Jam sudah menunjukkan pukul 17.48 saat Shaquelle akhirnya melempar tubuhnya ke sofa kulit abu di sudut ruangannya.
Lantai 17 perlahan sepi. Karyawan pulang satu per satu. Tapi Shaquelle masih mengenakan kemeja putih setengah tergulung dan dasi yang sudah longgar sejak siang. Rambutnya sedikit acak karena berkali-kali ia mengacaknya sendiri—kebiasaan buruk kalau terlalu banyak mikir, atau terlalu bingung dengan perasaannya sendiri. Di meja kerjanya, layar laptop masih menyala, tapi tidak satupun file terbuka. Di ponselnya, jari-jarinya terus membuka kembali foto itu—feed I*******m Aurelie. Bibirnya mengulas senyum pelan. Bener-bener beda, cewek satu ini. Ponsel tiba-tiba bergetar. Nama di layar muncul: “Mama – Germany” Shaquelle menekan tombol hijau, mengatur posisi duduk lebih santai. Layar menunjukkan sosok wanita cantik berambut cokelat terang, elegan, dengan kacamata baca bertengger di ujung hidung. Ia duduk di ruang keluarga rumah besar mereka di Berlin, dengan secangkir teh dan wajah yang—tanpa perlu kata—sudah tahu anaknya sedang aneh. “Shaquelle… kamu kenapa? Mukamu kayak orang abis jatuh cinta.” Shaquelle tersenyum miring. “Mungkin.” Mama Kejora menepuk jidatnya pelan. “Oh, Tuhan. Lagi? Jangan bilang kamu jatuh cinta sama sekretaris barumu lagi.” Shaquelle tertawa pendek. “Dia bukan sekretaris, Ma. Dia intern. Dan dia beda.” Mama menatap malas layar ponselnya. “Setiap kali kamu bilang ‘beda’, Mama langsung nyiapin popcorn. Ini biasanya bagian awal drama.” “Tapi ini serius.” Shaquelle menegaskan. “Kamu juga bilang begitu waktu sama Helena, terus sama Audrey, Amanda terus sama yang satu lagi itu… siapa namanya? Yang suka nge-DJ.” Shaquelle mencubit batang hidungnya sendiri. “Greta, Ma … Aku enggak pernah kayak gini, Ma. Cewek ini… bikin aku pengen kerja beneran.” “Pengen kerja beneran?” Mata mama Kejora mengecil curiga. “Kamu selama ini ke kantor cuma buat flirting sama karyawan dan bikin presentasi sambil makan siang ramen dengan kakak kamu. Sekarang kamu bilang kamu termotivasi karena… intern?” Shaquelle bersandar lebih dalam. Pandangannya menerawang ke jendela kaca yang menghadap langit Jakarta yang mulai gelap. “Dia marah pas aku telat rapat. Tegas. Dingin. Ngegas di depan semua orang. Tapi ekspresinya tetap tenang. Kayak… magic.” Shaquelle melanjutkan curhatnya, tidak mempedulikan sarkasme sang mama barusan. Mama Kejora tergelak. “Oh no. Kamu bener-bener tergila-gila ya.” “Kalau Mama lihat dia marah, Mama juga pasti jatuh cinta.” Mama Kejora menyesap tehnya, tenang sekali. “Lucu. Tapi hati-hati. Biasanya yang bikin kesengsem duluan … itu yang suka ninggalin duluan.” Shaquelle terdiam. Komentar itu seperti dilempar asal tapi menghantam tepat sasaran. Karena memang, selama ini, dia yang selalu bosan duluan. Tapi entah kenapa, sekarang dia takut jadi yang ditinggal duluan. “Kayanya dia bukan cewek yang bisa aku atur, Ma.” Raut wajah Shaquelle tampak nelangsa. “Dan justru karena itu kamu enggak bisa berhenti mikirin dia.” Mama Kejora menebak. “Exactly,” kata Shaquelle, sang mama memang yang paling mengerti dirinya. Hening sejenak. Lalu sang