Home / Romansa / Magang Di Pelukan CEO / Harus Memiliki Aurel

Share

Harus Memiliki Aurel

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-06-02 06:30:43

Neuverse Technologies bukan kantor biasa.

Hari pertama Aurelie saja sudah seperti orientasi masuk Hogwarts—minus sihir dan plus tekanan mental dari atasan super kaya yang suka semaunya.

Setelah pertemuan singkat—dan cukup aneh— dengan sang CEO, ia dibawa oleh staf HRD ke ruang orientasi bersama enam mahasiswa magang lainnya. Mereka semua mengenakan ID biru langit bertuliskan “INTERN.”

Aurelie duduk di pojok, mendengarkan instruksi sambil mencatat. Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya—dan ia tahu kenapa. Di antara mereka, dia yang paling “menonjol”. Bukan karena gaya. Tapi karena gosip, setelah tadi terlibat obrolan ringan, manis dan manja dengan sang CEO.

Dan gosip itu datang tak lama setelah salah satu intern cewek berbisik pelan di belakangnya.

“Kayanya dia masuk sini karena punya orang dalem, buktinya langsung akrab sama CEO-nya.”

“Iya, malah tadi enggak sopan banget waktu pak Shaquelle ngajak salaman tapi dia malah pergi, ih sok kecantikan?”

“Tapi memang cantik.”

“Sumpah ya, pak Shaquelle cakep banget, sih.”

Aurelie menahan napas. Ia sudah terbiasa jadi pusat perhatian karena wajah bule-nya. Tapi bukan begini caranya ia ingin dikenal.

Belum sempat ia mengalihkan pikiran, pintu terbuka.

Seorang wanita bersetelan putih dengan heels hitam melangkah masuk. Elegan, tegas, wajahnya penuh percaya diri. Namanya tercetak jelas di ID yang tergantung di leher: Mira Sasmita – Head of R&D

“Selamat pagi. Saya Mira, kepala divisi R&D. Saya diminta langsung oleh pak CEO untuk memilih satu dari kalian untuk mendampingi proyek baru kami: pengembangan aplikasi medis digital. Proyek ini prioritas utama.”

Semua intern duduk tegak. Beberapa jelas menahan napas. Ini kesempatan emas—jika bukan jebakan.

Mira membuka map berisi data para intern. Tapi ia tidak membuka halaman pertama. Ia langsung menuju halaman terakhir.

“Aurelie Alana Heindrichs?”

Aurelie berdiri pelan. “Ya, Bu.”

“Kamu akan mulai hari ini juga. Saya antar ke lantai 17. Proyek ini akan kamu pegang bersama saya dan pak CEO langsung. Siapkan mental. Karena beliau agak sulit ditebak.”

Ada jeda. Dan tatapan dari intern lain makin menusuk. Tapi Aurelie hanya mengangguk. “Siap, Bu.”

Lantai 17 jauh lebih sunyi dari lantai bawah.

Dindingnya kaca, menghadap langsung ke skyline Jakarta. Meja-meja bersih, alat kerja serba digital, dan hanya ada beberapa orang di sana—semua tampak terlalu fokus, seolah menyentuh mereka bisa bikin kamu kena teguran etika kerja.

Mira menjelaskan secara teknis: proyek ini adalah aplikasi medis berbasis AI untuk kebutuhan klinik dan rumah sakit, dimulai dari sistem rekam medis digital hingga chat interaktif dengan dokter. Proyek ini penting karena jadi langkah awal Neuverse masuk ke sektor kesehatan di Asia.

“Kenapa saya yang dipilih?” tanya Aurelie, tak tahan.

Mira tersenyum samar. “Kamu bisa coding. Kamu paham dunia medis. Dan kayanya kamu tahan banting. Itu yang pak CEO cari.”

Kalimat terakhir itu tidak dijelaskan lebih jauh, dan Aurelie tak berani bertanya lebih banyak.

Setelah briefing, ia diberikan meja kerja kecil di pojok dan mulai membaca proposal proyek. Aurelie mulai tenggelam dalam dokumen sampai sebuah suara familiar menghancurkan konsentrasi.

“Aku suka meja itu. Di pojok. Dekat colokan. Cocok buat orang yang suka nyetrum hati orang lain.”

Aurelie menutup dokumen digitalnya. Menoleh pelan.

Shaquelle berdiri di balik meja, tidak memakai jas, hanya kemeja putih yang digulung sampai siku. Rambutnya agak berantakan, ID-nya menggantung asal di saku celana.

