Pagi itu, jam masih menunjukkan pukul delapan lebih tujuh menit saat Aurelie duduk di meja kerjanya.Lantai tujuh belas belum terlalu ramai, tapi hawa sosial tetap terasa mencekam.Meja pojok tempat ia duduk sudah seperti panggung kecil.Setiap kali Aurelie mengangkat kepala, selalu ada satu pasang mata (minimal) yang menatap. Baik itu lirikan Rika yang tajam seperti pisau roti, atau tatapan heran dari dua staf lain yang pura-pura sibuk ngetik padahal layar mereka masih di halaman Google.Reza? Seperti biasa. Duduk di meja seberang, ngopi sambil membaca file. Netral. Bagaikan Google yang tahu semua tapi memilih diam demi kelangsungan hidup.Pukul delapan lebih lima belas menit Mira datang. Rapat pagi internal dimulai di ruang rapat kecil berkapasitas tujuh orang. Mira duduk di kursi utama, mengusap layar tablet dan langsung membuka agenda pagi itu.“Oke, kita mulai ya. Pagi ini fokus ke tiga hal utama: progres sistem API untuk input data medis, deadline integrasi data RS partner
Jam sudah menunjukkan pukul 17.48 saat Shaquelle akhirnya melempar tubuhnya ke sofa kulit abu di sudut ruangannya.Lantai 17 perlahan sepi. Karyawan pulang satu per satu. Tapi Shaquelle masih mengenakan kemeja putih setengah tergulung dan dasi yang sudah longgar sejak siang. Rambutnya sedikit acak karena berkali-kali ia mengacaknya sendiri—kebiasaan buruk kalau terlalu banyak mikir, atau terlalu bingung dengan perasaannya sendiri.Di meja kerjanya, layar laptop masih menyala, tapi tidak satupun file terbuka. Di ponselnya, jari-jarinya terus membuka kembali foto itu—feed Instagram Aurelie.Bibirnya mengulas senyum pelan. Bener-bener beda, cewek satu ini.Ponsel tiba-tiba bergetar. Nama di layar muncul: “Mama – Germany”Shaquelle menekan tombol hijau, mengatur posisi duduk lebih santai.Layar menunjukkan sosok wanita cantik berambut cokelat terang, elegan, dengan kacamata baca bertengger di ujung hidung. Ia duduk di ruang keluarga rumah besar mereka di Berlin, dengan secangkir teh
Hari pertama kerja resmi Aurelie dimulai dengan tiga hal: nervous, flat shoes, dan tatapan tajam dari semua sisi.Sejak memasuki lantai tujuh belas, ruangan R&D Neuverse terasa seperti panggung sirkus, diam-diam semua sedang menilai siapa yang paling bersinar dan siapa yang harus menjadi bahan bully.Dan di tengah pertunjukan itu, Aurelie berdiri sendirian di depan pintu, diam, tapi mencolok.Meja kerjanya di pojok terlihat bersih dan minimalis, berbanding terbalik dengan meja Rika, staf R&D senior, yang penuh tumpukan berkas dan tisu bekas.Rika melirik sinis begitu Aurelie duduk. “Pojok favorit aku tuh. Tapi ya, kalau ‘anak emas’ CEO mau duduk di sana, siapa yang berani larang, ya, kan?”Aurelie menoleh dengan sopan, selain jadi pusat perhatian sekarang dia bahan bullyan. “Mbak bisa pakai lagi kok nanti. Saya cuma numpang magang.”Rika tersenyum tipis. “Oh, enggak kok. Cuma nyeletuk.”Dan Aurelie tahu, celetukan itu berisi satu kata yaitu benci.Pukul 08.58, seluruh tim R&D
Neuverse Technologies bukan kantor biasa.Hari pertama Aurelie saja sudah seperti orientasi masuk Hogwarts—minus sihir dan plus tekanan mental dari atasan super kaya yang suka semaunya.Setelah pertemuan singkat—dan cukup aneh— dengan sang CEO, ia dibawa oleh staf HRD ke ruang orientasi bersama enam mahasiswa magang lainnya. Mereka semua mengenakan ID biru langit bertuliskan “INTERN.”Aurelie duduk di pojok, mendengarkan instruksi sambil mencatat. Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya—dan ia tahu kenapa. Di antara mereka, dia yang paling “menonjol”. Bukan karena gaya. Tapi karena gosip, setelah tadi terlibat obrolan ringan, manis dan manja dengan sang CEO.Dan gosip itu datang tak lama setelah salah satu intern cewek berbisik pelan di belakangnya.“Kayanya dia masuk sini karena punya orang dalem, buktinya langsung akrab sama CEO-nya.”“Iya, malah tadi enggak sopan banget waktu pak Shaquelle ngajak salaman tapi dia malah pergi, ih sok kecantikan?”“Tapi memang cantik.”“Sumpa
“Magang … di mana, Mi?” Aurelie memandangi sang mami dengan ekspresi setengah percaya, setengah syok. Tangannya masih memegang sendok sup, tapi isi mulutnya sudah hambar sejak mendengar nama itu keluar dari mulut ibunya. “Di Neuverse Technologies. Perusahaan teknologi milik keluarga dokter Zara,” jawab dokter Nadira Amarante tenang, seolah baru menawarkan liburan ke Bali, bukan magang di markas besar konglomerat yang CEO-nya dikenal sebagai pria paling tidak bisa diprediksi se-Jakarta. Aurelie menahan napas. “Yang… yang CEO-nya itu? Yang—” “Ya, Shaquelle Prince Folke.” Sang mami memotong tanpa menatap Aurelie. “Anak dari tante Kejora-adik iparnya dokter Zara-bungsu keluarga Gunadhya yang menikah dengan Konglomerat Jerman. Kata dokter Zara, Shaquelle itu jenius. Lulusan doktoral dari Jerman juga, sama kayak almarhum papi kamu.” Tentu saja dia tahu siapa Shaquelle. Seluruh feed media sosial kampusnya sempat dipenuhi berita munculnya sang pewaris muda dari Jerman. Semua c