mama menatapnya lebih lembut dari sebelumnya. “Kalau kamu serius… jangan kejar dia kayak kamu ngejar cewek-cewek biasanya. Dia bisa risih dan semakin menjauh.” Wejangan mama Kejora membuat kedua alis Shaquelle terangkat. “Terus aku harus gimana?” “Perlahan. Diam-diam. Dan biarkan dia yang penasaran.” Shaquelle tersenyum kecil. “Ma, kamu ahli strategi percintaan?” “Kamu, tahu … Papa kamu yang dulu dingin dan enggak cinta sama Mama, sekarang bucinnya setengah mati,” kata mama Kejora pongah. “Jadi, meski anak Mama CEO. Tapi tetap butuh mamanya buat urusan hati.” Mereka tertawa. Lalu panggilan ditutup dengan ucapan singkat dari sang mama. “Hati-hati, Shaquelle. Karena kalau kamu sampai jatuh… jangan setengah-setengah.” Shaquelle meletakkan ponsel di dadanya. Diam, merenung sebentar. Sore di luar jendela semakin pekat. Sebenarnya dia tidak yakin—apakah dia sedang bermain, atau sedang dipermainkan. *** Cahaya lampu gantung bergaya industrial menyinari ruangan dengan cahaya hangat. Penthouse Shaquelle di lantai atas salah satu gedung termewah Jakarta terasa sunyi. Terlalu sunyi untuk pria yang biasanya disibukkan rapat, makan malam bisnis, atau sekadar… godain cewek. Shaquelle duduk di sofa dengan kaos putih dan celana jogger. Rambutnya acak dan basah karena habis mandi, wajahnya sedikit lelah. Di hadapannya, laptop terbuka, memperlihatkan wajah Greta Müller—duduk di balik meja makeupnya, dengan lampu ring light menyorot wajah cantiknya yang selalu terlihat ‘siap manggung’. Greta tersenyum kecil. “Shaq, kamu enggak bilang jadwal kamu berubah. Aku nunggu kabar kamu dari tadi.” “Lagi banyak rapat. Proyek baru mulai padat.” Shaquelle menatap datar. “Gara-gara Neuverse Asia itu ya? Yang kamu bilang ‘cuma numpang main ke Jakarta’? Tapi sekarang kamu kayak orang stay for life di sana.” Shaquelle tidak menjawab. Ia mengalihkan pandangan ke jendela besar yang memperlihatkan lampu kota. “Aku lihat I* kamu tadi. Tag lokasi di kantor. Di repost sama akun official Neuverse. Gila, CEO paling muda, paling tajir, dan … paling misterius,” imbuh Greta lagi mencari topik pembicaraan baru karena dilihatnya ekspresi sang kekasih tampak bosan. “Kalau kamu mau bahas branding, tanya tim PR.” Shaquelle mengembalikan tatapannya ke kamera. Greta tertawa ringan. “Oh, come on. Aku pacar kamu, bukan wartawan gosip. Tapi… kamu memang makin susah dihubungi, Shaq. Aku merasa, kamu menjauh.” Shaquelle menghela napas pelan, matanya masih menatap layar dengan sayu. Dingin. “Aku capek, Greta.” “Capek kerja? Atau capek sama hubungan ini?” Greta bersarkasme. Detik itu, hening menyelimuti. Shaquelle tidak langsung menjawab. Ia memijat pelipisnya, lalu berdiri dan berjalan pelan ke minibar. Mengisi segelas air. Minum. “Ada cewek lain ya di sana?” tuduh Greta karena kelakuan Shaquelle selalu memiliki pola yaitu ketika tampak bosan berkomunikasi dengannya maka itu berarti Shaquelle sedang menyukai gadis lain. “Kamu tahu aku selalu dikelilingi cewek, seperti kamu yang dikelilingi banyak cowok.” Tatapan Shaquelle berubah datar. “Tapi kamu biasanya tetap cerita. Sekarang… kamu kayak narik diri. Bukan