“Selamat datang di zona berbahaya,” katanya disertai senyum lebar menyebalkan dan sialnya pria itu tetap terlihat tampan.

“Apa semua proyek penting di perusahaan ini dipimpin langsung oleh CEO-nya?” tanya Aurelie tanpa basa-basi.

“Enggaaak. Tapi hanya proyek yang aku anggap berpotensi.”

Tatapan Shaquelle tajam. Tapi bibirnya masih melengkung seolah ini hanya permainan.

Aurelie menahan diri. “Aku di sini untuk magang. Bukan untuk jadi bagian dari permainan siapa pun.”

“Tenang. Aku juga kerja.” Ia mendekat. “Tapi aku kerja sambil menikmati pemandangan.”

Aurelie berdiri. “Kalau Bapak enggak punya instruksi langsung, aku akan kembali membaca proposal.”

“Shaquelle. Jangan ‘Bapak’. Aku jadi merasa tua. Panggil aja nama biar kita lebih akrab.” Senyum Shaquelle terkembang lebar membuat ketampanannya naik seratus persen.

“Maaf. Aku tidak terbiasa tidak profesional… apa lagi di jam kerja.”

Shaquelle terkekeh. “Kalau begitu, kamu harus belajar untuk enggak profesional hanya sama aku.”

Aurelie duduk lagi, mengabaikan keberadaan sang CEO. Shaquelle tidak berkata apa-apa selama beberapa detik. Lalu dengan suara lebih rendah, ia bertanya:

“Kamu takut kerja di sini?”

“Enggak.”

“Kamu takut ya sama aku?”

“Juga enggak.”

Shaquelle menyipitkan mata. “Kamu aneh.”

“Banyak yang bilang begitu.”

Ia tertawa kecil. “Oke, Aurelie. Kita mulai besok jam delapan pagi. Kamu akan duduk di rapat proyek bareng aku dan Mira. Pastikan kamu sudah paham proposal itu.”

“Baik.”

Shaquelle berbalik, melangkah ke ruang kaca besar di tengah ruangan. Tapi sebelum menutup pintu, ia menoleh dan berkata:

“Oh, satu lagi. Aku enggak suka orang yang gampang jatuh cinta di tempat kerja. Jadi pastikan kamu tetap fokus, ya?” Shaquelle melipat bibirnya menahan senyum.

Aurelie menoleh datar. “Aku juga enggak suka bos yang suka merasa semua orang bisa jatuh cinta padanya.”

Shaquelle tertawa. “Touché.”

Pintu tertutup.

Aurelie menghela napas pelan. Ia tahu hari ini baru permulaan.

Tapi satu hal sudah jelas, CEO itu… gila.

Dan sialnya, dia juga tahu cara bikin orang bingung antara ingin meninju atau menatap lebih lama.

***

Interior restoran Jepang itu tenang, dengan musik instrumental yang terlalu elegan untuk dua pria konglomerat yang sedang makan ramen dan debat soal crypto dan server down.

Svarga duduk dengan rapi, wajah serius seperti biasa. Ia mengangkat alis saat melihat adiknya, Shaquelle, asyik menatap layar ponsel sambil tersenyum aneh.

“Shaq,” tegurnya. “Lo dengerin gue enggak sih? Gue lagi bahas transisi cloud server ke sistem hybrid di perusahaan kakek, bukan ngajarin lo cara stalking cewek.”

Padahal Svarga menebak asal karena adiknya tidak lepas menatap layar ponsel.

“Tenang, tenang… ini penting buat masa depan,” kata Shaquelle, masih fokus scroll I*******m.

“Siapa masa depan lo?”

“Aurelie Alana Heindrichs… cewek magang yang direkomendasi sama tante Zara.” Shaquelle berujar tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.

“Apa pentingnya cewek magang buat masa depan lo?”

“Karena dia bukan cewek biasa,” bisiknya dramatis. “Dia anak seorang dokter. Blasteran Jerman. Tatapannya kalem, tapi jawabannya kayak senjata nuklir. Dan… dia ngacangin gue, mana ada cewek di dunia ini yang ngacangin gue? Cuma dia, Ga … gue enggak terima, dia harus jadi masa depan gue.”

Svarga menyeruput kuah ramen. “Jadi lo baper karena ada cewek yang enggak naksir lo balik?”

“Justru itu dia! Dia enggak terintimidasi. Beda. Bener-bener beda. Dan sekarang … gue penasaran.”

Jari Shaquelle menari cepat di kolom pencarian I*******m. Dan dalam waktu kurang dari tiga detik—karena tentu saja, dia CEO yang hafal semua teknik pencarian digital—akun itu muncul.

