani memanggil satu persatu nama pekerja magang.

“Sampai ketemu lagi nanti, Aurel.”

Shaquelle tersenyum. Senyum itu masih menggantung saat Aurelie menghilang di balik pintu lift meski sang gadis tidak merespon dengan balas tersenyum balik.

Dengan santainya Shaquelle, bersandar lagi di sofa. Matanya menatap langit-langit.

“Sombong, cerdas, kalem… dan enggak takut sama aku.”

Ia tertawa kecil. “Ini akan seru.” Shaquelle bangkit dari sofa.

Dia melangkah menuju ruangannya yang ada di lantai yang sama.

“Pagi Pak.” Celica-sekretaris Shaquelle membukakan pintu.

“Pagi ….”

Celica mengikuti Shaquelle hingga duduk di kursinya lalu memberikan ipad berisi update pekerjaan yang harus pria itu lakukan hari ini.

“Thanks, Cel.”

Celica lantas undur diri dari ruangan itu.

Beberapa saat kemudian ponsel yang dia baru saja letakan di atas meja bergetar.

Nama tantenya tertera di layar.

“Hallo Tante?” Shaquelle menjawab santai.

“Shaq, anaknya teman Tante hari ini magang di kantor kamu … namanya Aurel, yang waktu itu pernah Tante ceritain sama kamu, kamu udah ketemu?”

“Udah Tante, ‘kan Tante yang bilang harus menemui langsung anaknya teman Tante yang jenius ini, sebenarnya yang CEO siapa sih, Tan?”

Tante Zara tertawa di ujung panggilan sana. “Anaknya pemalu, Shaq … dia bingung nanti kalau enggak kamu arahin.”

“Pemalu apaan, Tan … dia nantangin terus sewaktu aku ajak ngobrol.”

“Oh ya? Bukan nantangin kali Shaq, kalau orang pendiem dan pemalu itu terkadang suka terlihat tegas padahal dia sedang berusaha untuk menjadi normal.” Tante Zara membela.

“Iya … iya … pokoknya dia aman sama aku.”

“Kamu tempatkan dia di mana?” Tante Zara kepo.

“Dia akan jadi asisten proyek di divisi R&D, ‘kata Tante dia jago coding, kan?”

“Iya, anaknya pinter Shaq … Kamu akan membutuhkan karyawan seperti dia nanti.”

“Oke Tan ... buat Tante, apa sih yang enggak.”

“Iiih, anak pinter … keponakan Tante tersayang.”

“Ah Tante, semua keponakan Tante dipuji kaya gitu.” Shaquelle pura-pura merajuk dan tawa tante Zara kembali tercetus.

“Ya udah … sampai ketemu weekend nanti ya, By the way, makasih bantuannya ya Shaq.”

“Dengan senang hati Tante.”

Keduanya memutus sambungan telepon.

Bibir Shaquelle tiba-tiba tersenyum mengingat tampang gugup menggemaskan Aurelie ketika dia menghampirinya tadi meski gadis itu pura-pura tegas tidak terintimidasi.

Kelopak mata dengan bulunya yang lentik milik Aurelie mengibas dengan sering ketika bicara.

Hidung Aurelie yang mancung dan mungil juga bibirnya yang tebal masih terekam jelas dalam benak Shaquelle dan berhasil membuat hawa panas menyeruak dari dalam tubuhnya.

Shaquelle menggelengkan kepala pelan sembari mendengkus untuk mengenyahkan adegan dewasa bersama Aurelie yang tiba-tiba melintas dalam benaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang Di Pelukan CEO   Tamat

    Malam itu, mereka berdua makan malam di meja panjang rumah sambil memandangi si kembar yang sedang tidur di baby cot, dijaga Siska dan Lila dari jauh.Aurelie menatap piringnya lalu berkata pelan, “Shaq, ternyata menyewa babysitter itu bukan berarti kita enggak sayang anak, ya?”Shaquelle mengangguk sambil tersenyum hangat. “Itu artinya kita sayang… sama anak dan sama kesehatan mental kita.”Aurelie tertawa, lalu mengangkat gelasnya. “Untuk kesehatan mental kita.”Shaquelle menyambutnya, mengetukkan gelasnya ringan. “Untuk keluarga Folke, edisi tidur nyenyak.”Malam itu, saat mereka berdua akhirnya bisa rebahan di ranjang tanpa baby monitor di telinga, Aurelie berbisik, “Kita ini beruntung, ya.”Shaquelle menariknya ke dalam pelukan. “Beruntung banget.”*** Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan.Di suatu hari, rumah Shaquelle Folke kembali riuh—bukan karena tangisan, tapi karena aksi duo kembar yang resmi menjajal kesabaran babysitter profesional.Pagi itu, Siska

  • Magang Di Pelukan CEO   Dari 2 jadi 4

    Begitu mobil hitam panjang mereka berhenti di depan rumah, sambutan hangat dari bunga-bunga segar yang memenuhi teras terasa seperti pesta kecil menyambut kedatangan dua anggota baru keluarga Folke.Aurelie duduk di kursi belakang diapit car seat berisi Aurembia dan Caelan. Keduanya masih terlihat seperti bayi mungil yang hanya tahu dua aktivitas utama yaitu tidur dan menangis.Namun, begitu melewati pintu rumah … dunia berubah.“Shaq, tolong botolnya! Botolnyaaa!” suara Aurelie terdengar nyaring dari ruang keluarga, hanya lima menit setelah mereka masuk rumah.Caelan menangis dengan suara yang memecah keheningan, sementara Aurembia memutuskan ikut “duet” dengan kakaknya.Shaquelle yang masih mencoba meletakkan koper malah terjebak dalam panik mini. “Botolnya di mana? Aku taruh di tas diaper, tas diaper-nya di mana?”“Di meja makan! Enggak, bukan yang itu—yang ada dot silikon, Shaq!” Aurelie setengah berteriak sambil mencoba menenangkan Aurembia.Begitu Shaquelle menyerahkan bo