karena kerja. Tapi karena kamu… jatuh hati lagi.” Shaquelle diam. Lalu ia kembali ke sofa, duduk, dan berkata pelan. “Mungkin aku cuma mulai sadar. Hubungan kita sudah terlalu lama… tapi selalu di titik yang sama. Aku berubah. Sedikit dan kamu juga begitu tanpa menyadarinya.” “Jadi kamu mau bilang… kalau kamu bosen sama aku?” Greta lalu tertawa sarkastik. “Aku bilang… mungkin aku enggak butuh ‘zona nyaman’ yang ini lagi.” Nada bicara Shaquelle mulai meninggi. Wajah Greta menegang. Tapi senyumnya tetap bertahan. Wanita seperti dia tak akan memperlihatkan emosi di depan kamera. “Oke. Nikmati Jakarta kamu. Tapi ingat satu hal, Shaquelle… kamu dan aku itu satu dunia. Dan cewek manapun yang bukan dari dunia itu—cepat atau lambat—akan pergi sendiri.” Ucapan Greta itu layaknya sebuah ancaman. “Terima kasih atas ramalannya,” balas Shaquelle santai. Greta mematikan video call lebih dulu. Shaquelle menatap layar kosong. Lalu mematikan laptop, menenggak sisa air, dan menyandarkan kepalanya ke sofa. Di tengah gelapnya penthouse yang sunyi itu, pikirannya melayang pada satu nama. Aurelie. Yang justru berasal dari dunia yang tak pernah ia pikir akan ia inginkan. *** Restoran Prancis kecil siang itu tenang, elegan, dan cukup sepi untuk jadi lokasi sempurna membicarakan hal sensitif tanpa takut dikuping netizen. Tante Zara mengaduk saladnya dengan tenang, sementara mami Nadira menyendok sup jamur perlahan. “Kamu tahu enggak, Dir… mamanya Shaquelle nelpon aku semalam. Langsung dari Berlin. Topiknya… sangat menarik,” kata tante Zara pelan tapi tajam. “Jangan bilang soal… Shaquelle lagi?” Mami Nadira penasaran tapi tetap waspada. Tante Zara mengangguk sembari tersenyum geli. “Iya. Dia bilang, ‘Zara, aku rela investasi untuk pengembangan aplikasi rumah sakit kamu berapa pun asalkan kamu bisa menjodohkan anakku dengan gadis yang benar.’” Nadira hampir tersedak sup. “Hah?! Serius?! Kayak sinetron!” “Bukan sinetron. Ini Folke family saga, season berikutnya.” “Terus… kenapa aku yang ikut makan siang ini? Jangan bilang—” “Karena aku bilang, aku punya kandidat. Dan kandidatnya… cantik, pinter, kalem, dan satu rumah sama kamu,” potong tante Zara sembari tersenyum licik. Mami Nadira menatap tajam, lalu memelotot. “Zara. No. No way. Aurelie itu masih—” “Masih kuliah? Iya. Tapi pintar. Dewasa. Stabil. Lebih dari cukup buat ngalahin DJ keliling dunia itu.” “Siapa si DJ Keliling dunia?” Mami Nadira mengerutkan keningnya bingung. “Ituuuu, cewek yang nempelin Shaquelle terus kaya roh penasaran, namanya Greta … seneng banget pakai baju dua inci terus manggung di rooftop .…” “Enggak nyangka, Shaquelle suka sama yang begituan.” Mami Nadira bergumam. “Nah. Itu dia. Dan kamu tahu sendiri keluarga Gunadhya itu terkenal keluarga terpandang yang turunannya baik-baik. Terlalu beradab. Enggak tahan liat keturunan mereka deket sama cewek yang upload I* story isinya vodka dan filter glitter tiap hari.” Mami Nadira menghela napas panjang. Ia menatap Zara sejenak. “Kamu lupa satu hal, Zara … Aurelie itu benci cowok playboy. Meskipun CEO dengan pendidikan doktoral tapi absurd dan sok cool, dia