@aurelie.heindrichs

Following: 347 | Followers: 1,257 | Bio: “calm is power.”

Akun terbuka.

Shaquelle menggeser layar. Ada foto-foto aesthetic, pemandangan, buku, kopi, dan…

…foto itu.

Mulutnya menggantung terbuka. Matanya membelalak.

“Cough! Cough!”

Ramen di mulutnya tersedak keluar, hampir muncrat ke meja.

Air mengucur pelan dari hidungnya.

Svarga kaget. “Weh! Lo kenapa?!”

Shaquelle menunjuk layar. “Dia… dia di pantai. Pake bikini kotak-kotak. Pink. Duduk di atas papan paddle board. Gue… gue gak siap, Ga.”

Svarga melirik sebentar, lalu memutar mata. “Astaga. Cewek cakep pake bikini, terus kenapa?”

“Tapi dia kan… cewek magang! Harusnya bajunya blazer, bukan… begini! Dia belum lulus kuliah, Ga … tapi itunya besar banget.”

Shaquelle menatap layar lagi. Seolah fotonya bisa berubah kapan saja.

“Apanya yang besar?” Svarga penasaran, lalu merebut ponsel dari tangan Shaquelle tanpa protes.

Svarga langsung mengembalikannya kepada Shaquelle sembari menatap malas adiknya.

“Tampang innocent, gaya bicara kaku… tapi I*-nya kayak model majalah musim panas.”

Svarga menaruh sumpitnya. “Shaq, lo tuh CEO. Lo harusnya lebih mikirin strategi pasar Asia Tenggara, bukan mantengin I* intern lo sendiri.”

“Tapi ini… ini bukan tentang strategi. Ini tentang… momen.”

“Momen?”

“Momen ketika lo sadar… hidup lo bisa berubah cuma karena satu foto bikini kotak-kotak.”

Shaquelle mendesah panjang. Ia mendekatkan layar ke dada, seolah ingin menyimpan gambar itu langsung ke jantungnya.

Svarga bangkit, mengambil sisa ramen dan memindahkannya ke mangkuknya sendiri. “Oke, gue makan sisa lo. Lo fix lagi kerasukan hormon.”

Shaquelle mengangguk pelan, menatap I* Aurelie lagi. “Gue harus punya dia. Tapi bukan sebagai pegawai. Sebagai… bahan studi kasus pribadi.”

“Lo butuh psikolog, bukan studi kasus.” Svarga menimpali.

Shaquelle tidak menyelesaikan makan siangnya. Bukan karena tak enak. Tapi karena seorang gadis pendiam telah mengacaukan sistem operasi jantung dan otaknya lewat sepotong bikini merah muda dan tatapan polos yang… terlalu membekas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Magang Di Pelukan CEO   Gombalan Receh

    Pagi itu, jam masih menunjukkan pukul delapan lebih tujuh menit saat Aurelie duduk di meja kerjanya.Lantai tujuh belas belum terlalu ramai, tapi hawa sosial tetap terasa mencekam.Meja pojok tempat ia duduk sudah seperti panggung kecil.Setiap kali Aurelie mengangkat kepala, selalu ada satu pasang mata (minimal) yang menatap. Baik itu lirikan Rika yang tajam seperti pisau roti, atau tatapan heran dari dua staf lain yang pura-pura sibuk ngetik padahal layar mereka masih di halaman Google.Reza? Seperti biasa. Duduk di meja seberang, ngopi sambil membaca file. Netral. Bagaikan Google yang tahu semua tapi memilih diam demi kelangsungan hidup.Pukul delapan lebih lima belas menit Mira datang. Rapat pagi internal dimulai di ruang rapat kecil berkapasitas tujuh orang. Mira duduk di kursi utama, mengusap layar tablet dan langsung membuka agenda pagi itu.“Oke, kita mulai ya. Pagi ini fokus ke tiga hal utama: progres sistem API untuk input data medis, deadline integrasi data RS partner