  • Magang Di Pelukan CEO   Cinta Yang Melimpah

    Suara monitor jantung bayi berirama cepat, seperti ketukan drum yang memacu adrenalin.Shaquelle berdiri di sisi ranjang, memegang tangan Aurelie, sementara tim medis bersiap di ujung kaki.“Bu, tarik napas dalam terus buang … ya… bagus,” kata dokter sambil tersenyum memberi semangat.Tapi Aurelie malah melotot ke arah Shaquelle.“Kalau nanti ini sakitnya enggak worth sama semua ngidam aku, Shaq… aku sumpahin kamu harus ngidam juga!”Shaquelle hampir tertawa, tapi wajahnya tegang. “Rel, fokus napas, sayang. Ngidam nanti kita debat lagi.”Dorongan pertama.Aurelie meringis, wajahnya memerah. Shaquelle mengusap keningnya menggunakan handuk dingin.“Bagus, Bu, mereka udah mau keluar,” ujar sang dokter kembali.Aurelie mendesah lelah. “Kalau yang keluar duluan cowok, kamu harus janji dia nggak boleh pacaran sampai umur tiga puluh.”“Rel, ini bukan waktu yang tepat buat kontrak pranikah versi bayi!” sahut Shaquelle dengan suara tercekat p

  • Magang Di Pelukan CEO   Momen Terbaik

    Hari itu, langit Jakarta mendung, tapi suasana di lantai 21 kantor SamaSama.id malah super cerah.Tim R&D baru saja menyelesaikan milestone penting, dan tim strategi sedang merayakan dengan makan kue talas Bogor di pantry. Aurelie, yang sudah masuk minggu ke-38 kehamilan kembarnya, duduk di kursi khususnya—kursi ergonomis dengan bantal tambahan di punggung, hadiah dari Shaquelle.Jam menunjukkan pukul 10.42 ketika perut Aurelie mengeras tiba-tiba. Ia berhenti menulis di tablet. “Hmm… aneh…,” gumamnya.Raina menoleh. “Kenapa, Rel?”“Ada yang… nyubit dari dalam. Kenceng banget. Eh—aduh!”Raina langsung panik, setengah berteriak ke arah open space. “Dipo! Bu Mira! Ada yang enggak beres!”Dipo berlari dari meja dengan wajah pucat seperti baru lihat laporan keuangan minus. “Kontraksi?”“Aku enggak tahu, ini baru pertama kali hamil kembar!” jawab Aurelie sambil mencoba berdiri, tapi malah meringis.Mira, Reza, dan Rika dari tim R&D yang sedang disku

  • Magang Di Pelukan CEO   Selalu Ada

    Privat jet sudah menunggu di landasan. Begitu mobil hitam mereka berhenti, pramugari berseragam krem langsung menyambut dengan senyum hangat.Shaquelle turun lebih dulu, meraih tangan Aurelie untuk membantunya melangkah keluar. Udara dingin menggigit kulit, membuat pipi Aurelie merona. Ia menoleh sekali ke arah Pegunungan Alpen yang samar-samar terlihat di kejauhan—seakan ingin menyimpan pemandangan itu di sudut ingatan.Begitu mereka masuk kabin jet, kehangatan langsung menyelimuti. Interiornya elegan: kursi kulit krem, meja marmer kecil, lampu ambient kekuningan. Pramugari menawarkan teh herbal untuk Aurelie dan espresso untuk Shaquelle, lalu bergegas mempersiapkan kabin untuk penerbangan.Begitu pesawat mengudara, lampu kota Zurich perlahan mengecil, tergantikan lautan awan putih di bawah mereka. Aurelie bersandar di kursi lebar, selimut kasmir membalut tubuhnya. Shaquelle duduk di sebelah, jemarinya tak berhenti mengelus punggung tangan istrinya.“Kamu capek?” tanyanya.“Sedi

  • Magang Di Pelukan CEO   Selalu Indah

    Salju turun deras di luar chalet privat mereka di Zermatt, membuat dunia seperti tertutup selimut putih yang sunyi.Di dalam, hanya ada bunyi kayu terbakar di fireplace, memantulkan cahaya oranye yang menari di dinding kayu dan kulit mereka.Aurelie duduk di dekat jendela besar, sweater tebal menutupi tubuhnya, pipinya merona oleh dingin.Shaquelle mendekat dari belakang, dengan aroma wangi sabun mandi, gerakannya tenang tapi penuh intensi. Tangannya melingkari pinggang Aurelie, menarik pelan hingga punggung mungil itu menempel pada dada bidangnya.Aroma vanilla body lotion yang hangat berpadu dengan wangi salju yang masih menempel di rambut Aurelie membuat Shaquelle menunduk, bibirnya menyapu pelan dari pelipis ke rahang. Setiap sentuhan seperti percikan api kecil yang melelehkan sisa udara dingin di ruangan.Ia memutar tubuh Aurelie, menatapnya dengan mata yang berat oleh keinginan. “Kamu tahu … salju di luar kalah indah sama kamu,” bisiknya, lalu tanpa menunggu jawaban, bibirn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status