palingan kabur gunung kalau tahu dijodohin.” “Justru karena itu menarik, Dir. Shaquelle enggak pernah dipatahkan. Aurelie bukan tipe cewek yang suka ngejar. Dia akan bikin cowok itu ngejar-ngejar sendiri sampai capek.” “Kamu serius pengen jodohin keponakan cowokmu yang slengean… dengan anak cewekku yang enggak bisa pura-pura senyum?” Mata mami Nadira memicing menatap tante Zara. “Dan kamu serius nolak peluang punya mantu CEO dengan gaji delapan digit dan apartemen yang kamarnya lebih banyak dari jumlah mantan Aurel?” “Astaga, Zara. Jangan jual anakku kaya paket saham unicorn.” Mereka tertawa. Zara menyeka mulutnya menggunakan tissue, lalu berkata lebih pelan. “Aku cuma bilang… biarkan aja jalan. Enggak usah didorong. Tapi juga… jangan ditutup. Mamanya Shaquelle itu enggak minta perjodohan resmi. Cuma… ‘kesempatan yang terarah’. Paham ‘kan maksudnya?” Nadira terdiam. Di pikirannya, dia membayangkan wajah Aurelie yang lagi manyun sambil cuci piring. Lalu membayangkan Shaquelle yang pasti bisa bikin anak gadisnya naik darah setiap hari. “Aku enggak janji. Tapi kalau mereka saling gigit satu sama lain… kamu yang tanggung jawab.” Tante Zara tersenyum lebar.“Tenang. Kadang cinta itu memang dimulai dari saling gigit. Yang penting jangan langsung saling gugat.”Pagi itu, jam masih menunjukkan pukul delapan lebih tujuh menit saat Aurelie duduk di meja kerjanya.Lantai tujuh belas belum terlalu ramai, tapi hawa sosial tetap terasa mencekam.Meja pojok tempat ia duduk sudah seperti panggung kecil.Setiap kali Aurelie mengangkat kepala, selalu ada satu pasang mata (minimal) yang menatap. Baik itu lirikan Rika yang tajam seperti pisau roti, atau tatapan heran dari dua staf lain yang pura-pura sibuk ngetik padahal layar mereka masih di halaman Google.Reza? Seperti biasa. Duduk di meja seberang, ngopi sambil membaca file. Netral. Bagaikan Google yang tahu semua tapi memilih diam demi kelangsungan hidup.Pukul delapan lebih lima belas menit Mira datang. Rapat pagi internal dimulai di ruang rapat kecil berkapasitas tujuh orang. Mira duduk di kursi utama, mengusap layar tablet dan langsung membuka agenda pagi itu.“Oke, kita mulai ya. Pagi ini fokus ke tiga hal utama: progres sistem API untuk input data medis, deadline integrasi data RS partner
Jam sudah menunjukkan pukul 17.48 saat Shaquelle akhirnya melempar tubuhnya ke sofa kulit abu di sudut ruangannya.Lantai 17 perlahan sepi. Karyawan pulang satu per satu. Tapi Shaquelle masih mengenakan kemeja putih setengah tergulung dan dasi yang sudah longgar sejak siang. Rambutnya sedikit acak karena berkali-kali ia mengacaknya sendiri—kebiasaan buruk kalau terlalu banyak mikir, atau terlalu bingung dengan perasaannya sendiri.Di meja kerjanya, layar laptop masih menyala, tapi tidak satupun file terbuka. Di ponselnya, jari-jarinya terus membuka kembali foto itu—feed Instagram Aurelie.Bibirnya mengulas senyum pelan. Bener-bener beda, cewek satu ini.Ponsel tiba-tiba bergetar. Nama di layar muncul: “Mama – Germany”Shaquelle menekan tombol hijau, mengatur posisi duduk lebih santai.Layar menunjukkan sosok wanita cantik berambut cokelat terang, elegan, dengan kacamata baca bertengger di ujung hidung. Ia duduk di ruang keluarga rumah besar mereka di Berlin, dengan secangkir teh