  • Magang Di Pelukan CEO   Perjodohan

    Jam sudah menunjukkan pukul 17.48 saat Shaquelle akhirnya melempar tubuhnya ke sofa kulit abu di sudut ruangannya.Lantai 17 perlahan sepi. Karyawan pulang satu per satu. Tapi Shaquelle masih mengenakan kemeja putih setengah tergulung dan dasi yang sudah longgar sejak siang. Rambutnya sedikit acak karena berkali-kali ia mengacaknya sendiri—kebiasaan buruk kalau terlalu banyak mikir, atau terlalu bingung dengan perasaannya sendiri.Di meja kerjanya, layar laptop masih menyala, tapi tidak satupun file terbuka. Di ponselnya, jari-jarinya terus membuka kembali foto itu—feed Instagram Aurelie.Bibirnya mengulas senyum pelan. Bener-bener beda, cewek satu ini.Ponsel tiba-tiba bergetar. Nama di layar muncul: “Mama – Germany”Shaquelle menekan tombol hijau, mengatur posisi duduk lebih santai.Layar menunjukkan sosok wanita cantik berambut cokelat terang, elegan, dengan kacamata baca bertengger di ujung hidung. Ia duduk di ruang keluarga rumah besar mereka di Berlin, dengan secangkir teh

  • Magang Di Pelukan CEO   Hari Pertama

    Hari pertama kerja resmi Aurelie dimulai dengan tiga hal: nervous, flat shoes, dan tatapan tajam dari semua sisi.Sejak memasuki lantai tujuh belas, ruangan R&D Neuverse terasa seperti panggung sirkus, diam-diam semua sedang menilai siapa yang paling bersinar dan siapa yang harus menjadi bahan bully.Dan di tengah pertunjukan itu, Aurelie berdiri sendirian di depan pintu, diam, tapi mencolok.Meja kerjanya di pojok terlihat bersih dan minimalis, berbanding terbalik dengan meja Rika, staf R&D senior, yang penuh tumpukan berkas dan tisu bekas.Rika melirik sinis begitu Aurelie duduk. “Pojok favorit aku tuh. Tapi ya, kalau ‘anak emas’ CEO mau duduk di sana, siapa yang berani larang, ya, kan?”Aurelie menoleh dengan sopan, selain jadi pusat perhatian sekarang dia bahan bullyan. “Mbak bisa pakai lagi kok nanti. Saya cuma numpang magang.”Rika tersenyum tipis. “Oh, enggak kok. Cuma nyeletuk.”Dan Aurelie tahu, celetukan itu berisi satu kata yaitu benci.Pukul 08.58, seluruh tim R&D

  • Magang Di Pelukan CEO   Harus Memiliki Aurel

    Neuverse Technologies bukan kantor biasa.Hari pertama Aurelie saja sudah seperti orientasi masuk Hogwarts—minus sihir dan plus tekanan mental dari atasan super kaya yang suka semaunya.Setelah pertemuan singkat—dan cukup aneh— dengan sang CEO, ia dibawa oleh staf HRD ke ruang orientasi bersama enam mahasiswa magang lainnya. Mereka semua mengenakan ID biru langit bertuliskan “INTERN.”Aurelie duduk di pojok, mendengarkan instruksi sambil mencatat. Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya—dan ia tahu kenapa. Di antara mereka, dia yang paling “menonjol”. Bukan karena gaya. Tapi karena gosip, setelah tadi terlibat obrolan ringan, manis dan manja dengan sang CEO.Dan gosip itu datang tak lama setelah salah satu intern cewek berbisik pelan di belakangnya.“Kayanya dia masuk sini karena punya orang dalem, buktinya langsung akrab sama CEO-nya.”“Iya, malah tadi enggak sopan banget waktu pak Shaquelle ngajak salaman tapi dia malah pergi, ih sok kecantikan?”“Tapi memang cantik.”“Sumpa

  • Magang Di Pelukan CEO   Anak Magang

    “Magang … di mana, Mi?” Aurelie memandangi sang mami dengan ekspresi setengah percaya, setengah syok. Tangannya masih memegang sendok sup, tapi isi mulutnya sudah hambar sejak mendengar nama itu keluar dari mulut ibunya. “Di Neuverse Technologies. Perusahaan teknologi milik keluarga dokter Zara,” jawab dokter Nadira Amarante tenang, seolah baru menawarkan liburan ke Bali, bukan magang di markas besar konglomerat yang CEO-nya dikenal sebagai pria paling tidak bisa diprediksi se-Jakarta. Aurelie menahan napas. “Yang… yang CEO-nya itu? Yang—” “Ya, Shaquelle Prince Folke.” Sang mami memotong tanpa menatap Aurelie. “Anak dari tante Kejora-adik iparnya dokter Zara-bungsu keluarga Gunadhya yang menikah dengan Konglomerat Jerman. Kata dokter Zara, Shaquelle itu jenius. Lulusan doktoral dari Jerman juga, sama kayak almarhum papi kamu.” Tentu saja dia tahu siapa Shaquelle. Seluruh feed media sosial kampusnya sempat dipenuhi berita munculnya sang pewaris muda dari Jerman. Semua c

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status