Hari pertama kerja resmi Aurelie dimulai dengan tiga hal: nervous, flat shoes, dan tatapan tajam dari semua sisi.Sejak memasuki lantai tujuh belas, ruangan R&D Neuverse terasa seperti panggung sirkus, diam-diam semua sedang menilai siapa yang paling bersinar dan siapa yang harus menjadi bahan bully.Dan di tengah pertunjukan itu, Aurelie berdiri sendirian di depan pintu, diam, tapi mencolok.Meja kerjanya di pojok terlihat bersih dan minimalis, berbanding terbalik dengan meja Rika, staf R&D senior, yang penuh tumpukan berkas dan tisu bekas.Rika melirik sinis begitu Aurelie duduk. “Pojok favorit aku tuh. Tapi ya, kalau ‘anak emas’ CEO mau duduk di sana, siapa yang berani larang, ya, kan?”Aurelie menoleh dengan sopan, selain jadi pusat perhatian sekarang dia bahan bullyan. “Mbak bisa pakai lagi kok nanti. Saya cuma numpang magang.”Rika tersenyum tipis. “Oh, enggak kok. Cuma nyeletuk.”Dan Aurelie tahu, celetukan itu berisi satu kata yaitu benci.Pukul 08.58, seluruh tim R&D
Neuverse Technologies bukan kantor biasa.Hari pertama Aurelie saja sudah seperti orientasi masuk Hogwarts—minus sihir dan plus tekanan mental dari atasan super kaya yang suka semaunya.Setelah pertemuan singkat—dan cukup aneh— dengan sang CEO, ia dibawa oleh staf HRD ke ruang orientasi bersama enam mahasiswa magang lainnya. Mereka semua mengenakan ID biru langit bertuliskan “INTERN.”Aurelie duduk di pojok, mendengarkan instruksi sambil mencatat. Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya—dan ia tahu kenapa. Di antara mereka, dia yang paling “menonjol”. Bukan karena gaya. Tapi karena gosip, setelah tadi terlibat obrolan ringan, manis dan manja dengan sang CEO.Dan gosip itu datang tak lama setelah salah satu intern cewek berbisik pelan di belakangnya.“Kayanya dia masuk sini karena punya orang dalem, buktinya langsung akrab sama CEO-nya.”“Iya, malah tadi enggak sopan banget waktu pak Shaquelle ngajak salaman tapi dia malah pergi, ih sok kecantikan?”“Tapi memang cantik.”“Sumpa
“Magang … di mana, Mi?” Aurelie memandangi sang mami dengan ekspresi setengah percaya, setengah syok. Tangannya masih memegang sendok sup, tapi isi mulutnya sudah hambar sejak mendengar nama itu keluar dari mulut ibunya. “Di Neuverse Technologies. Perusahaan teknologi milik keluarga dokter Zara,” jawab dokter Nadira Amarante tenang, seolah baru menawarkan liburan ke Bali, bukan magang di markas besar konglomerat yang CEO-nya dikenal sebagai pria paling tidak bisa diprediksi se-Jakarta. Aurelie menahan napas. “Yang… yang CEO-nya itu? Yang—” “Ya, Shaquelle Prince Folke.” Sang mami memotong tanpa menatap Aurelie. “Anak dari tante Kejora-adik iparnya dokter Zara-bungsu keluarga Gunadhya yang menikah dengan Konglomerat Jerman. Kata dokter Zara, Shaquelle itu jenius. Lulusan doktoral dari Jerman juga, sama kayak almarhum papi kamu.” Tentu saja dia tahu siapa Shaquelle. Seluruh feed media sosial kampusnya sempat dipenuhi berita munculnya sang pewaris muda dari Jerman. Semua c